Chereads / Terpaksa Menjadi Tunangan Palsu / Chapter 3 - Kematian Yang Mengejutkan

Chapter 3 - Kematian Yang Mengejutkan

Pagi harinya, Keysa dengan semangat menggebu bersiap untuk pergi ke mall. Keysa mengirimkan pesan ke Haidar, kalau ia akan pergi dengan ojek online untuk ke rumah Keysa.

"Nona, hari ini terlihat senang sekali," kata Bibi Vey tersenyum.

Keysa mengangguk semangat, ia menyuapkan sepotong roti ke mulutnya, "Aku hari ini mau jalan – jalan sama Kak Kay."

"Pantas saja. Semoga hari Nona menyenangkan," ucap Bibi Vey, kemudian ia meninggalkan Keysa yang masih sarapan.

Keysa mengambil ponselnya dan mengabari kembarannya, kalau ia akan segera berangkat. Keysa mengerutkan keningnya saat sadar Kaysha tak langsung membalas pesannya. Biasanya, Kaysha kalau membersihkan diri selalu membawa ponselnya. Tak mau ambil pusing, Keysa segera pergi ke kediaman Kaysha dengan ojek online.

Tiga puluh menit kemudian, Keysa sampai di rumah sodara kembarnya. Ia menatap bangunan megah itu, berbanding terbalik dengan kediamannya. Rumah dua lantai itu di cat dengan warna hitam dan putih, memiliki halaman yang luas, dan area parkir yang bisa menampung lebih dari tiga mobil. Ia melangkahkan kakinya ke pintu masuk, ia merasa suasana rumah sangat sepi. Para pelayan biasanya sudah berlalu lalang di pagi hari.

Keysa menelan ludahnya kasar, ia memegang erat tali tas selendangnya dengan erat. Dengan perlahan, ia melangkahkan kakinya ke kamar kembarannya.

"Kak Kay?" tanya Keysa pelan sembari membuka pintu kamar Kaysha.

'Tumben gak dikuci.' Batin Keysa.

"Kak Kayyy!" panggil Keysa memperhatikan sekelilingnya.

Ia memegang ranjang Kaysha, "Udah dingin."

Suara keran air dari kamar mandi mengalihkan perhatian Keysa. Keysa mendekati pintu kamar mandi, "Kak, lo lagi apa?"

Tidak ada sahutan dari dalam, tetapi Keysa yakin air makin meluas. Air merembes keluar, ditambah ada warna merah pekat yang bercampur.

"KAKKKK!" Keysa menggedor pintu dengan panik. Pintu kamar mandi dikunci dari dalam.

"KAK KAYYY! BUKA PINTUNYA!"

"KAKKKK!" Keysa masih berusaha menggedor.

"Ada apa Nona?!" seorang satpam dengan wajah panik mendekati Keysa.

"Kak Kayyy! Dia di dalam!" sahut Keysa.

Satpam itu mendorong dengan keras pintu kamar mandi. Tubuhnya sesekali kesakitan karena pintu tak kunjung terbuka.

Keysa dengan tergesa menelopon Haidar, "Tolong kesini."

BRAK

"Berhasil, Non."

Keysa segera masuk ke kamar mandi. Ia membulatkan matanya, tangannya bergetar hebat. Dengan ragu, ia memegang tubuh kembarannya yang sudah dingin. Keysa mengeluarkan tubuh Kaysha dari bathub yang sudah bewarna merah pekat. Tetesan darah dari tangan kembarannya ditahan olehnya, meskipun usahanya sia – sia.

"Kakk!"

"Kak bangun!" Keysa menepuk pipi Kaysha.

Satpam yang akan masuk seketika panik, dengan tergesa ia meninggalkan Keysa bersama kembarannya.

"Kakkk! Jangan ting-"

Napas Keysa berubah tak beraturan, ia mencari inhalernya di tasnya. Ia segera menghirup rakus inhalernya.

"Kak, pake ini Kakk," ucap Keysa memberikan inhaler miliknya ke mulut pucat Kaysha.

"Kakkk!"

Suara langkah kaki berlari terdengar oleh Keysa. Keysa mengangkat wajahnya, ia bertatapan dengan Haidar yang baru sampai.

"Key.." Haidar mendekati Keysa. Haidar memperhatikan sekelilingnya, dengan gesit lelaki itu mematikan air keran yang masih menyala.

"Kak Kay…dia…gue gak bisa ngerasain denyut nadinya," tubuh Keysa bergetar hebat. Seketika air mata gadis itu mengalir melihat Haidar yang menggeleng pelan.

"Lo bukan dokter," Keysa berusaha mengatur napasnya yang makin mencekik.

"Gue udah manggil ambulans," Haidar mengangkat tubuh Kaysha dan membaringkannya di ranjang.

Beberapa menit kemudian, petugas ambulans datang. Mereka segera memeriksa keadaan Kaysha yang sudah seperti mayat, bahkan ia sudah menjadi mayat.

Seorang dokter kepercayaan keluarga utama mendekati Keysa dan Haidar yang hanya menatap dirinya penasaran.

"Nona Kaysha sudah tidak bisa diselamatkan. Lukanya terlalu dalam. Cutter yang dipakai sudah sangat dalam. Saya bisa memperkirakan Nona Kay melakukan bunuh diri sekitar jam lima pagi," jelas dokter Zarhan.

Saat itu juga, Keysa sangat terpukul. Dunianya runtuh, satu – satunya orang yang ada disampingnya, kini meninggalkan dirinya. Ia hampir saja roboh kalau Haidar tidak berdiri di sampingnya.

"Saya permisi dulu," ucap Dokter Zarhan memberi waktu. Petugas ambulans lain mengikuti langkah si dokter.

"Kak Kayy…" panggil Keysa pelan. Keysa duduk di lantai sembari memegang erat tangan Kaysha yang dingin.

"Kak…bangun. Jangan tinggalin gue…" suara Keysa terdengar menyedihkan.

"Key…cukup," Haidar memegang pundak Keysa. Ia melepaskan jas nya, kemudian memasangkannya ke pundak Keysa. Haidar tidak sadar, kalau Keysa kedinginan dikarenakan terus memegang kembarannya.

"Gue sendirian…" gumam Keysa pelan.

***

Setangkai mawar merah diletakkan di atas gundukan tanah yang kini bertaburan kelopak bunga warna – warni. Gundukan tanah itu mengeluarkan harum semerbak. Hanya ada Keysa yang mengusap batu nisan dengan tulisan 'Kaysha Aneisha'. Tak jauh dari posisi Keysa berlutut, ada Haidar yang berdiri di belakang, menemaninya.

"Kak…"

"Sebenernya, gue berharap…gue yang ada di posisi lo…" ucap Keysa menahan tangisnya. Tangannya sesekali menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Lo pasti marah kalau denger omongan gue…" Keysa terkekeh kecil, "tenang ya disana."

Setelah menaruh bunga di makam Kaysha, Keysa menghampiri Haidar yang masih menemaninya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Haidar menarik tubuh Keysa ke dalam dekapannya. Haidar mengusap punggung Keysa lembut, berusaha menenangkannya. Tangisan Keysa saat itu juga pecah, tidak ada lagi orang yang akan menjaganya.

Haidar menuntun Keysa ke mobil. Awalnya, Haidar menawarkan Keysa untuk digendong, tetapi, gadis itu menggeleng lemah sebagai jawaban. Keduanya sudah sampai di samping mobil. Haidar merogoh saku jasnya untuk mengeluarkan kunci mobil. Kemudian, ia menekan tombol pada kunci lalu membuka pintu penumpang untuk Keysa. Haidar merangkul bahu Keysa dan membantunya untuk duduk. Haidar dengan cepat berlari kecil mengelilingi mobil menuju kursi kemudi.

"Tuan Besar dan Nyonya Besar mengirim pesan pada saya. Keduanya menunggu di rumah utama," kata Haidar sembari mulai melajukan mobil.

Keysa tak menjawab apapun, tenaganya terkuras habis setelah ia mengurus pemakaman kembarannya. Ia hanya menopang dagu dan menatap keluar jendela. Keysa memperhatikan suasana menjelang siang kota Jakarta yang mulai padat.

"Nona Key, saya akan mengantar anda ke rumah utama," kata Haidar sembari memeriksa dari spion tengah.

"Oke. Lagian, gue gak bisa nolak," tanggap Keysa palan setelah terdiam beberapa saat. Keysa masih sibuk memperhatikan suasana di luar jendela.

"Baiklah. Tiga puluh menit lagi akan sampai di rumah utama. Nona bisa beristirahat dulu," Haidar menyalakan lagu pengantar tidur.

***

Mereka tiba di rumah utama keluarga Sagara. Haidar memberikan kunci mobilnya pada satpam yang berjaga di sana.

"Lo gak perlu turun," kata Keysa memaksakan senyumnya.

"Saya khawatir. Biar saya yang jelaskan kondisi Nona Kaysha kepada Tuan Besar dan Nyonya Besar," sahut Haidar. Haidar mundur sedikit dari posisinya, ia mempersilakan Keysa untuk berjalan terlebih dahulu. Perjalanan menuju ruang keluarga, terasa menyesakkan. Sesekali pelayan yang berlalu lalang menatap Keysa iba dan khawatir. Keysa berusaha menguatkan dirinya, dengan mengepalkan tangannya.

Sesampainya di ruang keluarga utama, Keysa mendapati kedua orang tuanya yang duduk di sofa. Nampak menunggu kedatangannya. Mamah Clara terlihat terus menangis, sedangkan Ayah Gavin, meski sedih ia masih berusaha bersikap tegar. Keysa mendekati keduanya dan ia berlutut di hadapan keduanya. Haidar hanya diam di pintu masuk ruang keluarga utama.

Ayah Gavin mendekati Keysa. Keysa menatap sang ayah, ia berusaha terlihat tegar.

PLAK

Tamparan keras mengenai pipi Keysa. Keysa terkejut, ia menatap Ayah Gavin bingung. Keysa memegang pipinya yang memerah, ia yakin sudut bibirnya terluka. Haidar hendak mendekati Keysa, tetapi ia sadar kalau kepala pelayan disana menatapnya tajam.

"K-kenapa?"

"Kamu masih tanya kenapa?! Harusnya kamu saja yang mati! Bukan anak kesayangan saya!" Mamah Clara menatap Keysa benci.

"Sayang…" Ayah Gavin kembali duduk di sofa, ia mengelus punggung istrinya.

Keysa menghela napas, "Aku juga gak mau Kakak pergi," cicit Keysa.

"Terus kenapa malah Kakakmu yang pergi?! Seharusnya kamu!" Mamah Clara turun dari sofa dan ia menarik kerah Keysa yang sudah bergetar. Mamah Clara tampak kacau, matanya memerah dan bulir air mata terus turun dari mata indahnya.

Keysa hanya bisa menangis, ia tidak ingin memperkeruh suasana.

"Kenapa Key?! Kenapa bukan kamu?!" Mamah Clara menarik kerah Keysa lemah.

"Maaf…semua salah aku…" Keysa akhirnya menjawab. Rasa sesak lagi – lagi menyerang dirinya. Keysa hanya pasrah, tidak berniat mengambil inhaler di tasnya.

Haidar segera memberikan inhaler yang biasa ia simpan ke Keysa. "Ini inhalernya." Keysa menerimanya dengan susah payah.

Mamah Clara melepaskan cengkramannya, ia hanya menangis tersedu – sedu. Ayah Gavin terus menenangkan istrinya dengan memeluknya lembut.

Haidar sadar kepala pelayan akan memarahinya setelah ini. Masa bodo, Keysa lebih penting untuknya.

"Tuan, saya rasa Nyonya harus beristirahat," kepala pelayan mendatangi atasannya.

Ayah Gavin menatap istrinya yang tertidur di pelukannya. Ayah Gavin menatap Keysa dan Haidar bergantian.

"Untuk kalian berdua, tunggu disini," perintah Ayah Gavin. Ayah Gavin membawa istrinya ke kamar, diikuti kepala pelayan.

"Kenapa gak ngambil inhaler, Non?" tanya Haidar khawatir.

Keysa menatap Haidar sekilas, "Kenapa lo malah kasih gue inhaler? Harusnya jangan. Gue sebaik-"

Ayah Gavin memanggil Haidar, "Haidar."

Haidar berdiri dan ia mendekati atasannya. "Ada apa Tuan?"

"Kamu bisa pulang. Pekerjaan kamu hari ini cukup sampai disini," kata Ayah Gavin.

"Key akan disini sampai malam hari. Kita akan makan malam dulu. Ada hal penting yang akan dibahas," lanjut Ayah Gavin sebelum Haidar bertanya lebih jauh.

Haidar melirik Keysa yang masih menunduk ketakutan. "Saya ra-"

"Ini perintah Haidar," sela Ayah Gavin lagi. Nada suaranya datar, membuat Haidar ragu untuk mengeluarkan suaranya.

"Baiklah. Tolong hubungi saya kalau Nona Key butuh jemputan," kata Haidar sopan.

Ayah Gavin tak membalas apapun. Haidar berlalu dari hadapan ayah – anak itu. Keysa hanya menatap punggung Haidar yang menjauh dari pandangannya.

"Bi Zia!" panggil Ayah Gavin keras.

Seorang pelayan dengan usia pertengahan tiga puluh, mendekati Ayah Gavin dengan napas tak beraturan.

"Antarkan Key ke kamarnya," perintah Ayah Gavin.

"Baik, Tuan," Bibi Zia menunduk sopan. Ayah Gavin pergi begitu saja ke kamarnya, tak peduli dengan kondisi Keysa yang masih bergetar.

"Nona Key, mari saya antarkan ke kamar," Bibi Zia berusaha membantu Keysa berdiri, "Ya ampun, Nona."