"Mas cuma enggak mau kamu ngerasain sakit hati, Sayang," jawab Satya, sambil menggenggam kedua tangan milik Fatma.
"Sakit hati dari mana sih? Aku enggak ngerasa sakit hati sama sekali kok," jawab Fatma berbohong, lalu ia memasang senyuman yang cukup manis.
Tak ada ucapan lagi yang keluar dari mulut Satya, karena sangat percuma, Fatma akan tetap kekeh pada pendapatnya.
"Udah yuk, Mas, kita berangkat!" ajak Fatma, lalu langsung menggandeng lengan Satya.
Satya hanya menampilkan senyumannya, lalu mengangguk dan mereka berdua pun melangkahkan kaki meninggalkan rumah.
"Kamu enggak marah, kan sama anak-anak?" tanya Satya, yang memang tak dapat dipungkiri, ia benar-benar takut akan kembali diduakan oleh perempuan.
Meskipun Satya sangat tahu bagaimana sifat istrinya itu, lagi pula mereka itu satu kantor.
Hanya saja berbeda jabatan, Fatma di bagian staff biasa, sedangkan Satya menduduki jabatan sebagai Human Resources Development, atau biasa disingkat sebagai HRD.
Bagaimana bisa mereka memiliki rasa yang sama? Tentu saja saat Fatma diwawancara oleh Satya.
Dari situlah muncul rasa kagum di hati keduanya, tetapi masing-masing masih memiliki kesadaran.
Di mana Satya yang sudah memiliki istri, dan Fatma yang punya kekasih. Namun, yang namanya takdir tidak akan ada yang tahu. Ajaib.
"Enggak mungkin dong aku marah sama anak-anak. Kan bagaimanapun juga anak kamu udah jadi anak aku," jawab Fatma, sambil tersenyum dan menatap Satya dari samping.
Satya meraih tangan kanan, mengecupnya cukup lama dan berucap, "Terima kasih. Terima kasih banyak."
Tangan kiri Fatma terulur untuk mengacak rambut milik Satya, sembari mengeluarkan senyuman gelinya.
"Yuk, turun!" ajak Satya, yang langsung membuyarkan aktivitas Fatma yang tengah memandangi wajah suaminya.
Melihat raut wajah Fatma yang cemberut membuat Satya mengeluarkan sedikit tawanya. "Nanti aja, bisa dilanjut di rumah, kan?"
Sontak saja perkataan Satya barusan membuat pipi milik Fatma memanas. Hal tersebut justru membuat tawa yang dikeluarkan oleh Satya bertambah.
Tangan kanan Satya langsung ia taruh di atas kepala Fatma, lalu mengajak untuk keluar dari mobil dan mereka berjalan masuk ke dalam kantor bersama-sama.
"Ya ampun, Fatma! Akhirnya kamu berangkat juga," seru Sindi, saat Fatma baru saja duduk di tempatnya bekerja.
"Kenapa sih? Kenapa? Kangen ya?" canda Fatma, lalu menaruh tasnya di atas meja.
Tanpa aba-aba, Sindi langsung menarik kursinya menghampiri tempat Fatma, lalu menumpukan dagunya pada kedua tangan yang disatukan.
"Sharing dong!" pinta Sindi tiba-tiba, membuat Fatma mengernyitkan dahinya. Karena ia benar-benar tak mengerti dengan apa yang diminta Sindi.
"Huh! Maksud aku tuh sharing pengalaman kamu sama keluarga baru," jelas Sindi yang mendapat jawaban hanya anggukan kepala saja.
Melihat itu, Sindi malas untuk kembali berucap, ia lebih memilih untuk melihat pergerakan Fatma yang tengah sibuk menata barang-barang miliknya, dengan kepala yang berada di atas kedua tangan.
"Seru," ujar Fatma, sambil menganggukkan kepala dan wajah yang ia buat berseri-seri.
"Hah? Maksudnya apa sih?" tanya Sindi, yang langsung terbangun dari posisi yang tadi.
Fatma menghembuskan napas malas. "Punya anak sambung itu seru, Sin! Biasanya pengantin baru itu akan sepi. Justru kita sudah ramai."
"Di mana-mana, yang namanya pengantin baru pasti butuh yang sepi. Lah! Kok kamu malah gitu sih?" Sindi tak sependapat dengan Fatma.
"Kamu enggak tau rasanya sih! Makanya cepet nikah!" jawab Fatma, lalu mengalihkan pembicaraan ke hal yang lain. Supaya ia tak lagi merasakan sakit hati, karena ulah dari kedua anak sambungnya.
Sindi mengerucutkan bibirnya kesal. "Kenapa jadi aku? Kan kita lagi bahas kamu!"
Fatma mengedikkan bahunya. "Perasaan, cuma kamu doang deh yang pengen tahu ceritanya. Padahal nih ya, aku lagi males banget."
"Ah! Enggak asik kamu mah!"
"Gimana hubungan kamu sama Gilang?" tanya Fatma, yang sukses membuat Sindi membulatkan mata sempurna.
Bukannya menjawab, Sindi justru gelagapan dan menundukkan pandangan. Hal itu membuat Fatma menaruh rasa curiga pada sahabatnya itu.
"Kalian masih kuat iman, kan?" tanya Fatma langsung, karena ia sudah takut akan terjadi apa-apa pada sahabatnya.
Sindi langsung mengibaskan tangan kanannya dan menjawab, "Sembarangan aja kalau ngomong! Kita belum ngapa-ngapain, Fatma!"
"Ya ... takut aja gitu," gumam Fatma, lalu meminum air mineral yang sengaja ia bawa dari rumah.
Sindi menggelengkan kepalanya, lalu kembali menunduk.
"Kenapa sih, Sin? Kalian ada masalah?" tanya Fatma, yang memang tengah penasaran sekali.
"Orang kek aku gini, enggak pantes ya buat ngerasain jatuh cinta?" tanya Sindi, menatap wajah Fatma sebentar, lalu kembali menunduk.
Dengan cepat Fatma menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Dengerin aku ya, Sin. Yang namanya cinta, fisik enggak akan jadi bahan tolak ukur."
"Kalau iya Gilang seperti itu, katakanlah dia belum dewasa. Karena apa? Jika seseorang sudah mengenal kata cinta, tak akan ada yang mampu untuk menghalangi perasaan tersebut," sambung Fatma yang diakhiri dengan senyuman.
Setelah mendengar ucapan Fatma yang seperti itu, akhirnya Sindi mendongakkan kepalanya menatap wajah Fatma, dengan tampilan yang berbeda dari sebelumnya.
"Kenapa aku enggak mikir kek gitu ya?" tanya Sindi, heran.
"Itu karena kamu cinta sama Gilang! Cinta kamu itu udah buta dan sama sekali enggak bisa liat keadaan sekitar, bahkan meskipun kamu salah, tetep aja dianggap bener," ujar Fatma, yang berhasil mengubah pola pikir Sindi.
Tangan Fatma terulur untuk menepuk pelan pundak Sindi. "Udah! Jangan terlalu dipikirin. Kalau memang bukan Gilang, masih banyak kok cowok yang lain di luaran sana. Bahkan, lebih segala-galanya."
Tak ada yang bisa diutarakan oleh Sindi, hanya seulas senyum yang menghiasi wajahnya. Ia sangat bersyukur dipertemukan dengan sahabat seperti Fatma.
"Udah jam delapan. Waktunya kerja!" seru Sindi, yang diiringi dengan sedikit tawa, lalu menggeser kembali kursi miliknya dan diletakkan di tempat yang seharusnya.
Fatma hanya menggelengkan kepalanya saja, melihat kelakuan Sindi yang seperti itu.
Menyalakan komputer terlebih dulu, memasukkan password, lalu mulai membuka aplikasi yang sudah dirancang perusahaan untuk digunakan para staffnya.
Berkutat dengan beberapa data yang terdapat di komputer membuat mata cepat mengantuk, hal itu diatasi oleh Fatma dengan mengkonsumsi permen yang memiliki rasa asam.
Tak perlu lagi menawarkan pada teman-temannya, karena ia memiliki tempat khusus untuk permen yang diletakkan di meja miliknya.
Banyak juga orang-orang yang langsung mengambil tanpa meminta izin terlebih dulu, karena hal itu sudah menjadi kebiasaan. Fatma pun sama sekali tak marah akan hal itu.
Sangat tak terasa sekali, jam istirahat sudah tiba. Jarum jam sudah berada di angka 12 pas.
"Sayang, yuk istirahat!" ajak Satya yang tiba-tiba berada di belakang Fatma, dengan tangan kanan yang ada di atas pundak, sedangkan wajahnya ditundukkan, sehingga berdekatan dengan milik Fatma.
"Eh, emangnya udah waktunya buat istirahat, Mas?" tanya Fatma, lalu kedua mata perempuan itu pun langsung melihat ke arah jam.
"Gimana? Udah masuk jam istirahat, kan?" tanya Satya, dengan kedua tangan yang dilipat dan juga diletakkan di depan dada.
Fatma menganggukkan kepala, lalu ia berdiri dan mendekat ke arah Sindi. "Sin, kamu mau istirahat bareng atau enggak?"
"Eh, kamu nanyain aku? Wuih, kalau aku mah ayo aja! Siapa tau nanti dapat makan gratis!" sahut Sindi, dengan nada bicara yang menyindir Satya.