Inflasi terjadi di mana-mana. Gambaran itu adalah gambaran untuk mendeskripsikan bagaimana terpuruknya industri saat pandemi melanda. Tak satu dua perusahaan yang gulung tikar. Ada ratusan perusahaan besar di Amerika yang terkena dampaknya. Termasuk perusahaan garmen milik Adam Willson
Tidak diketahui, keuangan loss dan menyebabkan produksi turun drastis. Dua bulan setelah pandemi, banyak karyawan yang terinfeksi virus. Tak hanya itu, perusahaan juga harus memberikan gaji dan uang tambahan sebagai tanggung jawab atas terinfeksinya karyawan yang kemudian disebut dengan kecelakaan kerja, edang perusahaan dalam ambang kebangkrutan karena penurunan jumlah konsumen menurun. Ditambah, ketidak mampuan perusahaan Adam tidak dapat membayar hutang dengan bunga yang membengkak . Semuanya seolah hilang dan lenyap begitu saja. Tanpa sisa, bahkan kurang.
Minggu kedua bulan Juni, terpaksa Adam Willson menutup pabriknya dan ditambah kemudian ia harus menjual aset untuk membayar hutang.
"Satu juta US Dollar, deal!" ujar sang penagih hutang ketika menarik seluruh aset di perusahaannya.
Adam hanya bisa mengangguk pasrah. Dia tak bisa banyak bicara saat ini.
Perusahaan terjual dengan harga yang berada jauh di bawah pasaran aslinya. Semuanya dilakukan dalam keadaan darurat. Yang Adam punya hari ini adalah rumah orang tuanya, rumah tempat keluarga bersinggah yang berada jauh di pinggiran kota New York.
"Perusahaan ku bangkrut, bisakah kalian memberikan tempat tinggal untuk diriku?" tanya Adam dengan nadanya yang begitu rapuh. Oh dia bahkan tak bisa membawa satu stel baju ganti sekali pun. Ia hanya memakai bajunya sendiri saat ini, baju sebelum rumah pribadinya disita oleh depcolector.
Wanita parubaya dengan sanggul manis di kepalanya itu melihat anak lelakinya dengan tatapan tajam. Matanya yang melotot membuat mental Adam untuk mengemis tempat tinggal menjadi ciut seketika.
"Oh Mama, maafkan aku, maafkan aku yang telah tidak menurut dengan kehendakmu. Semuanya telah usai saat ini. Aku tidak punya tempat untuk pulang," pinta Adam dengan suaranya yang mengalun.
Mungkin jika rengekan itu diucapkan oleh anaknya beberapa tahun silam, sebelum ia menjadi direktur yang kaya raya namun sombong, ia akan mengasihi seperti saat Adam kecil yang selalu meminta disuapi makan. Kali ini berbeda, semenjak dirinya dengan anaknya memiliki kisruh ia tak lagi menganggap Adam sebagai anaknya.
Benar, doa orang tua adalah doa yang paling sempurna menghadap kepada Tuhan. Tidak menunggu lama, masa inilah yang diharapkan oleh Mama Adam saat itu.
"Ada apa Ma?" tanya seorang perempuan yang baru keluar dari rumah sederhana itu, ia adalah Valencia. Adik perempuan Adam.
"Ayo masuk Ma," kata Valencia ketika mengetahui kakak lelakinya dalam keadaan yang begitu melas. Ia sudah tahu dari sekretaris Adam. Tentang bangkrutnya perusahaan yang dikelola oleh kakak lelakinya.
Dan tiada rumah untuk dijadikan tempat pulang, kecuali adalah orang tua.
Mama Adam membenarkan coat-nya yang turun. Dengan tongkat yang ada di tangannya, ia membalikkan badan, membelakangi Adam dengan tangisannya di depan rumahnya itu.
"Ma … kemanakah kasih sayang mu sebagai seorang Ibu, aku adalah anakmu, aku adalah satu-satunya anak lelaki yang seharusnya menjadi ahli waris dari segala kekayaan Mama dan Papa!" pekik Adam dengan keras.
Nyonya Willson kemudian berbalik. Dengan kekuatan yang berasal dari amarahnya yang begitu meledak itu , Plak … satu tamparan keras mendarat di pipi anak lelakinya. Dengan giginya yang bergemurutuk itu. Jari telunjuk Nyonya Willson tepat menyentuh hidung anaknya.
"Kau bukan anakku, kau bukan siapa-siapaku lagi anak sombong! Makanlah keserahakanmu itu. Dan aku tidak akan segan memanggil security untuk mengusirmu dari kompleks ini, pergi!" pekik Nyonya Willson dengan amarahnya yang meledak-ledak.
"Pergi!" pekik Nyonya Willson sekali lagi. Ia mengangkat tongkat untuk menopang kakinya yang telah rapuh itu. Mengusir anak lelakinya dengan tegas.
Valencia yang mengetahui hal itu, langsung berteriak memanggil security yang kebetulan melintasi depan rumahnya karena ada keributan itu. Adam dibawa dengan paksa. Sementara, Nyonya Willson melihat ketidak berdayaan anak lelakinya karena ulah dirinya sendiri.
"Dia anak durhaka, biarkan dirinya mencari jalannya sendiri dan tahu soal kehidupan yang sebenarnya seperti apa. Dia sendiri yang tidak menghargai perempuan. Maka ia akan tahu tentang perempuan yang sesungguhnya seperti apa. Ayo masu!" ujar Nyonya Willson kepada anak perempuannya itu.
***
Hujan salju di kota New York, membawa Adam untuk berteduh di bawah ruko yang tertutup. Dia kedinginan, dengan pakaiannya yang compang-camping.
Ini adalah hari yang paling buruk untuknya. Tak membawa uang sedikit pun. Bahkan hanya pakaian yang layak. Coat, jaket, hodie atau semacamnya adalah hal yang dicarinya saat ini. Setidaknya itu adalah untuk melindungi dirinya dari serangan hipotermia karena suhu dingin yang sampai di bawah derajat.
Adam Willson hanya bisa memeluk dirinya sendiri. Dia menghangatkan tubuhnya dengan berdiri di dekat mesin diesel yang meruap. Mesin diesel di samping ruko tertutup itu.
Semakin larut, semakin tak terasa lagi hangatnya uap dari diesel itu lagi, dia saat ini begitu kedinginan. Gemerutuk giginya terdengar begitu ironi.
"Ikut kami! Dasar perusuh jalanan!" pihak keamanan terkait membawa dirinya dengan paksa. Seperti seorang penjahat yang melakukan kesalahan.
"Dasar gembel. Selalu saja menyusahkan negara!" pihak keamanan berbadan gendut itu membawa Adam ke sebuah mobil bak tertutup. Dengan gelandangan lain di dalam mobil yang sama. Adam hampir tidak bisa bernapas. Bau kotoran manusia, bau kencing yang begitu membuat perutnya mulas seketika.
Apalagi dia juga belum makan seharian ini. Adam Willson tidak kuat dengan semua itu.
Semua pandangannya hitam seketika. Dan seolah itu adalah sinar yang paling buruk. Pertama yang ia lihat setelah ketidaksadaran adalah, orang gila dengan senyumnya yang sangat mengerikan.
"Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are. Up above the world so high. Like a diamond in the sky
Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are? Hihihi, hahahaha," Adam yang baru membuka matanya langsung terkaget dan berlari sekencang yang dirinya bisa. Menjauhi orang gila yang membuat dirinya takut.
Seorang Adam Willson yang dua bulan lalu masih membawa Louis Vuitton untuk baju tidur. Kali ini, makanan pun tidak ada di depannya sama sekali. Mimpi buruk di ujung hidupnya, ia harus lari-lari terbirit-birit karena sosok orang gila.
Lelah, Adam duduk di pinggiran kota. Ia tak tahu kemana pihak keamanan membawanya pergi bersama gelandangan dan orang gila di dalam box itu. Hingga akhirnya ia melihat sebuah nama yang begitu terang di atas jembatan tempatnya bersender saat ini.
"Kalshington, Philadelphia."
Setelah menyebut nama kota ini, Adam hanya bisa diam. Dan ia tak tahu harus apa di sini. Kota zombie dengan pemakaian narkoba terbesar di Amerika. Tempat kriminalitas terbesar juga. Lihatlah, orang-orang yang sedang menyuntikkan obat di leher, di urat nadi tangan, dan mereka tidur dengan keadaan berdiri. Bergumbul dengan orang-orang di jalanan. Siang, adalah malam. Dan malam adalah siang jika tidak ingin kehilangan sesuatu.
Kiamat. Hari akhir untuk Adam bisa bertahan di kota zombie ini.
***
Seminggu berlalu kali ini, Adam masih bertahan hidup. Dia banyak memprotes soal kehidupannya mengapa terus berlanjut. Dengan keadaannya yang lemah dan lesu. Tak ada makanan yang bisa dirijya makan. Roti kadaluarsa hanya tinggal separuh. Sudah berjamur hari ini karena terkena basah air hujan.
Sesaat ia akan membuka mulut untuk memakan roti berjamur, seorang perempuan datang dan membuang roti itu dengan tangannya yang kasar. Adam memelototkan mata, sejenak sebelum akhirnya perempuan itu memberikan nya sebuah roti yang lebih layak.
"Tidak gratis. Kamu harus mengikutiku. Kau butuh pekerjaan bukan?" Sahut Miss Merry menampel tangan Adam tadi.
Adam dengan wajah bahagianya mengangguk.
"Aku sangat butuh pekerjaan. Apakah kau bisa membantuku?" ujar Adam Willson dengan bersungguh-sungguh.
Dan kemudian, ia mengikuti kembaa Miss Merry membawa dirinya saat ini.
Kehidupan akan ada untuk orang tampan sepertinya. Begitu pikir Adam Willson dalam hati dan benaknya.