"Aku bisa sendiri kok, Bi. Makasih ya," Keysa tersenyum sembari menerima kotak P3K dari Bibi Zia.
"Saya bisa bantu, Nona," ucap Bibi Zia tak enak.
Keysa menggelengkan kepalanya. "Aku gak apa sendiri," sahut Keysa lagi.
"Baiklah. Kalau Nona butuh sesuatu silakan panggil saya ya, Non," ucap Bibi Zia menampilkan senyumnya. Bibi Zia meninggalkan Keysa sendiri di kamar yang sangat luas.
Keysa mengambil obat merah dan mulai mengobati lukanya sendiri. Ia sesekali meringis kecil karena obat merah itu. Setelah selesai, Keysa membereskan kotak P3K dan ia menyimpannya di nakas.
Keysa membaringkan tubuhnya di ranjang. Sesekali gadis itu menghela napas panjang. Keysa menatap langit – langit kamar masa kecilnya. Bagaikan mengingat masa lalu, Keysa teringat sejak kecil, kedua orang tuanya sudah membandingkan dirinya dengan kembarannya. Kedua orang tuanya berubah saat mereka mengetahui kalau Keysa mempunyai asma.
Perlahan butiran air mata terjatuh dari mata Keysa. Air matanya kini makin deras, rasanya sulit menghentikannya. Sesak di dadanya kembali terasa sejak air matanya banyak mengalir.
'Kenapa gak gue aja?' batin Keysa.
Sejak awal, dirinya bukan anak yang bisa diharapkan. Kembarannya, Kaysha terlahir terlebih dahulu tanpa adanya halangan. Sedangkan, dirinya lahir dalam keadaan berat badan lahir rendah. Sehingga, sejak kecil, dirinya diawasi oleh dokter utama keluarga Sagara dalam hal pemberian nutrisi.
'Gue harus gimana, Kak Kay?' batin Keysa sembari meremat erat dadanya yang sesak.
Keysa buru – buru mengambil inhalernya di tas. Bagaikan candu, selalu begitu, setiap dadanya sesak, inhaler hanyalah satu – satunya penyelamatnya. Semangat yang sering dilontarkan Kaysha menjadi tambahan energi baginya. Tetapi, tambahan energinya kini pergi begitu saja tanpa perpisahan.
Keysa mengambil ponselnya, ia menyetel suara air dari benda persegi itu. Hanya suara air yang menjadi pengantar tidurnya. Matanya sudah membengkak akibat air matanya yang tak kunjung habis. Meski kini matanya perih, Keysa berhasil menjelajah ke alam mimpi.
***
Keysa terbangun akibat ketukan pintu. Ia mencoba membuka matanya perlahan, mengumpulkan kesadarannya. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap jam dinding. Sudah waktunya makan malam.
"Nona, Tuan Besar dan Nyonya Besar menunggu di meja makan," kata Bibi Zia dari luar kamar.
Keysa turun dari ranjang, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Keysa menghela napas, matanya membengkak, dan luka di sudut bibirnya mengering. Keysa sadar dirinya tampak kacau. Keysa awalnya tak ingin ikut makan malam bersama kedua orang tuanya. Tetapi, rasa takut lebih dominan di hatinya. Dengan terpaksa, Keysa melangkahkan kakinya ke ruang makan diikuti Bibi Zia.
Kedua orang tuanya tak mengatakan apapun begitu Keysa sampai di meja makan, meliriknya saja tidak. Para pelayan mulai menyajikan makanan di meja.
"Silakan dinikmati," kata Chef Dino, juru masak utama.
Para pelayan hanya berdiri diam di belakang atasannya. Mereka tak mengeluarkan suara sedikit pun. Sudah menjadi kebiasaan, kalau waktu makan malam, hanya ada suara dentingan garpu dan sendok yang saling menyapa.
Perlu waktu tiga puluh menit bagi keluarga Sagara menghabiskan makanan di meja. Ayah Gavin berdeham pelan, para pelayan mengangkat wajahnya dan mulai bersiap untuk mendengarkan ucapan atasan mereka.
"Saya perintahkan kalian untuk menutup mulut mengenai kematian Kaysha. Hanya kalian yang tau kalau keluarga kami mempunyai anak kembar. Kalau sampai media tau, saya akan mencari tau pelakunya," Ayah Gavin menatap satu – satu pelayan. Para pelayan mengangguk takut.
"Mulai saat ini, Key akan menggantikan kembarannya Kay saat pertunangan dengan Mark," ucap Ayah Gavin.
Keysa membulatkan matanya, ia terkejut. Bagaimana bisa jadi dirinya yang bertunangan dengan Mark, calon tunangan kembarannya?
"Ayah ak-"
"Kalian juga mulai saat ini panggil Key dengan sebutan Kay kalau ada Mark atau orang luar yang datang. Kalau kalian salah sebut, maka keluarga kalian akan berada dalam bahaya," ancam Ayah Gavin.
"Kalian boleh pergi," kata Ayah Gavin. Para pelayan segera meninggalkan ruang makan, meskipun dapat terlihat dari wajah mereka, kalau semua perubahan ini mendadak bagi mereka.
"Kenapa gak ngaku sama Kak Mark aja kalau Kak Kay udah gak ada?" tanya Keysa menatap kedua orang tuanya bingung.
"Kamu bercanda?! Ayah tidak mau kehilangan menantu yang kaya raya," ucap Ayah Gavin.
"Tapi, aku bahkan gak kenal sama calon tunangan Kak Key," kata Keysa memberikan alasan. "Bukannya kalau suatu hari nanti semuanya terungkap akan lebih parah?"
"Kalau begitu kamu seharusnya bertingkah seperti Kakakmu. Mark tidak tau kalau Kay punya kembaran, peranmu disini adalah menggantikan kakakmu dan mempertahankan pertunangan hingga ke jejang pernikahan," tutur Mamah Clara membuka suara setelah terdiam beberapa saat.
"Mamah setuju juga sama Ayah?" Keysa menatap Mamah Clara sendu.
"Ini pilihan yang terbaik. Kami tidak mau malu dan peru-"
"Aku gak bisa bertingkah seperti Kak Kay. Dia banyak temen dan aku sama sekali gak kenal. Kak Kay juga udah kerja. Intinya, aku sama Kak Kay itu beda jauh," sela Keysa.
"Kenapa kamu jadi banyak bicara?" tanya Ayah Gavin menatap Keysa kesal.
"Aku bawa inhaler kemana – mana. Tunangan Kak Kay juga pas-"
BRAK!
"CUKUP KEY!" Mamah Clara menatap Keysa benci. "Kamu itu pintar! Jadi, bagaimanapun caranya bertingkahlah seperti Kakakmu!"
Mamah Clara meninggalkan ruang meja makan.
Ayah Gavin menatap Keysa sebentar, "Malam ini, Ayah akan mengirim tentang Kay dan sahabat sekitarnya. Pelajari dan bertingkahlah seperti Kay besok. " Ayah Gavin meninggalkan Keysa yang termenung.
Keysa menunduk, tak terasa lagi – lagi bulir air mata turun dari matanya. Keysa merutuki dirinya sendiri, yang setuju untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Meskipun, kalau ia menolak pasti kedua orang tuanya akan memarahinya mati – matian.
'Gue harus gimana?' batin Keysa.
***
"Hari ini, Mark akan mengantar kamu pulang ke kediaman Kay," ucap Mamah Clara di sela – sela sarapan.
Ayah Gavin baru saja pergi beberapa menit yang lalu. Pria itu ada rapat mendadak, sehingga tidak bisa mengikuti sarapan sampai akhir.
"Kok diam?" tanya Mamah Clara menatap putrinya bingung.
"Kenapa aku gak pulang ke tempat aku aja?" tanya Keysa.
"Mark akan mengantarmu pulang. Apa kamu tidak dengar?" tanya Mamah Clara.
"Kalau aku nolak gak bisa ya, Mah?" tanya Keysa.
"Tidak bisa," jawab Mamah Clara tegas.
Keysa menghela napas, ia menyinggungkan senyum pahit, "Udah aku duga. Aku harus bertingkah gimana berhadapan sama dia?"
"Namanya Mark. Kay biasanya manggil dia Kak Mark," sahut Mamah Clara.
"Tuan Mark sudah datang!" suara keras keluar dari mulut Bibi Sila, bagaikan peringatan untuk sepasang ibu – anak itu.
"Selamat pagi, Tante," Mark datang dengan membawa sebuket bunga. Mamah Clara berdiri dan berpelukan sebentar dengan Mark.
"Selamat pagi, Mark. Sudah sarapan?" tanya Mamah Clara menunjukan senyum ramahnya. Mamah Clara menerima sebuket bunga itu dan menyimpannya di vas bunga.
"Udah, Tan. Aku mau jemput Kay aja hari ini," timpal Mark melirik Keysa, yang ia anggap sebagai calon tunangannya.
Keysa menunduk, ia mengepalkan tangannya. Ia berusaha mengontrol dirinya, agar tak mengatakan hal yang membuat Mark curiga.
"Kay~ kamu sudah selesai makan kan?" tanya Mamah Clara lembut.
Keysa mengangguk, ia masih tak mengangkat wajahnya.
Mark yang berdiri di samping Mamah Clara hanya menatap Keysa bingung. Biasanya, gadis kesayangannya itu akan menyambutnya dengan semangat dan hangat.
"Kalau gitu, aku pulang dulu ya, Mah," Keysa segera berdiri saat sadar kalau Mark ingin mendekatinya. Keysa memeluk Mamah Clara sebentar, kemudian ia meninggalkan Mark begiu saja.
"Kita duluan ya, Tan," kata Mark sopan.
Mamah Clara mengangguk, ia menatap punggung Keysa kesal. Semoga saja, Mark tak mencurigai apapun.