Chereads / Vanessa Lynx / Chapter 2 - CHAPTER 2 - KIRANA

Chapter 2 - CHAPTER 2 - KIRANA

I was sitting in the middle of the crowd.

Wondering...

Why are these people walking so fast?

What's chasing them?

What are they looking for?

Love...?

Life...?

Time...?

Job...?

Money...?

Happiness...?

Or just like me,

they are looking for memories.

January, 11, 2021

–Kirana–

"Help me." Kataku datar.

Gisel bergeming di depan pintu kamar yang baru saja dia buka. Menatapku nanar dengan kedua matanya yang sipit. Sesekali dia berkedip cepat, kemudian membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu yang tidak pernah terucap.

"Help me." Kataku sekali lagi. Masih dengan ekspresi yang sama. "Kurasa aku tidak baik-baik saja saat ini dan aku butuh bantuan."

Gisel mempersilahkanku masuk ke kamar berukuran 3 x 4 cm di belakangnya dengan membuka pintu lebih lebar dan menepikan tubuhnya. Tiga kali empat sentimeter. Lumayan besar untuk ukuran kamar anak kos.

Untuk beberapa saat kami hanya saling diam. Tidak saling bertukar pandang atau sekedar basa-basi menanyakan kabar. Aku yakin Gisel tidak perlu menanyakan kabarku karena semua orang tahu bagaimana diriku sekarang. Hanya saja, tidak ada yang berani bertanya atau mencoba bertanya.

Gisel mengeluarkan gelas kaca dari rak piring di sudut ruangan dan mengisinya dengan air putih dari galon. "Maaf, aku cuma punya ini." Katanya sambil menyodorkan gelas kaca berisi air putih yang penuh kepadaku.

"Thank you." Jawabku.

"Beberapa waktu lalu aku berbicara dengan Wina dan teman-teman lain. Kami semua bertanya-tanya, bagaimana kiranya kabarmu hari ini." Ujar Gisel setelah beberapa menit terdiam menatapku yang hanya memainkan layar ponsel.

"Melihatmu sekarang, kurasa aku tahu jawabannya." Lanjut Gisel. "Tadinya kupikir kau akan baik-baik saja karena itu adalah kau." Gisel menambahkan. "Tapi kemudian aku berpikir bahwa tidak ada salahnya jika saat ini kau merasa tidak baik-baik saja."

Aku tersenyum. Masih dengan kedua tangan yang memainkan layar ponsel. Sesekali aku membuka WhatsApp untuk melihat kalau-kalau ada pesan yang masuk. Tapi tentu saja nihil. Meskipun aku mengulanginya berkali-kali pun, hasilnya pasti akan sama. Nihil. Pesan yang aku tunggu tidak akan pernah ada.

"Tadinya aku juga berpikir bahwa aku akan baik-baik saja." Kataku kemudian. "Bahkan sampai beberapa saat lalu aku masih memiliki pemikiran yang sama. Aku baik-baik saja dan pasti baik-baik saja."

Gisel menarik nafas dalam, bersiap untuk mendengar ceritaku yang mungkin akan panjang –atau malah terlalu pendek .

"Lalu?" tanya Gisel setelah beberapa detik menunggu kelanjutan kalimatku.

Kuletakkan ponselku dalam kondisi terbalik agar aku tidak terdistraksi oleh notifikasi WhatsApp yang terus bermunculan. Beberapa pesan masuk. Beberapa telepon juga. Tapi aku mengabaikannya. Isinya sama. Tapi tidak satu pun dari pengirimnya adalah orang yang aku tunggu. Seperti yang aku bilang sebelumnya. Nihil.

"Lalu....?" tanya Gisel lagi.

Aku pun menjawab, "Lalu aku menyadari bahwa kali ini aku tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendirian."

Kujelaskan pada Gisel bahwa, "Aku butuh bantuan. Aku butuh pengalih perhatian agar pikiranku bisa keluar dari ingatan yang mengerikan itu. Aku butuh sesuatu untuk memperbaiki diriku yang sepertinya mulai rusak. Aku merasa sesak. Aku marah dan kecewa. Aku sedih dan menyesal, tapi aku juga tidak ingin peduli."

Gisel baru akan menyentuh tanganku ketika aku secara spontan menariknya untuk menghindar. Gisel tersenyum, seolah itu adalah hal biasa dan itu artinya dia tidak tersinggung dengan sikapku barusan.

"Kenapa?" tanyanya. Aku diam. Ada sedikit perasaan bersalah, tidak enak, tapi juga biasa saja.

"Why don't you try to let it go...?" tanya Gisel padaku. "Kenapa kau selalu menahan semuanya sendiri...?" lanjutnya masih dengan tanda tanya. "Kenapa kau selalu membuat dirimu baik-baik saja? Kenapa kau selalu berpura-pura bahwa kau baik-baik saja?"

Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Sepelan yang aku bisa agar Gisel tidak menyadarinya. Paru-paruku memang sudah tidak berfungsi dengan baik sejak pagi ini. Tapi aku tidak ingin mengakuinya atau bahkan membenarkan kondisiku yang mulai tidak normal.

"Kau boleh bersedih. Kau juga boleh menangis jika kau mau. Kau bisa mengeluarkan semua pikiran-pikiran yang mengganggu, dan kau tidak harus menahan semuanya seorang diri." Ujar Gisel masih dengan nada bicara yang sama. Dia sama sekali tidak terdengar menghakimi atau merasa kesal. Meskipun yang kulakukan hanya diam, menunduk, dan ragu-ragu apakah aku perlu bercerita padanya atau tidak.

Selama hampir 20 tahun aku tidak pernah merasa butuh orang lain untuk mendengar keluh-kesah atau sekedar cerita-ceritaku. Bagiku, orang lain tidak akan membutuhkan itu dan kalaupun aku melakukannya, aku hanya akan membuang-buang waktu. Menurutku, setiap orang memiliki kisah sedih dan kesulitannya sendiri-sendiri. Aku hanya tidak ingin menjadi beban bagi mereka ketika harus menceritakan bagian-bagianku.

Tapi kali ini kurasa aku bisa mati kalau tidak melarikan diri dari diriku sendiri. Meskipun susah bagiku untuk memasukkan orang lain dalam permasalahan yang kuhadapi, kurasa aku harus melakukannya. Meskipun yang kulakukan hanya duduk di depan Gisel dan membisu tanpa kata, aku tetap harus bertemu seseorang untuk mengalihkan perhatian. Untuk menghabiskan waktu dan setidaknya aku tidak sendirian.

"Dia..." Gisel mulai membuka kembali percakapan yang sempat berhenti karena keakuanku dalam berkomunikasi. Aku memang tidak pandai memulai pembicaraan, begitu pula dengan menyampaikan apa yang aku rasakan. Aku lebih suka mendengarkan orang lain bercerita bahkan ketika hati dan pikiranku ingin diledakkan dalam kata-kata yang panjang.

"Dia..." ujar Gisel menerawang, membawa kembali kenangan-kenangan di masa lalu untuk dibagikan denganku sekarang. "Pernah menegurku karena dirimu."

Hah?

"Pada awalnya aku tidak tahu apa yang salah dengan sikapku, tapi kemudian dia mengirimiku pesan dan menjelaskan alasan kenapa dia menegurku waktu itu."

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku.

"Hmmm... Kalau dipikir-pikir, apa yang waktu itu kulakukan memang tidak pantas untuk dibenarkan."

"Memangnya apa yang kau lakukan?" tanyaku tanpa ada perasaan marah atau kesal. Karena sebenarnya aku tidak ingat Gisel pernah membuat kesalahan yang pantas untuk mendapat teguran.

"Aku pernah mengatakan hal buruk tentangmu di depannya." Ujar Gisel ragu-ragu. Sekilas, dia melirikku dengan tatapan segan. "Aku tidak bermaksud untuk berbicara buruk tentangmu. Tapi waktu itu, tanpa sengaja, karena aku kesal, aku mengatakan bahwa kau adalah orang yang menyebalkan."

"Karena sikapku yang dingin, jutek, dan cuek...?"

"Yap."

"Hmph. Kau seharusnya tidak perlu merasa bersalah karena yang kau katakan adalah suatu kebenaran." Godaku.

"Tapi seharusnya aku tidak melakukannya. Lagipula, aku belum lama mengenalmu. Tapi aku sudah membicarakan hal buruk tentangmu. Menilaimu sesuka hati hanya dari apa yang aku lihat sesekali."

"Tidak masalah. Aku sama sekali tidak keberatan dengan penilaian itu." Ujarku acuh tak acuh. Tapi sungguh, itu bukan hal yang baru bagiku. Sudah banyak orang yang mengatakan hal yang sama. Aku memang tidak ramah, dan tidak cukup menyenangkan untuk diajak bicara.

"Tapi yang aku suka dari kata-katanya waktu itu adalah "Kirana bukan orang seperti yang kau kira. Kau hanya belum mengenalnya saja."" Ujar Gisel mengenang. "He is so cool, right...? Padahal aku yakin dia sendiri juga belum cukup megenalmu waktu itu."

Aku pun tersenyum mendengar pernyataan Gisel. Tidak ada kata-kata yang perlu aku keluarkan sebagai tanggapan.

"Tapi sepertinya dia benar. Kau bukan orang seperti yang kukira." Katanya.

"Lalu? Orang seperti apakah aku...?"

"Ah." Gisel melemparkan tubuhnya ke belakang untuk bersandar pada dinding yang sudah 'dilapisi' bantal. Dia memejamkan matanya erat-erat seolah merasa frustasi terhadap suatu hal.

"Tadinya kukira kau orang yang dingin. Sikapmu yang seolah tidak membutuhkan orang lain, membuatmu terlihat arogan. Tapi terkadang, kau terlihat begitu kesepian dan membutuhkan teman."

"Apakah aku terlihat menyedihkan?"

"Tidak. Kau terlihat mengesankan."

"How come...?"

"Aku bisa melihat bahwa kau berusaha menahan beban. Tapi kau tidak pernah mengeluh dan sebisa mungkin menyelesaikan semua tugas yang diberikan. Tidak heran, dia sangat mengagumimu."

Mengagumi? Yang benar saja. Setiap hari yang dia lakukan adalah membuatku kesal.

"Kau mungkin sering dibuat kesal olehnya."

Yap tepat sasaran.

"Dia melakukannya agar kau tidak terlalu fokus pada pekerjaan. Kau tahu kan, bagaimana kau tidak akan peduli dengan hal lain kalau sudah fokus dengan pekerjaan...? Dia lebih suka melihatmu kesal karena candaannya yang tidak masuk akal daripada terlalu fokus dengan alis yang berkerut."

Baiklah... Setidaknya dia sudah berusaha membuatku rileks meskipun waktunya tidak pernah tepat.

Bayangkan saja saat kau harus kejar-kejaran dengan tugas kuliah yang segudang dan deadline yang sudah di depan gerbang. Bukannya membantuku untuk fokus menyelesaikan pekerjaan, malah menggangguku dengan guyonan-guyonan yang -bagiku- membosankan. Jelas saja aku akan merasa kesal. Tapi bagaimanapun juga, aku tidak pernah bisa benar-benar marah. Paling-paling aku hanya diam dan mencoba memasang wajah datar dengan tatapan yang tajam. Saat itu terjadi, dia pasti langsung diam.

"Dia orang yang baik." Gumamku lebih pada diri sendiri.

"Kau benar." Sahut Gisel. "Bisa kubayangkan bagaimana kau merasa sangat kehilangan." Ujarnya. "Tapi kau tahu kan, kau tidak sendirian?! Kau bisa datang ke tempatku kapanpun kau butuh teman."

"Hmm mm...." jawabku dengan satu anggukan pelan.

Kehilangan seseorang, dan merasa kehilangan seolah sudah menjadi makanan sehari-hari dalam hidupku selama dua puluh tahun terakhir. Bukan hanya dia dan Raihan. Tapi beberapa orang lain yang juga mengajarkanku bagaimana caranya bertahan melawan kerasnya kehidupan. Semakin aku merasa nyaman, semakin besar kemungkinan aku akan kehilangan. Semakin baik seseorang itu memahami sifatku yang membingungkan, semakin besar kemungkinan akan terjadi perpisahan. Sesungguhnya, proses pendewasaan itu membuatku muak. Padahal aku sudah berusaha membangun benteng pertahanan. Tapi kurasa kali ini pun aku gagal.

Kata orang, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Bukan berarti aku tidak paham. Tapi perpisahan butuh penerimaan, dan rasa kehilangan yang menyertainya butuh untuk disembuhkan.

Everyone has their own way to heal. So do I. But this time, for this kind of wound, it would not heal easily.

***