Tidak ada yang bersuara hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar, entah kenapa Aruna merasa makanannya terasa hambar apa lagi di hadapannya ada Kayasya dengan aura dinginnya, lelaki itu justru dengan santai menikmati makan siangnya. Sesekali terdengar helaan nafas Aruna, sungguh dia sama sekali tidak menikmati makanannya.
Biasanya disaat seperti ini dia makan siang bersama kedua sahabatnya dengan penuh canda tawa dan akan ada saja cerita di sela-sela makan siang mereka bertiga. Tidak seperti sekarang Aruna justru terjebak di ruangan ini bersama Kayasya si balok es.
" Kenapa udang nya tidak dimakan? " tanya Kayasya yang melihat Aruna menyingkirkan udang dari piringnya
" Malas ngupas nya " jawab gadis itu tanpa menoleh, karena biasanya Imel dan Tasya lah yang akan membantunya mengupas kulit udangnya, padahal Aruna sangat suka udang.
Tanpa terduga Kayasya mengambil alih udang yang disingkirkan oleh Aruna lalu mengupasi kulit udang nya, gadis itu menatapnya dengan wajah cengok sumpah demi apapun raut wajah Aruna terlihat sangat lucu. Setelah semua udang itu terkelupas Kayasya memberikannya lagi pada Aruna, dan tanpa sepatah katapun dia kembali menyantap makan siang nya seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
" Ayo makan... " titah Kayasya yang melihat gadis kalem itu masih menatap udang yang sudah terkelupas di atas piringnya
" Terimakasih " lirihnya gadis itu dengan malu-malu Aruna memakan udang nya, diam-diam Kayasya tersenyum melihat gadis itu yang mulai menikmati makanannya.
Aruna menatap Kayasya ragu sebenarnya ada yang ingin dia katakan pada lelaki itu tapi lidahnya terasa keluh, takut di bilang lancang atau terlalu percaya diri.
" Apa yang ingin kamu katakan? " Mata Aruna melotot dia bergedik ngeri karena Kayasya seperti cenayang yang bisa membaca pikiran seseorang
" Kok bapak bisa baca pikiran saya " bukannya menjawab gadis itu justru balik bertanya tanpa menutupi keterkejutannya
" Hanya menebak, syukur kalau ternyata benar " jawaban lelaki itu singkat, Aruna mendecih menatap Kayasya jengkel. Pikir Aruna ternyata ada orang yang lebih menyebalkan dari pada Dewa.
" Jadi apa yang ingin kamu katakan? " Ujar Kayasya tanpa ingin berbasa-basi
" Kenapa bapak tiba-tiba mengajak saya makan siang? Apa Bapak tidak takut nanti kalau ada yang marah? " tanya Aruna dengan sedikit ragu, yang benar saja sejak dari lobi kantor hingga sampai keruangan ini banyak pasang mata yang menatap nya tajam, menguar marah, dan mengundang rasa cemburu juga iri hati para kaum hawa di kantor. Dan terkhusus Gladis, gadis itu seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup saat melihat dia berjalan beriringan dengan Kayasya.
" Maksudnya? " Kayasya sebenarnya paham apa yang dikatakan oleh Aruna tapi dia sengaja pura-pura tidak paham
" Ccckkkkk " Aruna mendecak keras
" Maksud saya, saya takut nanti ada yang marah kalau Bapak ngajak saya makan siang sama-sama apa Bapak tidak liat sejak dari lobi orang-orang pada liatin saya " gerutu Aruna
" Itu masalah mereka bukan saya ataupun kamu, kenapa harus sibuk mikirin orang lain itu hanya akan buang-buang waktu " sahut Kayasya tampak tidak perduli
" Hak saya ingin mengajak siapapun untuk makan siang bersama, mau itu kamu ataupun yang lainnya " lanjutnya
" Atau sebenarnya kamu yang takut? " tanya Kayasya yang membuat Aruna gelagapan
" Saya? Kenapa harus ada yang marah? " jawab nya jujur
" Dewa? Bukannya kamu terlihat sangat dekat sama dia? " tanya Kayasya lagi penuh selidik
" Apa? Pak Dewa? " Aruna terkejut mendengar pertanyaan Kayasya, lalu sedetik kemudian gadis itu tertawa.
Tawa itu, Kayasya seperti terpaku matanya tidak berkedip melihat tawa renyah di wajah cantik nan imut si Aruna, dia tidak tau apa yang sudah terjadi pada hati dan juga pikirannya. Sejak pertama kali mereka bertemu seperti ada magnet yang terus manariknya untuk mendekati Aruna.
Aruna tidak tau saja kalau sebenernya saat kejadian dia tidak sengaja menabrak Kayasya di koridor lelaki itu selalu mencari tau tentang dirinya bahkan lelaki itu sampai meminta Gladis memindahkan Aruna kebagian desain interior agar bisa selalu melihat nya karena ruangan mereka hanya berbeda satu lantai dan setiap harinya Kayasya bisa melihat gadis itu dengan mudah.
" Saya sama Pak Dewa dekat hanya layaknya rekan kerja saja Pak, kalau misalkan orang-orang liatnya kami lebih itu karena Pak Dewa orangnya yang nggak sombong, Pak Dewa juga tidak memperlakukan saya ataupun yang lainnya sebagai bawahan, melainkan sebagai teman " jawab Aruna dengan tersenyum.
" Kalau kamu dan Dewa saja bisa sedekat itu, lalu kenapa saya tidak boleh? "
" Ha??????? " Aruna merasa telinganya yang salah dengar atau memang pertanyaan itu di peruntukkan untuk dirinya
" Jika kamu dan Dewa saja bisa berteman kenapa dengan saya tidak? " Jelas Kayasya agar Aruna tidak berpikir yang aneh-aneh
" Jelas beda lah Pak ..... Bapak itu adalah icon nya kantor, semua kaum hawa di kantor itu memuji dan menyukai Bapak.. bisa-bisa habis ini saya di rujak sama mereka semua " ujar Aruna dengan raut serius nya
" Bapak tidak tau saja ada yang berdo'a bisa dekat sama Bapak, bahkan nih ya ada juga yang berharap bisa jadi pacar Pak Kayasya segila itu mereka memuja Bapak " sambungnya sembari tertawa mengingat kegilaan rekan-rekan kerjanya
" Lalu kamu?? " Aruna terdiam senyum nya seketika lenyap pertanyaan itu membuatnya salah tingkah
" Sa--saya.... " sumpah demi apapun dia ingin sekali berlari menjauh jantung nya sudah jedag jedug di lempar dengan pertanyaan itu.
" Boleh saya bergabung! "
Aruna menghela nafas lega merasa terselamatkan dengan kedatangan Gladis, tanpa menunggu jawaban dia duduk di antara Kayasya dan juga Aruna tapi itu justru membuat Kayasya jengkel setengah mati pada Gladis.