Suasana kantin mendadak riuh karena Caca dari tadi terus mengeluarkan mulut bak petasannya itu, ramai. Ia mengeluarkan kata-kata pedas, memaki Athlas terus menerus. Tak lupa juga, ia menyebut nama Vina dengan nama plesetan yang ia buat. Sebagai sahabat baik Petha, ia tak terima jika harus melihat Petha menangis disebabkan perilaku Athlas yang masih saja berani menyakitinya.
"Gue gak mau tau, pokoknya lo harus putusin dia, Tha!" kata Caca sembari berjalan mondar-mandir di area kantin. Caca yang kelewat kesal dengan ulah Athlas, ia pun menyuruh sahabatnya untuk mengakhiri hubungannya dengan Athlas. Tapi, Petha langsung menggelengkan kepalanya tanda bahwa ia tak mau menuruti perintah Caca. Rasanya ingin sekali Caca menoyor kepala Petha karena kebodohannya.
"Gue gak tau harus gimana." Ia menggigit jari nya, kebiasaan yang ia bawa sedari kecil saat dirinya sedang mengalami situasi yang serba ambigu.
"Lo gimana sih? Jelas-jelas dia gak sayang sama lo, Tha!" Caca mengeram karena saking kesalnya. "Apa perlu gue buka mata lo lebar-lebar?"
Untuk menetralkan suasana, akhirnya Petha meyakinkan Caca kalau Athlas memang benar sayang padanya. "Dia sayang ke gue kok." Petha membelanya.
"Orang yang sayang gak akan nyakitin!" Caca spontan mengatakan hal itu hingga membuat Petha terdiam. Ada benarnya perkataan Caca.
"Dia gak nyakitin." Petha masih saja membela Athlas tak mau kalah dengan opini Caca.
"Gini nih yang bego sama cinta." pekik Caca
"Terus tadi lo dihukum kan sama dia, berdua keliling lapangan, dan dia gak ada care atau merasa bersalah sama lo? Gak kan?!" katanya dengan nada sedikit meninggi.
Petha mengingat kejadian beberapa menit yang lalu bahwa dirinya dihukum keliling lapangan. Meski moment berdua dengan Athlas, tetap saja Athlas tidak menyapanya atau berniat meminta maaf.
Lagi-lagi Athlas berhasil membuat Petha merasa kesal. Petha berlari mendahului Athlas berlari sekencang mungkin dengan menampilkan wajahnya yang merah padam. Sudah lima putaran penuh ia berlari, Petha memutuskan untuk berhenti di pinggir lapang.
"Istirahat aja." Kata Athlas pada Petha. Lelaki itu memperhatikan Petha dari keajuhan. Ia tahu kalau kekasihnya sudah mulai kelelahan. Petha pura-pura tak mendengarnya, ia menghiraukan perintah Athlas.
Ia menyeka keringatnya. "Tanpa lo suruh pun gue akan istirahat kalo capek!" timpal Petha ketus.
Dan Petha memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya, kalau terus ia paksakan ia akan terbaring jatuh pingsan karena penyakit asma yang dideritanya. Petha meluruskan kedua kakinya yang terasa sangat pegal. Sedangkan, Athlas masih terus berlari tanpa mengambil jeda. Petha pun menyadari Athlas yang masih saja belum selesai berlari. Padahal dirinya sudah lebih dari sepuluh putaran. Kalo dihitung total jadi limabelas putaran Athlas berlari mengelilingi lapangan, atau mungkin Athlas sedang latihan lomba lari? Ah, tentu saja Athlas bukan Atlet lari.
Setelah menyelesaikan hukuman itu, Athlas duduk di samping Petha. Meski dengan jarak berjauhan, tetap saja membuat Petha menjadi salah tingkah. Keheningan pun terjadi di antara keduanya, Petha kali ini tak ingin memulai berbicara, ia memilih diam seribu kata berharap Athlas akan menyapanya lebih dulu. Toh, ia juga masih merasa kesal pada Athlas.
Petha mengibas-ngibaskan tangannya supaya ada angin yang menyejukkan raut wajah yang penuh keringat itu. Ia juga meraba tenggorokannya yang merasa kehausan. Melihat pemandangan itu Athlas tiba-tiba pergi meninggalkan Petha.
Lagi-laigi Petha ditinggalkan oleh Athlas, ia kesal bukan main pada kekasih super cueknya itu. Matahari mulai menyongsong tak mungkin Petha berdiam di Lapangan sendirian. Alhasil, ia ikut beranjak dari tempatnya. Bodoamat dengan hukuman yang belum selesai, ia sudah hilang mood. Akhirnya Petha memilih untuk menghampiri Caca yang sedang memakan camilan di kantin.
"Dia aja main tinggal-tinggal lu, udahlah putusin aja! Ganteng sama pinter kalau biat diri lo ngebatin mah buat apa?" cibir Caca
"Gak tau lah gue sebel sama dia." Makin hari ia makin dibuat frustasi. Benar-benar lelaki itu membuat pening kepala Petha.
"Tenang masih ada Fathur." Caca menepuk pundak Petha. Ia lebih mendukung Petha untuk bersama Fathur ketimbang dengan Athlas si kanebo kering.
"Nggak. Buat lo aja."
"Fathur gak kalah kece loh jangan salah. Ganteng, pinter, ketua tim basket, kurang apa lagi dia?"
Petha menghela nafas. Ada apa dengan sahabatnya itu? Mengapa ia mendadak jadi Biro jodoh?
"Atau gak Bima ketua Osis?" lanjut Caca.
"Radin ketua eskul PMR,"
"Gani ketua Eskul Photograph?"
Semua yang disebutkan Caca tak ada yang mampu membuat Petha tertarik selain, Athlas Mark Perinson. "Cukup! Gue masih cinta sama Athlas , Ok?"
"Ah lu mah payah, setia banget!"
"Anjir bukannya jadi pasangan harus setia ya?" desis Petha. Caca hanya terkekeh pelan melihat tingkah sahabatnya itu.
Petha sebenarnya tidak tahu harus berbuat apa, jika ia meminta putus dari Athlas, bagaimana ia mengatakan alasan putusnya? Tapi, kalau diteruskan hubungannya pun membuat Petha semakin naik darah, karena tidak tahan dengan sikap dingin dan acuhnya seorang Athlas.
"Kalau gue minta putus alasannya apa?"
"Tinggal bilang dia banyak nyakitin lo."
"Nyakitin gimana?"
"Aduh Petha, lo kan sering nangis gara-gara dia gimana sih!"
"Iya, sih. Tapi, masa gue harus bilang Alesan putus karena dia cuek banget."
"Lah kan emang dia cuek, Tha? Semua orang juga tau kali!"
"Kalau gitu gue gak nerima dia apa adanya dong."
"Emang dia nerima lo apa adanya?"
Deg
Kalimat barusan membuat jantung Petha mendadak berhenti berpacu. Apakah selama ini Athlas mencintainya, dan menerima segala kekurangan Petha? Lantas kenapa dulu ia menyatakan cinta pada Petha jika Athlas masih saja bersikap acuh tak peduli padanya.
"Gue harus gimana dong?"
"Coba lo cuelin dia balik."
"Nggak bisa Ca!"
"Bisa kok!"
"Gue terlalu sayang."
"Emang dia sayang?"
Bagai kalimat retoris, jelas Petha tak bisa memastikan soal pertanyaan itu. Kalau dilihat dari sikap Athlas pada Petha, jelas ia seperti tak menyayangi dirinya. "Gg–ggue gak tau sih."
Caca merasa kasihan pada sahabatnya. Ia selama pacaran tidak pernah merasa bahagia atau sekedar tersenyum karena perlakuan manis pacarnya. Yang ini malah berbanding terbalik.
Langit sudah mulai menguning yang sebentar lagi akan berganti sore hari. Bel pulang sekolah juga sudah berbunyi. Semua siswa SMA Rajawali pun antusias dan bergegas menuju area parkiran untuk pulang ke rumah masing-mwsing, begitupun dengan Petha yang masih berjalan di area koridor sekolah. Pikiran Petha masih di kelabui oleh Athlas. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam hubungan asmaranya ini. Jika menjadi kekasihnya adalah kebahagiaan, lalu kamu menyadari terlalu banyak kekecewaan, untuk apa juga bertahan dalam hubungan itu? Rugi sendiri.
"Eh Tha, sendirian aja?" Sapa Fathur sembari menepuk pundak Petha.
"Hmm iya." Suaranya tak se-energic biasanya. Ia lelah, pikirannya juga lelah.
"Kenapa? Lagi galau?"
"Ya, gitu deh."
"Lo galau aja ya akhir-akhir ini, kenapa sih? Gara-gara Athlas?"
"Emang siapa lagi yang gue galauin selain Athlas?"
"Gue!!!" balas Fathur terkekeh pelan.
"Yeh ngarep lo!"
"Haha nggak kok. Just kidding." Fathur mengacak-ngacak Rambut Petha dengan gemas.
Fathur sudah menjadi sahabat terbaik Petha. Selama ini, ia selalu menjaga dan melindungi Petha. Fathur sudah Petha anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka menjalin persahabatan kurang lebih sekitar dua belas tahun. Namun sayangnya bisnis ayah Fathur mengalami kerugian, mereka pun pisah karena ayah Fathur pindah ke Bandung yang mengharuskan ia juga ikut bersama ayahnya dan menetap di Kota dengan julukan, Kota Kembang tersebut. Tetapi, siapa sangka kini mereka di pertemukan kembali oleh takdir. Fathur sudah mulai kembali ke Jakarta.
Fathur tidak mau melihat sahabatnya terus-terusan seperti ini. Meski ia tahu yang diinginkan dalam hidupnya hanyalah Athlas Mark Perinson. Tak sadar Athlas sedang memperhatikan keakraban mereka dari jauh. Yang hanya Athlas lakukan adalah tidak peduli meski tangan Fathur sedang merangkul cewek yang berstatus pacarnya Athlas.
Athlas berjalan dengan wajah datar melewati Petha dan Fathur. Tanpa sapaan sedikit pun yang Athlas lakukan hanya berjalan santai dan tak peduli.
Petha kecewa, jelas-jelas perlakuan seperti ini akan membuat pasangan cemburu pada umumnya. Namun, mengapa Athlas tidak merasakan kecemburuannya? Bahkan menyapa sepatah kata pun tidak, apalagi mengajaknya pulang bersama. It's just a dream, batinnya.
"Udah gak usah dipikirin. Pulang bareng gue aja, gimana?" ujar Fathur
Petha memperhatukan Athlas yang sudah setengah jauh darinya. Lelaki itu memakai jaket kulit hitam, motor ninja berwarna hitam kemerahan, dan helm yang harganya bisa membeli satu unit motor matic.
Petha sebenarnya ingin sekali merasakan duduk di jok belakang motornya, di antar jemput, pulang bersama, menikmati waktu bersamanya alias spend time. Petha menghembus nafas pasrah, rasanya itu semua hal yang mustahil bagi Petha.
Bahkan ketika Petha berada di area parkir pun Athlas masih diam, tak berkutik sedikit pun. Padahal jarak mereka begitu dekat. Yang Petha harapkan minimal Athlas meminta maaf atau mengajaknya pulang bersama. Tentu saja tidak kawan, Si Kanebo Kering itu benar-benar menyebalkan.
"Gue udah di jemput sama Pak Heru, Thur. Lo duluan aja."
"Yakin nih?"
"Iya, udah sana pergi!."
"Iya, bawel. Yaudah gue pergi ya."
"Take care, Oke?"
"Siap!"
Selama perjalanan pulang tak henti-hentinya Petha memikirkan Athlas. Apakah ia benar-benar harus berpisah dengan Athlas? Tapi, jika memang harus seperti itu, mengapa selama ini Athlas tidak pernah mengatakan putus padanya? Meskipun ia memang tidak pernah menganggap kehadiran Petha.
"Semakin lama, semakin membuatku sakit." Gumam Petha.
Apa mungkin kedepannya ia harus mengikuti saran dari Caca, untuk bersikap cuek dan tak peduli, seperti yang Athlas lakukan selama ini? Tentu saja, hal itu tidak mudah di lakukan bagi Petha.
Ia melemparkan tasnya dan membantingkan tubuhnya di atas kasur. Ia benar-benar terluka dibuatnya oleh Athlas. Seperti ini lah Athlas selama satu tahun pacaran, tidak pernah bersikap manis padanya. Pikirannya masih kesal dengan sikap kekasihnya saat siang hari tadi, lalu ia menatap layar Handphone bermerk logo Apple. Ia juga membuka sebuah aplikasi Line, untuk menghubungi sahabatnya yang mungkin bisa menghibur dirinya dari kegalauan malam.
Girls group
Rara : Maaf guys gue gak sekolah, ada acara mendadak T_T
Caca : Bilang aja lo males
Rara : Suudzon mulu loh sama gue!
Caca : Fakta coy.
Rara : Ah, palingan juga kalau sekolah liat si Petha nangis.
Petha : Sialan lo!
Rara : Benerkan gue?
Caca : Nangis udah jadi hobby dia Ra!
Petha : Ya, engga salah sih
Caca : Kata gue juga putusin cowok kek gitumah.
Rara : Lu gimana sih, Ca? Harusnya lo dukung dong! Secara banyak yang mau jadi pacar Athlas dan dia cuman milih Petha uwuwu.
Caca : Kekasih tak di anggap
Petha : Woy! Gue tandain lo!
Rara : Sabar, akan indah pada waktunya kok.
Petha : Serah deh, gue capek, kit ati.
Caca : Apalagi tadi si Athlas malah ngasih topinya buat si Vina jablay.
Rara : What? Anjir bgt si Athlas.
Petha : Udahlah, gak usah bahas.
Caca : Lo cakep, Tha! Lo ga bakal kehabisan cogan kok. Di SMA kita banyak kalee, bukan Athlas doang!
Petha : Gue sukanya Athlas titik
Rara : Awas aja ya si Vina jablay.
Petha : Jangan usil deh, udah biarin aja dia kan sahabatnya Athlas
Rara : Gue kan kesel, bisa-bisanya dia bela cewek kaya Megalodon
Membaca kata Megalodon membuat suasana hati Petha sedikit membaik. Ia tertawa terbahak-bahak dengan ucapan Rara yang mengatakan bahwa Vina mirip Megalodon, menyeramkan.
(Megalodon, yang berarti "gigi besar", adalah spesies hiu yang sudah punah. Hiu ini diperkirakan hidup sekitar 23 hingga 2,6 juta tahun yang lalu pada kala Miosen Awal hingga Pliosen Akhir.)