Hari berikutnya, suasana pagi itu terasa hening. Udara dingin membelai lembut, memunculkan embun tipis di atas permukaan mobil yang diparkir di sisi jalan. Di sana, Caise berdiri dengan tatapan kosong, matanya tertuju pada sosok Leo yang tegap berdiri di dekat mobilnya. Bayangan tubuh Leo terpancar jelas di bawah sinar matahari pagi yang lembut, membuatnya terlihat sedikit berkabut, seolah mencerminkan emosi yang tersimpan di antara mereka.
"Caise..." Leo memanggil dengan nada pelan. Suaranya terdengar berat, menggambarkan ketidaknyamanan yang terpendam. Ia melangkah maju sedikit, tetapi gerakan itu hanya membuat Caise membuang wajahnya, mencoba menghindari kontak mata.
"Caise... Aku mohon, kemarilah..." Kali ini, suaranya lebih lirih, nyaris putus asa. Tangannya terbuka, seperti menunggu kehadiran seseorang yang berarti dalam hidupnya. Dengan berat hati, Caise melangkah mendekat. Gerakannya kaku, seolah ada beban yang berat menghentikan langkahnya. Begitu sampai di hadapannya, Leo langsung memeluknya erat, seolah pelukan itu adalah satu-satunya cara untuk menenangkan gejolak di hatinya.
"Aku akan pergi... Hanya sebentar, untuk sebuah urusan." Leo berbicara pelan, suaranya nyaris berbisik di telinga Caise. "Aku akan membawa Lilian juga... Doakan aku, agar aku bisa membawa Lilian kembali. Kau menginginkan dia hidup, kan? Kondisinya akan baik-baik saja jika dia menjadi seorang manusia utuh," lanjutnya. Kata-katanya penuh keyakinan, meski di dalam dirinya tersimpan keraguan yang hanya bisa ia pendam. Sementara itu, Caise tetap diam. Wajahnya menunduk, tidak tahu bagaimana harus merespons.
Angin berembus lembut, membawa aroma dedaunan basah yang khas. Caise menghela napas panjang, dadanya terasa sesak. Siapa sangka, tiba-tiba ia mendorong Leo menjauh. Gerakan itu tegas, membuat Leo terhuyung sedikit ke belakang. Dengan cepat, Caise membelakangi Leo, menyembunyikan ekspresinya yang penuh pergolakan.
"Jika kau tidak kembali... aku akan melepas cincin ini," ucap Caise dengan suara serak. Kata-katanya meluncur cepat, seperti panah yang langsung menancap di hati Leo. Dia terdiam, terpaku mendengar ucapan Caise. Tubuhnya kaku, seolah waktu berhenti sejenak. Di depannya, Caise perlahan melangkah pergi, meninggalkan dirinya yang masih berdiri diam dengan pikiran bercampur aduk.
"Caise..." panggil Leo pelan, suaranya nyaris tertelan angin. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam, tapi ia hanya bisa menghela napas panjang. "Aku minta maaf... Aku tahu kau merasa sangat kesal..." lanjutnya lirih. Namun, langkah kaki Caise tetap menjauh, tidak menoleh sedikit pun.
Di sisi lain, saat Caise berjalan pergi, air matanya mulai mengalir, menetes tanpa henti. Setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang membawa seluruh dunia di pundaknya. Hatinya dipenuhi rasa marah, cemas, dan sedih yang bercampur menjadi satu. "(Kau bodoh, aku memang mengharapkanmu kembali, tapi aku lebih mengharapkan kau tidak melakukan hal itu!)" batinnya berteriak dalam keheningan, seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Leo, di sisi lain, akhirnya memasuki mobilnya dengan tatapan yang tetap kosong. Ia tahu apa yang harus dilakukannya, meski itu berarti meninggalkan Caise dalam keadaan seperti ini.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan suasana yang berbeda. Di apartemennya, Caise lebih banyak menghabiskan waktu sendirian. Cahaya matahari yang masuk dari celah-celah jendela menyinari ruangannya yang sepi, namun tidak mampu menghangatkan suasana hatinya. Ia duduk di sofa dengan tubuh bersandar lemas, memandang kosong ke arah cincin di jarinya. Setiap kilauan dari cincin itu mengingatkannya pada janji yang pernah diucapkan Leo, janji yang kini terasa rapuh.
Di malam yang hening, ketukan pintu terdengar, memecah keheningan di apartemen itu. Langkah kaki Caise terdengar pelan, seiring ia berjalan menuju pintu. Dengan sedikit ragu, ia membukanya. Sosok Noah berdiri di depan pintu dengan wajah canggung.
"Hai... Caise..." ucap Noah pelan, sambil mengusap tengkuknya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Caise datar, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya.
"Maafkan aku, Caise, jika aku mengganggumu. Aku tahu Leo memintaku untuk mengawasimu, memastikan kau baik-baik saja sambil menunggunya. Jadi, maaf jika kehadiranku tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau tidak merasa kesepian," kata Noah dengan nada yang tulus.
Caise menunduk, lalu pandangannya teralihkan ke bawah. Di sana, ia melihat sebuah kotak kandang kucing. Dalam kandang itu, terlihat beberapa anak kucing yang menggemaskan, memandangnya dengan tatapan polos.
Caise berlutut, mengintip lebih dekat ke dalam kandang. Matanya sedikit berbinar melihat kucing-kucing kecil itu, meski hatinya masih berat.
"Aku pikir ini cara terbaik untuk menghiburmu," kata Noah sambil tersenyum kecil. "Aku sengaja membawa mereka karena kau memilih tinggal di apartemen yang sepi. Aku mengambil beberapa anak kucing dari rumah Leo untuk menemanimu."
Caise lalu menghela napas panjang, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk di dalam dadanya. Ruangan apartemen yang sepi itu terasa semakin sunyi, meskipun kucing-kucing yang baru saja ia lepaskan mulai bermain dengan riang di sekitar. Ia memandang ke arah Noah, yang berdiri tak jauh darinya dengan tatapan yang penuh perhatian namun tegas.
"Terima kasih, aku hargai pemberian dan usahamu..." ucap Caise dengan nada pelan, seperti menyembunyikan perasaan terima kasih yang sebenarnya mendalam di balik ekspresi lelahnya.
Noah menatap Caise sejenak, raut wajahnya berubah seakan ingin memastikan pesannya benar-benar sampai. "Baiklah, jika itu sudah selesai... Aku akan pergi. Aku harap kau baik-baik saja, karena aku mencemaskan ini, juga mencemaskan kondisi Leo."
Nada suara Noah terdengar berat, penuh keprihatinan. "Sikapmu dan kondisi Leo sama-sama terhubung, jadi tolong jaga kondisimu juga, Caise." Pesan itu sederhana, tetapi kata-katanya meninggalkan jejak yang kuat di hati Caise. Ia tersenyum ragu, bibirnya melengkung sedikit seolah mencoba menyembunyikan rasa bersalah. Ia mengangguk pelan hingga Noah benar-benar pergi, meninggalkan keheningan yang menggantung.
Setelah itu, Caise memandang apartemennya dengan mata yang masih berusaha memahami semua yang terjadi. Ia melepaskan beberapa kucing yang dibawa Noah. Mereka berlari-lari dengan lincah, bermain di sekitar ruangan dengan keasyikan yang seolah mengabaikan suasana hati majikan mereka. Namun, meskipun pemandangan itu biasanya menghibur, kali ini kesedihan di wajah Caise tidak juga sirna.
Tatapannya yang kosong tiba-tiba teralih ketika ia melihat sekelompok kucing lainnya yang berkumpul di depan kandang. Mereka tampak sibuk, bergerak ke sana kemari seolah ada sesuatu yang menarik perhatian mereka di dalam kandang. Caise mengerutkan kening, merasa aneh melihat tingkah mereka yang tidak seperti biasanya.
"Apa yang kalian lakukan?" tanyanya pelan sambil mendekat. Langkahnya lambat, seolah-olah ia ragu-ragu untuk mengganggu. Namun, rasa penasaran membuatnya terus maju hingga akhirnya ia mendapati salah satu kucingnya sedang memegang sesuatu di mulutnya—selembar kertas yang kini diletakkan di lantai di depannya.
"Itu?" gumam Caise, suara lirihnya hampir tidak terdengar. Ia membungkuk dan memungut kertas itu dengan tangan gemetar. Ketika matanya membaca tulisan di kertas tersebut, wajahnya berubah drastis. Ekspresi terkejut, bingung, dan cemas bercampur menjadi satu, membuat napasnya tercekat.
Itu adalah pesan dari Leo. Tulisan itu terlihat buru-buru, dengan tinta yang masih tampak baru. Hati Caise langsung berdebar, lebih cepat dari sebelumnya, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang datang bertubi-tubi.
"Pesan... Kapan dia meninggalkannya?!" bisiknya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Tangannya yang memegang kertas itu gemetar, mencerminkan perasaan yang bercampur antara takut dan tidak percaya. Ia mencoba membuka kertas itu lebih teliti, namun matanya sudah menangkap sebagian isi tulisan yang membuat dadanya semakin sesak.
"(Pesan ini terlihat baru... Bagaimana aku bisa tidak sadar ada pesan tersembunyi di sini? Apa Mas Noah meletakkan kertas ini di dalam kurungan kucing ini bersama kucing itu?!)" pikirnya, otaknya berusaha menghubungkan semua kemungkinan dengan tergesa-gesa.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka pesan itu sepenuhnya. Kertas itu sedikit kusut, tetapi setiap kata di dalamnya tertulis jelas. Dengan hati-hati, ia mulai membaca.
"Untuk Caise, ini aku, Leo, kekasih mu yang sangat kau sayang. Aku ingin memanggilmu dengan sebutan cinta, tapi sepertinya kau selalu menolak atau malu. Aku tidak tahu batas keberuntungan perempuan itu seberapa besar jika berhasil mendapatkan aku. Meskipun aku tipe semua orang, belum tentu juga aku adalah tipe yang kau suka.
Aku pamit sebentar untuk pergi menyelesaikan beberapa pekerjaan dan urusan harga diriku. Jangan khawatir, aku akan kembali dalam beberapa hari, tunggulah aku. Saat aku pulang nanti, tamparlah aku sesukamu karena itu akan membuatku mengingat betapa brengseknya aku meninggalkanmu begitu saja.
Kau adalah gadisku, Caise. Aku akan bertanggung jawab atas semua yang kulakukan padamu dan menanggung semuanya. Jika kau setuju, mari menikah saat aku sudah kembali nanti. Umurmu sudah cukup dewasa, bukan? Salam hangat dari kekasihmu.
Jemputlah aku setelah lama tak bertemu. Aku juga akan menjadi pahlawanmu jika kau sedang susah."
Itulah pesan yang tertulis oleh Leo untuk Caise.
Isi pesan itu begitu menyentuh. Tulisan tangan Leo mencerminkan kejujuran yang membuat hati Caise semakin perih. Kata-katanya penuh dengan emosi, setiap kalimat terasa seperti jeritan dari hati seseorang yang terdesak oleh keadaan.
Tetesan air mata mulai jatuh tanpa ia sadari, membasahi kertas itu sedikit demi sedikit. Tangannya yang memegang kertas semakin erat, seolah-olah ingin memastikan pesan itu nyata dan tidak akan pernah hilang.
"Hiks... Mas Leo... Kenapa aku bisa salah paham seperti ini?" Suaranya bergetar, kata-katanya hampir tertelan oleh isakan yang tak dapat ia tahan lagi. "Aku terlalu gegabah menilaimu... Kenapa aku selalu seperti ini jika menilaimu... Hiks..."
Air matanya terus mengalir, memenuhi pipinya yang memerah karena emosi yang memuncak. Ruangan yang tadinya sepi kini dipenuhi suara tangisannya yang lirih namun memilukan. Kucing-kucing yang berada di sekitarnya menatap dengan tatapan polos, beberapa dari mereka mendekat, menggosokkan tubuh kecil mereka ke kaki Caise seolah ingin menenangkannya.
Ia duduk di lantai, memegang pesan itu erat-erat di dadanya. Isakannya semakin lirih, tetapi air matanya tidak berhenti mengalir, membuktikan betapa dalam perasaan yang sedang ia alami.
"(Kenapa kau melakukan ini, kenapa aku tak bertanya lebih banyak soal dirimu, kenapa aku memilih diam dari kemarin!! Kenapa....!!!)" Caise tampak menangis dan dia benar benar sudah tidak tahan dengan hal itu. Tapi ia mencoba tenang dan mengusap air matanya, dia akan menunggu Leo hingga Leo selesai.