Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 76 - Chapter 76 Kind Girl

Chapter 76 - Chapter 76 Kind Girl

Terlihat Leo menatap serius pada seseorang di hadapannya, sosok yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Mereka berada di salah satu ruangan megah kediaman keluarga mereka, yang memiliki pilar-pilar tinggi dan perabotan klasik yang mencerminkan status keluarga bangsawan. Namun, ruangan tersebut dipenuhi ketegangan yang kaku, menciptakan suasana dingin di antara keduanya. Leo memanggilnya dengan penuh percaya diri, kata-katanya begitu tegas dan berani, menyiratkan tekad yang kuat dari seorang pria yang siap memperjuangkan pilihannya.

"Kau adalah kakakku," ujarnya, suaranya terdengar tegas. "Meskipun aku tak pernah berharap menjadi putra kedua di kediaman tidak berguna ini." Di dalam hati, Leo menyimpan keinginan besar untuk lepas dari bayang-bayang keluarganya yang dingin dan penuh tekanan. Dia berharap dengan restu kakaknya, kehidupannya akan berubah, lebih baik, lebih bebas dari belenggu keluarga yang terasa mencekik. "Tapi dengan izinmu, kehidupanku akan lebih baik lagi, jadi, biarkan aku menikahi Caise..." kata Leo, sebelum akhirnya dia bahkan tak segan untuk bersujud di hadapan Makaira. Sikapnya yang penuh ketulusan membuat suasana semakin tegang, dan Makaira hanya bisa menatapnya dengan raut wajah kesal.

Makaira, sosok yang dikenal keras kepala, menatap Leo dengan mata tajam, memancarkan kekecewaan dan kemarahan yang mendalam. "Kau bersikap keras kepala, setelah itu memberikan kabar kau akan menikah? Orang macam apa kau, di mana harga dirimu?" Makaira, dengan suaranya yang dingin dan tajam, tak ragu menghujamkan kata-kata yang menyakitkan. "Kau hanyalah orang bodoh..." Baginya, keputusan Leo hanyalah bentuk kebodohan yang sulit dimaafkan, dan perkataannya berusaha menekan harapan yang selama ini Leo bangun. Kata-kata Makaira terdengar berat, seolah ada sesuatu yang terpendam di balik kemarahannya.

Leo mengangkat kepalanya dengan sorot mata yang tajam, menentang dinginnya tatapan Makaira. "Bukan urusanmu jika aku orang yang aneh," jawabnya, dengan nada yang sarat emosi, berusaha menahan luapan kemarahannya. "Jika kau mengizinkanku menikah, kehidupanku akan lebih baik, dan kau tak perlu mengganggu…" Di balik suaranya yang penuh ketegasan, ada luka yang tak terlihat, luka yang berasal dari banyaknya perbedaan pandangan antara dirinya dan Makaira. Meski Makaira adalah kakaknya, sosok yang seharusnya mendukungnya, Leo tak pernah merasakan kebersamaan yang benar-benar tulus dari sang kakak.

"Apa kau tahu apa itu pernikahan!" balas Makaira dengan nada yang semakin tinggi, menegaskan rasa frustrasinya. "Apalagi jika melihat keluarga tinggi kita!!" Kata-katanya menggantung di udara, mengisyaratkan pandangan keras Makaira tentang kehidupan dan martabat keluarga mereka. Makaira percaya bahwa menikah bukan hanya tentang perasaan pribadi, melainkan juga tentang membawa nama besar keluarga mereka.

Leo tersenyum pahit, menggeleng pelan. "Sejak kapan aku membawa nama keluarga untuk menjalani kehidupanku? Aku bisa melakukannya sendirian…" katanya, suaranya mulai melembut, tetapi tetap ada rasa perlawanan yang kuat. Baginya, kehidupan yang sesungguhnya adalah tentang memilih jalan yang ingin ia lalui sendiri, terlepas dari nama besar yang telah mengekangnya sejak kecil.

Kata-kata Leo semakin membuat Makaira kesal. "Leo… Kau benar-benar akan menikahi gadis yang bahkan dalam darahnya tak ada aliran kediaman ataupun marga penting?" Nada suaranya penuh sindiran, seolah mengecilkan pilihan Leo. Di balik sikap dinginnya, Makaira merasa bahwa Leo tak memahami bagaimana kehidupan di balik tembok-tembok megah keluarga mereka.

Di saat itu juga, dari lorong lain, Caise yang kebetulan sedang berjalan melewati ruangan tersebut mendengar percakapan mereka. Dia tak sengaja mendengar ucapan Makaira yang menyakitkan hati, membuat langkahnya terhenti. Perlahan, dia menyandarkan diri pada dinding dingin, wajahnya dipenuhi ekspresi kecewa dan sedih yang teramat dalam. Kata-kata Makaira terus terngiang di telinganya, seolah menyayat hatinya perlahan. Dia tak ingin mendengarnya, tapi juga tak bisa memaksa dirinya pergi dari sana.

"Dia juga bukan siapa-siapa," tambah Makaira dengan nada yang dingin dan sinis. Baginya, Caise hanyalah orang luar yang tak pantas bersanding dengan Leo.

Leo mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah yang mulai berkobar. "Memangnya aku harus mencari gadis seperti itu! Kehidupanku adalah bagaimana aku melakukan sesuatu atas dasar apa yang aku anggap baik, pilihanku setiap masalah memang selalu salah, tapi jika aku memilih Caise... Itu sudah sepenuhnya benar." Leo mengucapkannya dengan tegas, seperti seseorang yang berusaha mempertahankan hal paling berharga dalam hidupnya. Baginya, Caise adalah pilihan yang tak bisa diganggu gugat.

Makaira menyipitkan matanya, memandang Leo dengan pandangan tajam. "Kau pikir lah pakai otak! Kau tak bisa sembarangan mempercayai seorang gadis hanya karena dia bisa memanggilmu dengan lembut, memperlakukanmu sama seperti dia berlagak polos… Aku tahu gadis itu memiliki sesuatu yang tersembunyi, dia hanya berlagak polos di mata orang seperti kita!!" Terdengar nada ketidakpercayaan dalam suaranya, seolah Makaira yakin ada motif tersembunyi di balik sikap lembut Caise.

Kata-kata itu mengiris hati Leo, tapi dia tak menyerah. "Kenapa kau bicara seperti itu!? Yang hanya tahu dia itu aku!! Dan aku tak pernah melihat dia memiliki sikap seperti yang kau bicarakan!" teriak Leo, suaranya bergetar dengan amarah yang tak bisa ia kendalikan. "Kenapa tidak kau tutup mulutmu dan biarkan aku berjalan pergi dari sini! Aku ingin kehidupan yang lebih baik sebelum umurku lebih dari kepala dua! Kau juga pasti akan menjadi seseorang yang sendirian, pantas saja kau cerai pada lelakimu karena sikapmu saja seperti itu!"

Mendengar itu, Makaira terdiam tak percaya, tetapi tak ada rasa penyesalan dalam tatapannya. Ia masih menatap Leo dengan keteguhan yang sama, seperti tembok besar yang tak mungkin runtuh.

"Kau seharusnya sadar, jika kau memang tak ingin menjalin hubungan denganku lagi sebagai saudara, atau dengan kediaman ini, maka pergilah sejauh-jauhnya. Aku tak akan mengizinkanmu menikah, bahkan aku akan mengutukmu!" ucap Makaira dengan suara tegas dan dingin.

Leo menatap kakaknya dengan kesedihan yang mendalam. "Kau… Benar-benar membuatku harus marah di umurku yang sudah tidak lagi seperti dulu…" katanya dengan suara penuh luka.

Tapi mendadak pintu terbuka dan tergeser, membuat mereka berdua menoleh. Siapa yang menyangka itu adalah Caise yang berdiri dengan mengepalkan tangan erat, menahan emosi yang sudah tak terbendung. Tatapannya suram, menunduk, seolah ada beban yang begitu berat di hatinya.

"Caise…?" Leo menatapnya terkejut. Makaira juga tak kalah terkejut, wajahnya berubah sedikit pucat. Keduanya sadar, semua yang tadi mereka ucapkan telah didengar oleh Caise.

Caise, dengan air mata yang perlahan mengalir, memandang Leo, lalu berbicara dengan suara yang gemetar. "Mas Leo... Setelah semua yang kau lalui, yang kulalui, dan bahkan yang kita lalui bersama… Inikah yang akan terjadi pada kehidupan yang aku impikan? Bersamamu? Hanya karena garis marga… Aku memang bukan siapa-siapa, tapi jika tak ada aku, kau mungkin tak akan bisa ke sini…" Ucapannya terputus-putus, menyiratkan kesakitan yang selama ini ia simpan dalam hatinya. "Sudah cukup, jika memang itu adalah pilihan yang tepat, aku akan pergi…" katanya dengan suara yang tertahan, sebelum ia berbalik dan berlari meninggalkan ruangan.

"Caise!! Tunggu, aku bisa jelaskan!!" Leo mencoba mengejarnya, tapi belum sempat melangkah, Makaira menahan tangannya, membuat Leo kesal.

"Leo!! Apa yang sebenarnya dia katakan!! Dia membantumu!! Untuk apa?!"

Leo menyingkirkan tangannya dengan kesal. "Aku pernah hampir mati, tapi dia tanpa takut menyelamatkanku. Kau pikir aku menyukainya karena alasan apa?! Lihat kehidupanku dulu yang penuh luka, kondisi yang tak terkendali, tapi dia berbeda dengan orang-orang yang hanya sekadar takut. Dia mencoba menerimaku, menerima kebiasaanku sebagai seorang pembunuh, dia telah melewati banyak hal dan dia sangat membantuku... Kau tidak tahu sesuatu seperti itu karena kau hanya ingin terus mengaturku... Jika aku memiliki waktu, aku akan membiarkanmu berbaur dengannya dan lihat apa yang terjadi saat kau ada di dekatnya. Kau akan tenang, sama seperti seekor kucing yang menikmati aroma catnip di tubuhnya..." kata Leo. Makaira yang mendengar itu langsung terdiam tak percaya.

Lalu Leo berjalan pergi, dia meninggalkan Makaira dan berlari menyusul Caise.

Caise berlari menuju gerbang kediaman. Dia berencana akan pergi, tapi ketika akan mendorong pintu gerbang, kekuatannya tak cukup, jadi dia mencoba berusaha.

Namun, langkahnya terhenti ketika tiba-tiba Leo memeluknya dari belakang, membuat Caise terkejut.

"Caise... Aku mohon..." bisik Leo.

Tapi Caise tetap menangis sangat deras. "(Aku tak pernah berharap sesuatu secara berlebihan, aku tak mau egois, jadi aku memilih yang terbaik mana yang bisa dinilai mataku...)"

"Caise..." panggil Leo lagi, membuat Caise terdiam. "Aku mohon, Caise... Jangan pergi, kita sudah berjanji... Sangat banyak... Aku sudah meyakinkannya... Jadi jangan khawatir..." bisik Leo kembali.

Caise dengan berat hati hanya terdiam. "(Aku ingin mengatakan, itu tadi menyakitkan... Ini membuatku tidak bisa memasang wajah lembutku... Aku tak bisa...)"

Hari-hari selanjutnya, semuanya mulai berjalan dengan normal. Caise kembali ke apartemennya dan bekerja lagi di rumah sakit. Hal yang luar biasa adalah Leo selalu menjemput maupun mengantarnya sampai di apartemen Caise.

Malam ini, Leo menjemputnya tepat waktu saat Caise keluar dari rumah sakit. Namun, wajah lembut yang biasanya mereka tunjukkan satu sama lain kali ini berbeda; mereka tampak canggung, dan Caise hanya terdiam sambil masuk ke dalam mobil Leo.

Leo mencoba membangun suasana. Dia selalu berusaha membuat Caise merasa lebih tenang. "Caise... Hari ini aku mendapatkan izin untuk membawa beberapa orang ke Distrik Barat. Aku akan mengurus informasi tentang Lilian secepatnya. Jadi, mungkin besok aku tak bisa menjemput atau mengantarmu... Tapi setelah aku kembali, aku punya sesuatu yang mengejutkan untukmu..." ucapnya sambil menatap Caise dengan lembut. Namun, ketika dia melihat Caise, dia hanya melihat gadis itu diam, seolah tak memperhatikannya, dan hanya menatap keluar jendela, seperti sengaja tidak mendengarkan Leo.

Leo terdiam melihat itu. Dia mencoba bersabar atas sikap yang ditunjukkan Caise padanya. "(Aku tahu aku salah... Aku tahu aku tak berguna bahkan untuk Caise. Padahal aku mencoba berbagai cara agar bisa terus menjalin hubungan ini dengan lebih baik, lebih dewasa... Dan juga lebih menyenangkan. Aku mungkin harus mencoba berbagai cara lagi... Aku harap Caise masih sabar menungguku; aku tahu dia gadis yang baik...)"