California city, California
Hari ini tiba saatnya hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga Albern. Pernikahan digelar secara besar-besaran, tamu-tamu berdatangan.
Setelah mengucapkan janji suci di Altar, kini kedua pasangan yang telah sah menjadi suami istri sedang menyalami para tamunya.
"Mom sangat bangga, akhirnya putra ku ini menikah dihadapan momy." wanita paruh baya menjeda ucapannya. "Ah bahkan mommy sempat berfikir jika mommy tidak akan menyaksikan pernikahan mu ini." lanjutnya dengan diakhiri kekehan kecil.
"Mom, sudah berapa kali Aaron katakan. Jangan terus-terusan membahas tentang kematian." Aaron Ryan Albern
Lelaki tampan idaman para kaum hawa, memiliki tubuh atletis dengan sejuta pesonanya. Putra tunggal dari pasangan Fernandez Albern dan Meira Albern. Aaron memulai karirnya saat menginjak usia 14 tahun, ayahnya sudah mulai mengajarinya berbisnis. Kini ia berusia 31tahun. yah putra tunggal dari keluarga Albern yang kini sudah menjadi seorang suami.
"Momy tidak terus-menerus membahasnya hanya kepikiran saja son." bantahnya
"Sudah-sudah lah mom kalian ini suka sekali berdebat." ucap Fernand dengan menggelengkan kepalanya. Setelah mendengar ucapan ayahnya ibu dan anak itu tertawa.
Tamu-tamu yang melihat keharmonisan keluarga tersebut merasa iri, berlanjut setelah semuanya mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Hari menjelang malam pesta pernikahan sudah selesai.
Skip malam pertama?
Ceklek!
"Lelah sekali ya tuhan." gumam Aaron memasuki kamar pengantinnya dan melihat Anggelina yang kesulitan membukakan gaun pengantin.
"Butuh bantuan?" tanyanya.
"Bukakan resleting belakang gaunnya, Ron."
Deg
Setelah membukakan resleting, Aaron terpesona dengan punggung putih milik istrinya. Sebelum tangan Aaron menyentuh punggung indahnya, Anggelina segera menepis kasar tangan Aaron dan berlari memasuki bathroom.
Aaron yang mengetahui istrinya menolak hanya mengembuskan napasnya pelan.
Pintu bathroom terbuka, Anggelina kembali dengan menggunakan baju tidur pendek.
"Emm Nggel bolehkah aku meminta hak ku sekarang?"
"Cih, meminta hak? Tidak sudi aku memberikannya, asalkan kau tau Aron aku menikah dengan mu atas dasar paksaan dan uang." jawabnya dengan nada tinggi
Aaron yang mendengarnya naik pitam, berdiri dan mencengkram kuat leher istrinya.
"Jadi kau mau menikah dengan ku hanya karena uang hah!" teriaknya, suara Aaron tak kalah tinggi dari istrinya. Untung saja kamarnya itu kedap suara.
"Iya memangnya kenapa." Anggelina berucap lirih, cengkraman Aaron sangat kuat hingga membuatnya sesak.
Arrrgggghhhh
"Terserah!" berlalu keluar untuk menyurutkan emosinya jika dia terus-terusan berada dikamar bisa-bisa istrinya yang akan kena imbas melampiaskan emosinya
Skip pagi hari
Aaron tidak tidur dikamar bersama istrinya justru ia memilih tidur dikamar tamu dan berpindah jika hari menjelang pagi sebelum ketahuan oleh orang tuanya. Setelah mendengar ucapan Anggelina membuat pikirannya terganggu, ucapan istrinya masih terngiang-ngiang di otaknya.
Tap
Tap
Tap
Suara langkah menuruni tangga. Ternyata Daddy dan Mommy nya yang menuruni tangga.
" Morning,mom dad."
"Morning son, bagaimana malam pertamanya?" Tanya Fernand dengan menaik turunkan kedua alisnya.
" Hus, dady ini ~~~"
Belum sempat momy melanjutkan ucapannya, terhenti ketika melihat menantunya datang.
"Pagi mom,dad."
"Pagi juga sayang." jawab Maira
"Pagi my husband."
Hanya deheman yang Aaron berikan, menatap istrinya saja membuatnya malas. Fernand yang melihat Aaron acuh terhadap menantunya merasa curiga.
"Apa kalian berdua sedang memiliki masalah?" Fernand merasa bingung dengan tingkah putranya.
"Tidak, sudahlah tidak perlu dibahas. Aaron sudah sangat lapar." ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Dibelahan bumi lainnya
Gadis cantik sedang merenung didepan jendela kamarnya. Arabella Maribel menghembuskan nafas panjang. Lelah ia lelah dengan semua ini, bayang-bayang ibu dan ayahnya yang memperlakukan kekerasan padanya terus berputar di otaknya.
"Anak tidak tau diri."
"Dasar anak pembawa sial."
"Mengapa kau harus lahir di dunia."
"Jangan pernah memelukku."
"Pergi dan cari pekerjaan sana, jangan pulang sebelum mendapatkan uang!"
"Aku bukan ayah mu."
Sedari kecil ia sudah mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya. Sejak sd saja ia dipaksa berjualan koran untuk mendapatkan uang biaya sekolahnya.
"Nenek Ara kangen hikkss." gumamnya
"Ara woe ngapain nangis." mendengar suara sahabatnya secepat mungkin Ara menghapus air matanya.
^_________^
VIVIAN ALISYA
Sahabat seperjuangan Ara dari masa SMP sampai sekarang. Jika Ara memiliki keluarga lengkap, berbeda dengan gadis ini. Orang tua Vivi meninggal ketika kecelakaan mobil, hanya dia yang selamat. Setelah kepergian orangtuanya Vivi dititipkan di panti asuhan. Cantik,bar-bar,ceria adalah sifat yang dimilikinya.
Bagaimana dengan tambatan hati? ah entahlah, kita lihat saja nanti hahah.
^_________^
"Siapa yang nangis yeee, ini mah cuma ada kotoran masuk." disertai tawanya.
"Iyaya deh, siap-siap kerja yuhu. Nanti kalo telat bisa-bisa dimarahin bu bos ini hahaha."
"Ya tuhan Vi kamu belum mandi apa. Dari tadi Ara udah tungguin juga."
"Mager Ra beneran, mandiin napa."
"Boleh, gimana kalo kita nyari selokan dulu buat jadi bathub." tawarnya dengan wajah yang dibuat sepolos mungkin.
"Ah ga asik lu." katanya berlalu pergi dengan wajah cemberutnya. Ara yang melihat wajah sahabatnya terkikik geli.
Tempat kerja
Mereka berdua bekerja ditempat ini setelah lulus sma. Sebenarnya mereka ingin sekali memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi lagi. Tapi apalah boleh buat keadaan keluarganya yang memaksa ia untuk bekerja keras.
"Ehh Ra, nanti malem aku ada undangan dari temen kecilku buat party."
"Ya udah berangkat aja si Vi." ucapnya tak lepas dari kegiatan merapihkan buku-buku yang berserakan.
"Yeee ga gitu loh Ra, masalahnya party nya itu di Club. Kau kan tahu aku belum pernah masuk tempat terkutuk itu, membayangkannya saja sudah cukup membuatku merinding."
Ara tampak berfikir dengan menempelkan ibu jari kanan di dagunya. "Kalo menurut Ara sih, terserah kamunya aja Vi. Kalo emang mau berangkat ya pakai pakaian yang tertutup lah intinya, gimana?"
"Eummm.... boleh juga saran mu. Nanti kupikirkan lagi lah, kita fokus kerja saja dulu."
Kembali ke keluarga Albern
"Anggel apa kau dengar apa yang tadi diucapkan mommy ku?"
FLASHBACK ON
Setelah selesai melakukan sarapan pagi bersama kini mereka semua duduk diruang keluarga sembari melihat televisi.
"Rasanya momy tidak sabar ingin menggendong cucu."
"Anggel mommy minta tolong ya, jangan menggunakan alat kontrasepsi. Bagaimana pun juga kami sangat mengharapkan seorang cucu penerus keluarga Albern."
Anggelina yang mendengar ucapan mertuanya memandang jengah, hak saja ia tidak memberikan apalagi anak.
"Iya mom." daripada tidak ditanggapi lebih baik iya kan sajalah.
FLASHBACK OFF
"Ya, aku mengingatnya. Tapi itu tidak akan pernah terjadi Ziand, aku masih ingin melanjutkan karir ku kau tau itu bukan?"
"Aku bahkan tidak sudi memiliki anak darimu. Tapi mau bagaimana lagi hah, jika terus-terusan begini kedua orang tuaku bisa curiga."
"Program bayi tabung. Yah, program bayi tabung saja bagaimana?" Usul Ziand
"Tidak buruk, tapi jika mom dan dad tau?"
"Itu masalah nanti nantian, sekarang kita pergi saja dulu ke rumah sakit spesialis."
Selesai melakukan program bayi tabung sekretaris Max menelpon tuannya untuk acara party di Club malam ini. Dadakan sekali bukan? Jika bukan karena kedatangan musuh bebuyutannya Ziand tidak ingin menginjakkan kaki ditempat sialan itu.
~~~~~~~~
"Vi kamu yakin pakai pakaian ini?" tanya Ara, tertutup memang dengan celana jeans hitam dipadukan dengan kemben yang tidak terlalu tertutupi oleh jaket levis nya. Memperlihatkan sedikit kulit putih hingga leher jenjangnya.
"Yakin ga yakin sih Ra, kalo aku pake hoodie kan ga mungkin. Lah adanya ini."
"Iya juga sih, baik-baik disana Vi. Kalo ada apa-apa cepet telepon aku oke."
"Siap deh, ya udah aku berangkat dulu." berlalu keluar dari kos-kosannya.
11.25 pm
"Sial, pasti baj****n itu mencampuri obat perangsang pada minuman ku. Arrrgggghhhh panas sekali rasanya, jika aku pulang dengan keadaan seperti ini bisa dibunuh ayah."
"Mencari pelampiasan, iya mencari pelampiasan huhh tahan." Aaron ya laki-laki tersebut memang dia. Setelah bertemu dan berbincang dengan rekan bisnis yang diundang dalam party. Musuhnya menjebaknya dengan kedok untuk taruhan. Minuman milik Aaron dicampuri obat.
Drrttt drrttt
Ponsel milik Ara berdering, ternyata sahabatnya menelpon. Apa terjadi sesuatu.
"Hallo, kenapa Vi?"
"Ra jemput gue sekarang, sumpah gue takut banget. Banyak laki-laki hidung belang disini."
"Tunggu-tunggu sejak kapan jadi lo gue, bukannya aku kamu."
"Bahas itunya nanti aja ya Ra, buruan kesini."
Tutt tutt tut
Panggilan suara diakhiri sepihak, Ara saja belum menjawab ucapan sahabatnya. Sebenarnya ia lelah, karena besok libur dan demi sahabatnya dia bergegas menuju Club.
"Mana sih, ini tempat gede banget lagi. Masa iya harus nyari di setiap sudut." gerutunya
"Emm tuan mau tanya, ruangan untuk party ***** disebelah mana ya?" bartender itu mengerutkan keningnya heran dengan pakaian Ara, tidak biasanya ada gadis memasuki Club dengan celana tidur dan hoodie kebesaran.
"Tuan? Heyyy."
"Ah iya nona, ruangannya ada di lantai 3. Silahkan menggunakan tangga itu." jedanya dengan menunjuk arah tangga. "Ruangan nomor 2B cari saja di pintunya berwarna coklat."
"Baiklah terimakasih, lantai 3 ruangan nomor 2B dengan pintu berwarna coklat." Cia terus merapal kalimat tersebut sembari menaiki tangga. Sampai dilantai 2 baru saja dia ingin menaiki tangga berikutnya, Ara melihat laki-laki bertubuh tinggi dengan pakaian dan rambut yang sudah acak-acakan. Dilihat dari jalannya saja merasa iba, dengan segera Ara membantu lelaki tersebut tidak berfikir apa yang terjadi kedepannya.
"Mari tuan saya bantu." ucapnya dengan meletakkan tangan kanan pria itu ke pundaknya untuk menopang.
Aaron yang melihat ada gadis menolongnya menyeringai.
"Antarkan saya ke kamar yang bercat putih itu."
"Baiklah, mari."
Setelah tepat didepan pintu Ara membukanya dan meletakkan Aaron dengan hati-hati di kursi yang terdapat diruangan itu. Saat Aaron melihat Ara ingin keluar, dengan segera Aaron berjalan cepat dan mengunci ruangan.
"Tuan, saya ingin keluar untuk mencari sahabat saya." ucapnya kaget.
Tersenyum miring hanya itu yang Aaron perlihatkan.
"Tuan biarkan saya keluar!" pekiknya dengan lantang. Aaron yang mendengar nada tinggi gadis didepannya, semakin tidak tahan lagi. Diangkatnya tubuh Ara seperti karung beras dan dilemparkan ke ranjang ruangan tersebut.
"Bermainlah dengan ku gadis kecil, bantu aku menghilangkan obat sialan ini." pelan tetapi menekan, Ara yang mengerti apa maksud pria tersebut memberontak sekuat tenaga. Apalah daya, kekuatan Ara tidak ada apa-apanya dengan pria ini.