Keysa menyesap teh yang dibuatkan Bi Tina. Ia menatap kosong tanaman hijau yang berada di hadapannya. Haidar yang duduk di sebelahnya, tak berniat mengeluarkan suaranya. Lelaki itu akan menunggu Keysa berbicara duluan.
"Haidar…" panggil Keysa pelan.
Haidar menoleh ke Keysa, "Ya, Non?"
"Kenapa gue harus gantiin Kak Kay? Kenapa orang tua gue bertingkah begitu?" Keysa menghela napas panjang. "Mereka bahkan gak datang ke pemakaman Kak Kay."
Haidar terdiam mendengar keluhan Keysa. Ia bingung menanggapinya, takut salah bicara.
"Kenapa Kak Kay bunuh diri? Sedangkan dia sebentar lagi mau tunangan dengan Kak Mark…Itu impian Kak Kay…" Keysa menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Nona, anda ingin melakukan apa kalau begitu?" akhirnya Haidar memilih bertanya.
Keysa terdiam sebentar, kemudian ia menggeleng, "Gue…gue gak tau…"
Setelah itu, hanya terjadi ketenangan antara Haidar dan Keysa. Keysa yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Haidar yang berusaha berpikir bagaimana agar Keysa tidak sedih.
"Bawa gue kabur aja," celetuk Keysa.
Haidar membulatkan matanya mendengar ucapan asal Keysa, "Jangan gitu Non. Apa Nona pikir Nona Kay akan senang dengan ucapan anda?"
Keysa terkekeh, "Gue bercanda."
"Saya penasaran, bagaimana perlakuan Tuan Marka pada anda," ucap Haidar pelan. Ia berharap suaranya hanya dapat didengar oleh Keysa.
Keysa membuat ekspresi berpikir, ia memilih menyesap tehnya terlebih dahulu.
"Kata lo bener. Dia terlihat sayang sama Kak Kay. Perlakuannya juga romantis dan perhatian sama gue," ucap Keysa setuju.
"Meskipun, yang dia lihat itu Kak Kay bukan gue," lanjut Keysa tersenyum pahit.
Haidar terdiam sebentar, "Non, apa anda tidak kasihan melihat Tuan Marka ditipu begitu?"
Keysa menghela napas panjang, "Gue juga gak tega. Tapi, gue bisa apa?"
"Saya khawatir kalau suatu hari semuanya terbongkar, bagaimana reaksi Tuan Marka. Ditambah, saya yakin Tuan Besar dan Nyonya Besar akan kecewa dengan anda," tutur Haidar.
"Yang bisa gue lakuin adalah berusaha berperan sebagai Kak Kay sebaik mungkin," sahut Keysa menatap Haidar dengan senyum sendunya.
Haidar menatap Keysa iba. Ia tak berani untuk menyarankan apapun, karena ia tau, kalau atasannya adalah orang yang egois dan keras kepala. Satu – satunya cara yang bisa ia lakukan adalah melindungi dan menjaga gadis disampingnya.
"Udah udah, gue gak apa," ucap Keysa tersenyum menenangkan. "Lo kesini mau apa?"
Haidar mengambil sesuatu dari saku jasnya. Kemudian, ia memberikannya pada Keysa. Keysa menerima benda persegi panjang itu. Ia menatap Haidar bingung.
"Hp Kak Kay?" tanya Keysa.
"Sebenarnya, saya diberikan itu sama Bi Tina. Dia kebingungan mau kasih ke Tuan Besarnya. Akhirnya, dikasih ke saya," tutur Haidar menjelaskan.
Keysa tak menanggapi apapun, ia sibuk menebak kata sandi dari ponsel hitam milik Kaysha. Hingga ada notif peringatan, barulah Keysa menghentikan kegiatannya. Keysa menyimpan ponsel Kaysha di atas meja.
"Menurut lo, sebaiknya dikasih ke orang tua gue atau gak usah?" tanya Keysa meminta saran.
"Menurut Nona bagaimana?" Haidar bertanya balik.
"Kalau dikasih ke orang tua gue, kayanya mereka akan minta dibuang. Biar gak ada jejak sama sekali atau dikasih ke gue," tutur Keysa.
"Kemungkinan dikasih ke Nona, saya rasa kecil. Nona tidak tau kata sandinya dan disana mungkin banyak rahasia," ucap Haidar menatap benda persegi itu sebentar.
"Biar gue cari tau apa kata sandinya entar," tekad Keysa.
"Baiklah, saya akan percayakan hp Nona Kay pada anda," tanggap Haidar. "Saya juga kesini ingin memberitau anda akhir pekan sekarang anda akan bertunangan dengan Tuan Marka."
Keysa membulatkan matanya, ia mengambil ponselnya dan mengecek aplikasi kalender. Pundak Keysa otomatis merosot, empat hari lagi ia akan bertunangan dengan calon tunangan Kaysha. Harusnya, yang berada di posisinya kini adalah Kaysha. Tetapi, semuanya berubah dengan cepat.
"Gue gak mau," keluh Keysa pelan. "Tapi, gue gak bisa berbuat apapun."
Suara getaran dari ponsel milik Kaysha mengalihkan keduanya. Keduanya berkontak mata dengan cepat, saat ada panggilan masuk dari Mark.
"Kak Mark nelepon!" ujar Keysa panik.
"Nona gak memberitau nomor Nona sendiri ke Tuan Marka?" tanya Haidar tak kalah panik.
"Gue gak kepikiran sampai situ. Gue gak bisa angkat sama sekali," Keysa mengacak rambutnya.
"Tenang dulu Non," Haidar berusaha mengatur napasnya. "Kita hanya bisa menunggu."
Setelah panggilan telepon ke lima kalinya, Mark akhirnya tak menelopon nomor Kaysha lagi. Keduanya menghela napas lega. Tetapi, tak butuh waktu lama, Mamah Clara mengirim pesan pada Keysa bahwa ia sudah memberi nomor Keysa pada Mark.
"Ih ada nomor asing nelepon gue!" seru Keysa panik sembari menunjukan layar ponselnya pada Haidar.
"Itu sepertinya Tuan Marka. Coba jawab saja, Non," saran Haidar.
"Halo?" tanya Keysa ragu.
"Oh gosh. Ternyata kamu ganti nomor ya. Aku pikir Tante bohong sama aku," terdengar suara Mark lega.
"Iya aku ganti nomor. Maaf, gak bilang ke kamu," tanggap Keysa sembari melirik ke Haidar yang tampak menahan tawa.
"Tante Clara bilang kamu hilang Hpnya. Tapi, tadi aku telepon masih nyala loh," info Mark di ujung sana. "Mau aku bantu lacak?"
Haidar yang mendengar pembicaraan itu menggeleng tak setuju. Keduanya bisa berada dalam bahaya kalau ponsel Kaysha dilacak.
"Gak usah!" jawab Keysa cepat.
Di seberang sana Mark tampak terkejut mendengar suara Keysa yang cukup lantang, ia terkekeh pelan, "Oke. Kenapa gak mau?"
"Soalnya lo merasa di hp lama lo, gak ada hal yang penting," kata Haidar pelan, ia berusaha membantu memberikan jawaban yang logis bagi Mark.
"Gue rasa disana gak ada hal yang pen-" Keysa menutup mulutnya, ia belum terbiasa dengan panggilan aku – kamu.
"Kok gue sih?" tanya Haidar kaget, lagi – lagi Keysa ceroboh.
"Ya?" tanya Mark karena Keysa malah tak melanjutkan ucapannya.
"Gak ada hal yang penting disana," Keysa dalam hati berharap Mark tuli sesaat.
"Kalau kamu bilang begitu, gak akan aku lacak," ujar Mark.
Keysa menghela napas lega. Disampingnya, Haidar ikut menghela napas lega.
"Aku ada rapat. Aku tutup ya," izin Mark.
"Oke. Semangat ya," ucap Keysa canggung. Untung Mark tidak ada di depannya, kalau lelaki itu ada, pasti ia akan sadar betapa canggung dirinya.
"Hahaha, terima kasih atas kata semangat," Mark di ujung sana terdengar tertawa renyah.
"Selesai?" tanya Haidar pelan sembari menatap Keysa yang menyimpan ponselnya di atas meja.
"Aman," Keysa mengacungkan jempolnya.
"Untungnya Tuan Mark gak ada disini. Kalau ada, saya jamin Nona akan kentara gugup," ucap Haidar.
"Gue harus melakukan peran sebagai Kak Kay dengan sempurna," tekad Keysa.
Haidar tersenyum sendu mendengar tekad Keysa. Rasanya menyedihkan, Keysa harus berperan sebagai orang lain. Haidar khawatir kalau suatu hari nanti, Keysa akan kehilangan jati dirinya.
***
Keysa kembali masuk ke kamar Kaysha. Niatnya, ingin mengambil baju Keysha. Ia dan kembarannya memang mempunyai ukuran tubuh, tinggi, dan berat badan yang sama. Keysa membuka lemari Kaysha, ia sesekali menggeser gantungan baju, mencari baju yang cocok.
"Apa disini ya?" Keysa berjongkok di depan tumpukan baju yang terletak dibawah baju yang bergantungan.
Keysa menghentikan kegiatannya. Tangannya mengambil buku hitam yang berada di tumpukan baju tidur. Ia mengerutkan keningnya, Keysa baru tau kalau kembarannya itu punya buku harian. Lucu juga, orang seperti Kaysha menulis buka harian, mengingat sifatnya yang terkadang malas mengerjakan tugas.
"Rasanya gak sopan kalau gue buka gitu aja," gumam Keysa menatap buku harian itu.
Keysa mengacak rambutnya, ia bingung. Hati kecilnya ingin tau isi buku harian milik kembarannya. Tetapi, ia adalah pribadi yang memiliki prinsip 'meminta izin kalau melakukan sesuatu.'
Seharusnya, ia meminta izin dengan benar. Meminta izin di depan makam Kaysha kalau perlu. Tetapi, Keysa memilih menuruti hati kecilnya terlebih dahulu, "Gue minta maaf, Kak."