Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Salah Kami

🇮🇩rayiadzatil
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.9k
Views
Synopsis
Pertengkaran diantara Rintika dan Rinai di suatu malam pada akhirnya berujung pada masalah dan penyesalan yang tiada habisnya. Rintika dirundung ribuan mimpi buruk yang terus-terusan menggelayutinya setiap waktu pasca kasus pembunuhan adiknya Rinai. Kehidupan Rintika juga ikut berubah 180 derajat. Sampai akhirnya, Ia harus siap mengakhiri seluruh mimpi buruk yang berasal dari penyesalan roh adiknya sendiri, yang menyebabkannya tak kunjung beristirahat dengan tenang di alamnya. Dibantu Neva sahabat Rintika serta Daniel kekasihnya. Bersama, mereka berjuang mengungkap siapakah dalang dari peristiwa pembunuhan Rinai, dan mengakhiri semua penyesalan yang menghambat kehidupan di alam mereka masing-masing. Akankah mereka berhasil mengatasi semua ini? atau malah mengantarkan mereka ke penyesalan yang lebih dalam lagi nantinya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Bukan Djiwamu

First

Tangerang, 18 December 2021

17.00

Langit senja mendominasi seluruh sudut pandanganku saat ini. Memang sudah waktunya. Dunia terus berjalan, walau saat ini seluruh pikiranku sedikit kacau dan terus berputar-putar pada sebuah problematika yang terus menghantuiku saat ini. Kesenangan orang lain yang pada kenyataannya adalah asal muasal dari sebuah keburukan untuk orang itu sendiri. Adikku Rinai.

Aku pun memutar kunci motor yang ku kendarai saaat ini, demi mematikannya. Keadaan saat ini terbilang sepi dan sunyi, hanya ada semilir angin senja yang meniupkan hawa sejuk menyambut sang langit yang sebentar lagi berwarna hitam. Malam, itu maksudku.

Cklek pintu rapuh kos-kosanku kuputar perlahan agar tidak menimbulkan suara tuanya yang sedikit menyayat gendang telingaku. Haaah.. Apa yang kuduga ternyata benar akan apa yang terjadi saat ini. Keadaan kamar ku yang ternyata kosong melompong tanpa kehadirannya. Rinai. Satu-satunya adikku yang sangat sulit diperingati.

Entah apa lagi julukan yang dapat ku sematkan padanya. Batu? Kurasa iya. Bebel? Memang. Keras kepala? Sangat. Menyebalkan? Tentu saja. Dan mungkin sebaliknya, ia juga berpendapat seperti itu juga tentangku. Hanya diriku seorang. Tiada selain diriku ini. Yang akan selalu menasehatinya, walau sampai ribuan kali tak didengar, sampai mulutku berbusa-busa berbicara padanya. Tidak akan didengarnya barang sepatah kata. Tidak pernah. Aku keluarganya. Hanya tersisa diriku, entah mengapa. Memang takdirku. Dan aku tidak menganggap ini sebuah kutukan atau semacamnya. Aku kakaknya, tanpa ibu, ayah, atau yang lainnya.

Orang tua kami telah lama meninggal dunia disaat usia kami masih dini. Masalah keberadaan kakek, nenek, paman, bibi, atau yang lainnya. Mereka berada jauh dari kami di kampung sana. Mau tidak mau, aku yang menggantikan peranan orang tuaku. Urusan jenuh atau Lelah jangan ditanya. Tapi, apa boleh buat? Sudahlah…

Aku pun melemparkan tubuh ini ke atas hamparan putih Kasur milikku yang terasa tidak terlalu empuk. Namun terasa sangat nikmat. Biarlah.. aku terbiasa hidup seperti ini. Setidaknya, kali ini aku akan beristirahat untuk beberapa menit, lalu bangun Kembali setelahnya, demi mengerjakan beberapa tugas kantor yang belum sempat terselesaikan. Well, I need a little rest…

_…­­_

Krauk.. krauk… kraukk..

Suara bising ini membangunkanku. Perlahan kubuka mataku yang masih terasa lengket dan berat. Cahaya lampu dikamar ini pun akhirnya menyeruak memenuhi pandanganku. Aku menghalangi mataku yang telah terbuka sepenuhnya ini dengan lenganku, demi meminimalisir intensitas cahaya yang masuk ke dalam korneaku.

Pandanganku menangkap tubuh seorang gadis yang tengah duduk disebelahku, aku tahu, pasti ia yang sedang makan-makan sampai terdengar jelas ke telingaku di saat ia mengunyah makanan. Televisi yang sebelum ku tidur tadinya dalam keadaan mati, kini menyala, memutar sebuah acara talkshow kesukaan orang yang sedang menontonnya. Sebelah tangannya mengapit sebungkus kripik kentang yang terlihat bermerk asing di penglihatanku dan sebelah tangannya lagi memegang remot tv. Astaga berapa lama aku tertidur? Jam berapa ini?

Sesekali ia tertawa sendiri melihat acara tontonannya, walau saat ini wajahnya sempurna berwarna hijau diselimuti face mask yang terlihat sudah mengering dan retak-retak. Kurasa ia sudah lama mengenakannya, ditambah lagi mulutnya tak berhenti tertawa dan mengunyah keripik yang digenggamnya . Dasar WATADOS...WAJAH TANPA DOSA! Hei, Aku cemas menungguimu tahu! Setidaknya, itulah yang batinku katakan.

Aku pun membulatkan tekad untuk bangkit dan menegurnya seperti biasa.

Tep! Aku menepuk bahunya. Gadis ini spontan menoleh padaku. " Hei! You mess me up!!!.. Ish, Gak usah ganggu, kak…" katanya sambil mengalihkan pandangannya kembali ke televisi. Aku hanya menatapnya sinis untuk beberapa saat. Akhirnya, gadis ini merasakan hawa amarahku yang masih kutahan-tahan saat ini. Keep calm, Tika.. batinku.

Tak lama, setelahnya, Rinai menatapku Kembali. "Kenapa lagi? Laper? Hah? Nih makan! Kripik dari Singapura. Di beliin Dava, dia baru balik dari Singapur, gak beracun, kok. So, Ga perlu melototin gua kayak gitu, oke?" katanya sambil melempar keripik yang digenggamnya tadi ke arahku. Sialan! Kurasa kesabaranku mulai terkuras. "Oh iya, Kak. Nih juga ada ganci dari Dava. Sebenarnya, ini buat gua. Tapi, gua gak begitu suka sama modelnya, buat lo aja. Ga usah makasih ke gua. Nih!" untuk yang kesekian kalinya gadis ini melemparku lagi.

Lagi-lagi hati kecil ini berkata.. Sabar, Tik.. sabar…. Aku menghela napas panjang dan mulai menghampirinya. Aku tak peduli apa saat ini aku menghalangi tontonannya atau tidak. Ia tak menatapku sama sekali, seakan-akan aku tak ada di depannya saat ini. Aku beralih menatap jam dinding yang masih terus berdetak dari atas sana. Pukul 23.30 WIB.

"Dari mana aja kamu? Pulang jam berapa tadi?" tanyaku padanya. Ia memutar bola matanya 360 derajat. Tidak terima akan apa yang baru saja ku katakan. Sure, it's her...

"Ck, mulai lagi, deh" balasnya. "Abis ketemuan sebentar sama Dava di Plaza City. Dia baru sampe di Indonesia. So, sebagai pacar yang baik. Gua sambut kedatangan dia. Dan, gua pulang sekitar setengah jam yang lalu. Sekitar jam 23.00. Bagaimana nyonya? Apa sudah jelas jawaban saya? Kalau begitu, saya pamit mau tidur dulu. SAYA CAPEK!!" katanya sambil melengos ingin melewatiku, tapi kutahan bahu telanjangnya. Pakaian yang selalu di kenakannya, tangtop ketat yang menampilkan bahu dan area perutnya dengan shortpant ketat kebanggaannya. Jujur saja, aku muak melihat penampilan maupun kelakuan gadis ini yang terlihat seperti preman.

"Tunggu, gua belom selesai bicara. Mau tidur kata lo? Ga ngerasa berdosa, hah? Denger ya, cuma PEREMPUAN MURAHAN yang selalu pulang tengah malam Cuma buat hang out sama cowok-cowok ga jelas. Lo itu punya harga diri gak sih? Udah berapa kali gua bilang, jangan deket-deket sama cowok buaya itu, dia pernah pacaran sama beberapa perempuan di kampus gua, dan asal lo tau aja… semua perempuan bekas dia, semua berakhir di kehancuran mereka sendiri. Mereka dihamilin sama Dava, cowok lo itu!! Tapi sayangnya, gak ada yang berani maju ke pengadilan untuk menggugat dia. Mereka terlalu takut. Sampai akhirnya kasus mereka Cuma jadi kabar angin biasa yang Cuma tersebar di kalangan murid, Dosen satupun gak ada yang tahu. DAN GUA GAK MAU HAL BURUK ITU NANTINYA BAKAL TERJADI JUGA SAMA ELO!!!!" rasanya emosi ini sudah meluap-luap.

" Yaelah, Tik… alay tau gak?! I'm fine and I'll never do that worst! Jadi gak usah nyampurin hidup gua lagi! Dava itu gak seperti yang elo bayangkan. Buktinya, dia selalu ngasih gua barang-barang branded yang gua minta, dia ngasih karena dia cinta sama gua! Dan ujung-ujungnya elo juga bakal kecipratan'kan? Seneng kan dapet barang mahal?!! Harusnya lo bersyukur dan berterimakasih ke dia dan berhenti overprotektif kayak gini!!. GUA BUKAN BAYI LAGI, TIK!! Gua butuh yang namanya kebebasan! Paham?!" Bentak Rinai.

" What?! Me? Overprotective?!! Lo salah, Nai…" balasku lantang. " …asal lo tau, gua begini bukan berarti maksud gua overprotektif. Tapi satu, GUA CUMA SAYANG SAMA ELO, NAI!! Itu aja! Kalau memang itu mau lo. Sekarang, terserah lo mau hidup kayak gimana. I'm done! silahkan hidup sesuka lo! Gua pergi!!"

Setelah mengucapkannya dengan lantang, aku pun bergegas meninggalkan Rinai Bersama motor dan jaketku. Setidaknya, merekalah yang masih setia padaku kali ini. Aku rasa, aku butuh menenangkan diri. Sendiri. Ditengah jalanan yang ramai, namun terasa sangat sepi. Angin malam berhembus menrebangkan rambut panjangku. Rasanya, air mata ini terasa lebih dingin setelah mengalir di pipi tak keruan. Mungkin ada dua jam aku berkelana tak jelas, mengelillingi kota. Sampai rasanya, lambungku terasa sakit. Astaga, kurasa maag ku kambuh..

Kuakui, memang sejak dari tadi pagi, aku belum makan apapun, barang sesuap nasi karena telat bangun. Tetapi, kali ini terasa lebih menyakitkan dari pada biasanya. Terpaksa, kuberhentikan laju motorku untuk singgah di sebuah Apotik lalu berjalan lagi beberapa meter sampai akhirnya, aku menjumpai sebuah Kedai Nasi Goreng.

Ugh, lambungku serasa di remas kuat-kuat. Sakit sekali. Kurasa, malam ini aku akan bermalam di apartment Neva, sahabatku. Untungnya, baterai ponselku masih utuh. Jadi aku masih bisa menghubunginya setelah pesananku datang. " Teriamaksih, Pak…" kataku setelah nasi goreng pesananku datang. " Iya, sama- sama, Neng.."

Sebelum menghabiskannya,. Tak lupa, aku meminum obat maag. TRIRIRIRIRING~ hah? Sebuah panggilan telepon masuk dan menampilkan sebuah nama penelepon yang tak kuduga-duga. Rinai.. hah? banyak Panggilan tak terjawab lain darinya juga beberapa menit yang lalu. Tepatnya, saat aku masih berada di perjalanan. Apa yang terjadi padanya? Tidak mungkin ia menyesali akan apa yang terjadi pada kami barusan. Hm, entahlah? Batinku sambil mematikan panggilannya dan melanjutkan makanku. Namun, tak lama. Anak ini menelepon lagi. Lalu, kumatikan lagi. Ada apa sih dengannya? Mengganggu saja, huh!! Walau sebenarnya aku penasaran.

Setelahnya, aku beranjak ke apartmen Neva. Sesampainya disana, Neva tidak bertanya banyak, karena sesungguhnya, Neva sangat paham pada fenomena ini. Karena kejadian ini bukan merupakan yang pertama kalinya bagi kami. Ia menyuruhku beristirahat di atas kasurnya yang terasa sangat empuk dibandingkan Kasur di Kos-Kosanku sana.

Akhirnya, tak membutuhkan waktu yang lama, aku pun terlelap kelelahan. Dan kurasa, aku akan membolos kerja besok pagi. Yah, sudahlah, aku Lelah..

­_..._

Srek! Tiba-tiba kelopak mataku di terjang sinar matahari dan malah membuatku menarik selimut yang tadinya sama sekali tidak menyelimuti tubuhku. " Wei, Tika! Gila ya?! Bangun gak!" teriak Neva. Aku hanya menggiliat merespon gadis ini. " Ah, nih orang. Hei bangun!! Bos lu nelpon tuh daritadi!!.." serunya, mendengarnya, mataku pun terbuka bulat sempurna. " Ha? Jam berapa ini? Gawat! Gua belom bilang kalau hari ini mau izin!!" teriakku sambil menyambar handphone yang tergeletak di atas meja. Tentu saja, ini dari bosku. Pak Agus. Bisa gawat jadinya kalau aku libur tanpa pemberitahuan, sst.. ini menyangkut uang tunjangan hari raya milikku. Bisa gawat kalau nantinya sampai beliau potong gara-gara hal seperti ini.

Benar saja, sudah banyak sekali missed call dari Pak Agus sedari tadi. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menelepon Pak Agus Kembali. Aduduh.. jangan sampai dimarahi… " Halo, selamat pagi, pak." Kataku setelah telepon tersambungkan. " Ah, It's you, Rintika! Where've you been?! You've got a lot of job here since hours ago!" marah Pak Agus. Ups, aku lupa kalau Boss ku itu orang luar yang sangat menjunjung kedisiplinan. Pak Agustine Gray atau yang biasa di panggil Pak Agus. Beliau yang meminta dipanggil begitu. Agar Indonesianly, kata beliau. " Ummm, I'm so sorry, Sir. I just can awake from my sleep. Cuz, I'm sick right now. And probably, if I could missing my jobs today. Could I?" kataku dengan nada memohon. Terasa hening beberapa detik sampai akhirnya beliau mengiyakan perizinan membual ini. Apa boleh buat.. maafkan bawahanmu ini, pak... batinku " All right, thank you, sir.." Piip~

Sambungan telepon pun terputus. Fiuuh, akhirnya.. batinku. Akhirnya, aku menghela napas Panjang. Neva terlihat menertawakanku dari tempatnya berdiri saat ini. " Gimana?" tanya Neva. " It' s fine.. gua udah dapet izin kok." " Haha, untung Bos lu baik.." tambahnya.

" Yup, sangat baik! Muda, tajir dan ganteng pastinya, hohoho Bosku memang yang terbaik!" " Oh, jadi sekarang lu pindah hati sama si Bos, Daniel nya mau dikemanain, nih? " goda Neva. " Apanya yang pindah hati? Gua Cuma memuji orangnya, bukan berarti cinta atau pindah hati juga kali. Gua tau diri, kok. Kita gak sederajat, babe.." " Oh, jadi kalau sederajat mau langsung embat nih?" " Wahh, makasih deh. Soalnya, Daniel udah jadi segalanya buat gua.." Jawabku bangga. " Haha, iya deh.. kenyang sama cinta, ya?, Tik.. butuh sarapan gak, nih? Soalnya, asupan cinta Daniel udah bikin perut lu kenyang kayaknya..." Gadis ini tertawa renyah melihat ekspresiku setelah ia mengatakannya. " Ah, ngomong apa sih?! Laper dong..... Soalnya, cinta itu gak bisa bikin perut kenyang!" jawabku sambil membuang muka. " Oh, sweetheart. You're blushing right now! Lucu banget, sih.."

Aku masih terus berjalan melewati Neva yang masih berdiri di tempatnya. " Hei, tungguin dong!.." panggil Neva. " Ayo cepet, nanti kita bisa kehabisan sarapan!"timpalku. " Ah, iya-iya.." Neva mengekor di belakang ku.

" I'll drive, and.. elo… yang bayar makanannya.." sesaat setelah mengatakannnya, aku dapat melihat ekspresi Neva yang tersenyum pahit lewat spion motorku. " Oke, berangkat.."

Pagi ini terasa hangat dan menyenangkan bagiku. Semuanya terlihat cerah. Kami mengobrol sampai tertawa-tawa bersama selama perjalanan menuju Pasar Pagi tempat pemburuan sarapan kami kali ini. Sesaat, semua masalah yang menggerayangiku semalam hanya terasa seperti mimpi buruk di dalam tidurku, disaat ku terbangun, semua mimpi buruk tadi pun sirna begitu saja. Padahal, pada kenyataannya, aku tidak tahu bagaimana lagi kedepannya nanti. Jika kutanyakan sekarang pada Neva. Aku tahu apa yang akan menjadi jawaban dari gadis itu. " Ya ampun, sudahlah.. tinggal saja disini bersamaku sampai kapan pun kau mau. Lagipula, aku sendirian disini. Temani saja aku.." iya, itu jawabannya. Pasti.

Tak lama kemudian, kami sampai di tujuan. Sekarang tinggal mencari gerai langganan tempat kami makan. Bubur ayam kesukaan kami. " Berapa, bu? " tanya Neva. " Empat belas aja, mbak " jawab si Penjual. " Nih, bu.. kembaliannya buat ibu aja.." ucap Neva sambil menyodorkan uang dua puluh ribu. Aku yang melihatnya hanya bisa tersenyum dari kejauhan sini. " Walah, beneran nih, mbak? Saya punya uang kembalian kok buat uang mbak." " Bener bu, gak apa.." " Yo wes toh, makasih banyak ya, mbak.." kata si Penjual senang.

Memang, Neva adalah pribadi yang sempurna. Ia baik, murah hati, cantik, ramah, pintar dan finansial juga tentunya memadai. Terkadang, aku iri padanya. Ia selalu mendapatkan apa yang di inginkannya. " Hei, Tik! Kok, bengong begitu? Ngeliatin apa sih?" tiba-tiba saja anak ini membuyarkan lamunanku.

" Hah? Enggak tuh! Ayo pulang! " kataku sambil menaiki motorku. Neva lanjut naik diboncengan ku. Dan beberapa saat setelahnya disaat aku baru ingin menancapkan gas, sakuku bergetar. Tidak, lebih tepatnya telepon genggam milikku. Sebuah nomor asing masuk ke panggilanku. Aku lebihi memilih mengangkatnya terlebih dahulu dan menunda perjalanan kami sebentar. " Siapa, Tik? " tanya Neva. " Gak tau, nih. Angkat gak ya? " tanya ku balik " angkat aja! Siapa tahu penting? " " Oke.."

Piip~ " Halo, siapa ini? " tanyaku. " Syukur deh diangkat, yak.. anu, teh Tika. Ini teh si Ambu. Gawat teh, gawat!!.. " kata Ambu ibu pemilik kosan ku dengan logat sunda khasnya. " Ah, Ambu! Ada apa, ya? " " Gawat, kamu teh harus pulang ke kos-kosan SEKARANG!! Eh, salah! Ke Rumah Sakit Hermina sekarang!! " Lah, memangnya kenapa, bu? " " Ambu gak bisa jelasin sekarang. Ini tentang adikmu Rinai. Pokoknya, kamu datang dulu kesini, SEKARANG JUGA!! "

Tuut~ Aku masih termangu mencerna kata-kata Ambu barusan. Aku tidak salah dengar, kan? Rinai? Adikkku? Apa yang terjadi padanya? Kenapa harus Rumah Sakit? Begitulah, banyak pertanyaan yang muncul di benakku.

" Hei! What's a matter, Tik? " tanya Neva cemas. " Entahlah, gua gak tau. Tapi, firasat gua merasa ada hal buruk yang terjadi sama Rinai." " Ya udah, kita langsung kesana aja sekarang.." timpal Neva. "No, bukan kita. Gua aja yang pergi, elo pulang aja naik OJOL, ya? " kataku yang akhirnya disusul anggukan Neva. Ia pun akhirnya turun dari boncenganku.

" Bener, nih, Tik? Lo bisa sendirian? " tanya Neva dengan raut wajah cemas. Aku menganguk mantap padanya. " Maaf ya Nev, gua jadi ninggalin lo disini.." " Yeah, that's okay.. oh, ini! Lu bawa buburnya, ya. Terus sarapan disana. Jangan sampe maag lu kambuh lagi.." Neva menyematkan tali plastik bungkusan bubur milikku di stang motor. " Thanks Nev,.." kataku sambil memutar kunci motor beranjak meninggalkannya. Dari kaca spion, aku dapat melihatnya yang melambaikan tangannya padaku. Aku hanya bis a tersenyum dari atas motor. Kuharap aku tidak telat, dan tidak akan menyesali apapun.. Aku datang, Naia..

_..._