"Nek, ini nggak seperti yang Nenek lihat." aku mencoba menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi pada Nenek "
"Cukup!! Diam!!" Nenek terlihat marah sekali. Ia memeluk Lika dengan erat. Apa yang ada dipikiran Nenek sekarang?
"Lika, ayo bantu jelaskan sama Nenek." aku mencoba meminta pertolongan Lika. Tapi Lika masih saja menangis tersedu-sedu.
Wajar sih dia menangis. Mungkin dia syok. Kupegang tangannya saja dia mengira bisa hamil. Apalagi kejadian tadi.
"Ada apa Bu Irma?" Paman Ardi dan Bi Mala datang ke kebun belakang. Mungkin mereka mendengar suara ribut-ribut. Dan mereka kaget melihat Lika menangis tersedu-sedu di pelukan Nenek.
"Ardi, Mala. Pernikahan dipercepat jadi Minggu depan." ucap Nenek tegas. Aku melotot sempurna.
Apa-apaan ini? Aku tak melakukan apapun. Ini semua murni kecelakaan. Tapi Nenek sudah mengira aku berbuat mesum. Lika pun tak mau bersuara menjelaskan apa yang terjadi. Dia hanya menangis saja terus.
"Tapi Nek..."
"Nggak ada tapi-tapian. Minggu depan kalian menikah. Titik!!"
Lika mengendurkan pelukannya dari Nenek. Ia masih diam. Lalu menatapku tanpa ekspresi. Apakah dia marah kepadaku? Tapi aku tak melakukan apapun. Ya, semuanya terjadi diluar dugaan. Tanpa kesengajaan.
"Lika, ayo berkemas. Kamu ikut Nenek dan Bima hari ini ke Jakarta, sambil kita mempersiapkan keperluan pernikahan. Boleh kan Ardi?" tanya Nenek kepada Paman Ardi.
"Coba tanyakan Lika dulu Bu, apakah Lika mau. Kami mendukung saja mana yang terbaik." jawab Paman Ardi.
"Bagaimana Lika?" Nenek menatap Lika penuh kasih sayang. Lika pun menganggung setuju.
~~~
Dalam perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Lika duduk di belakang bersama Nenek. Mereka bercerita panjang lebar. Jika aku adalah seorang cucu yang paling malas mendengar cerita Nenek yang itu-itu saja. Tapi tidak dengan Lika. Sepertinya dia pendengar yang baik buat Nenek.
Kami memasuki jalanan kota Jakarta setelah melewati empat jam perjalanan dari desa Lika. Lika tampak terkagum-kagum dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Semua hal yang tak pernah dilihatnya ditanyakannya pada Nenek.
"Itu apa Nek?"
"Kalau yang itu?"
"Cantik banget ya Nek."
"Wah... kapan-kapan Lika mau diajak ke gedung itu Nek."
Mulutnya tak berhenti bicara dari tadi. Kekagumannya akan kota Jakarta membuatnya terlihat norak. Seperti Tarzan masuk kota.
Kamipun sampai di gedung mewah tempat Apartemenku berada. Sebenarnya Nenek punya rumah yang tak kalah megahnya. Tapi aku memilih untuk tinggal di apartemen ini dan membawa Nenek kesini. Karena menurutku lebih praktis. Lebih dekat ke kantor dan kemana saja.
Saat memasuki lift, Lika tampak takut.
"Nek, kita mau apa disini?" tanyanya pada Nenek.
"Apartemen Bima ada di lantai 40. Jadi kita naik lift ini keatas. Nggak mungkin naik tangga. Mana kuat." jawab Nenek.
"Memangnya benda kotak ini bisa naik ke a... Aaaaaa..." belum selesai Lika berbicara ia sudah menjerit karena liftnya sudah bergerak naik ke atas. Karena kaget, tanpa sadar, refleks Lika memelukku yang ada disampingnya.
"Jangan pegang-pegang, nanti kamu hamil." seruku pada Lika. Diapun sadar dan melepaskan pelukannya.
"Lika nggak mau naik ini Nek. Takut. Lika takut. Kepala Lika pusing."
"Kamu lebih takut naik lift, atau takut hamil?" aku menggodanya lagi.
"Mas Bima... Lika beneran takut."
"Udah nggakpapa, nanti kamu juga terbiasa." sambung Nenek.
Kamipun sampai di dalam apartemenku. Kurebahkan tubuhku di atas sofa. Letih sekali rasanya nyetir sendirian ketika melakukan perjalanan panjang.
"Bu Marni tolong buatkan jus jeruk." seruku pada Bu Marni.
Bu Marni adalah asisten rumah tanggaku. Ia yang membantuku mengurusi rumah, mengurusi makanan dirumah ini dan sebagainya.
Lika yang melihat aku menyuruh Bu Marni tampak kesal dan protes.
"Mas Bima, punya tangan dan kaki, malah nyuruh-nyuruh. Kerjakan sendiri sana."
"Nggakpapa non. Memang sudah tugas ibu kok." jawab Bu Marni.
Aku menatap Lika dengan tatapan malas. Memang Lika cantik, imut, dan menggemaskan. Tapi ternyata cukup menyebalkan juga. Mirip Nenek. Menyebalkan. Apakah semua wanita memang punya sifat menyebalkan?
Nenek terlihat masih sibuk mengatur koper Lika.
"Lika, itu kamar kamu ya. Nanti bawa barang-barang kamu ke kamar." tunjuk Nenek ke sebelah kanan. Ada satu kamar kosong memang disitu.
"Nanti biar Bu Marni bersihkan kamar itu dulu." sambung Nenek lagi.
"Kalau yang ini kamar Nenek. Dan itu dekat kamar kamu adalah kamar Bima." Lika hanya mengangguk mendengar penjelasan Nenek.
Akupun beranjak ke kamarku. Rasanya akan lebih tenang jika istirahat di kamar.
"Bu, nanti jus jeruknya taruh di atas meja makan aja ya." seruku pada Bu Marni. Bu Marni mengangguk.
Aku masuk ke dalam kamar. Membaringkan badan sebentar sambil cek ponsel. Apakah ada pesan penting masuk ke WhatsApp. Memang ini adalah hari Minggu. Tapi terkadang di hari Minggu pun, Sari, sekretarisku mau memberi info atau sekedar mengingatku tentang pekerjaan atau meeting yang akan dilakukan besok.
Tidak ada pesan penting yang masuk. Baiklah. Sepertinya waktu untuk istirahat cukup panjang.
Akupun bergegas ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Gerah sekali setelah melakukan perjalanan panjang. "Setelah mandi, minum jus. Lalu istirahat" gumamku berbicara pada diriku sendiri.
Kunyalakan shower. Menikmati guyuran air yang memberi kesegaran pada tubuhku. Sekilas terlintas wajah Lika. Ah, gadis itu. Benarkah dia akan menjadi istriku? Kami bahkan baru bertemu hari ini. Dan Minggu depan kami akan menikah? Bahagiakah dia jika menikah denganku nanti? Apakah dia mencintaiku?
Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Sejujurnya aku suka melihatnya. Melihat kesederhanaan dan kepolosannya. Walaupun kadang ia menyebalkan. Tapi ini belum bisa dibilang cinta. Bagaimana mungkin aku menikahi gadis yang tidak kucintai.
Tapi Nenek bilang, cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu.
Ah.... Nenek. Aku tahu Nenek sangat menyayangiku. Dia akan melakukan apa saja untuk kebahagiaanku. Tapi untuk urusan pernikahan ini bagaimana? Pernikahan bukan perkara main-main atau coba-coba.
Apakah sebaiknya aku memohon kepada Nenek untuk memikirkan kembali pernikahan ini. Lika juga tidak terlalu setuju dengan perjodohan ini. Masih ada waktu seminggu lagi untuk menggagalkannya ataupun menundanya.
Kalaupun Lika jodohku, biarlah kami menikah karena rasa cintaku sudah tumbuh kepadanya. Begitupun sebaliknya.
Kubuka pintu kamar mandi. Aku hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhku. Toh hanya aku sendiri yang ada di kamar ini.
Bergegas aku menuju tempat tidurku. Dan aku menjerit melihat Lika sudah ada di dekat pintu. Ia pun sama kagetnya denganku, dan ikut menjerit juga.
"Aaaaaaa. Mas Bima!!!!" ia berteriak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Ngapain kamu kesini?"
"Inikan kamar Lika!!" teriaknya masih tetap menutup wajahnya.
"Kamu salah kamar, ini kamarku." ucapku tak kalah berteriak.
"Astagaaaa. Maaf!" ucapnya buru-buru menarik kopernya kembali.
Sempat kulihat ia mengintip kearahku, ia membuka sedikit tangan yang menutupi matanya. Sehingga sebelah matanya tampak olehku.
Dan saat itu pula, ntah kenapa handuk yang kupakai terlepas. Dan bisa kupastikan. Lika pasti melihatnya, dengan sebelah mata yang mengintip tadi.
"Aaaaaaa. Mas Bima... Lika nggak mau hamil tiga kali."