Chereads / Terpaksa Menjadi Istri Ceo Tampan / Chapter 1 - Ditinggal Nikah

Terpaksa Menjadi Istri Ceo Tampan

Nada_Husna
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Ditinggal Nikah

"Terkadang kita harus merelakan seseorang yang bukan ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup. Tuhan akan memberikan pengganti yang lebih baik dari sebelumnya."

Kau hadir seperti pelangi dalam hidupku

Cerah dan penuh warna

Kau pergi saat cinta mulai bersemi

Membuatku merasakan yang namanya patah hati

Langkahku terhenti di depan hidangan prasmanan yang telah disediakan oleh tuan rumah, saat melihat seseorang di atas pelaminan yang sangat kukenali. Dia tersenyum bahagia, berfoto ria bersama wanita pilihan keluarganya. Sedangkan aku terluka di sini, menyaksikan pria yang sangat kucintai telah bersanding dengan perempuan lain.

Dia masih belum menyadari kedatanganku di sana. Aku pun mematung di tempatku berdiri semula. Jujur, ini sangat sakit sekali. Menghadiri pernikahan sahabat dari kecil yang ternyata telah merebut yang seharusnya menjadi milikku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kaki terasa kaku untuk berjalan, mulut pun enggan untuk berkata. Tiba-tiba piring yang ada ditangan terjatuh begitu saja. Semua orang melihat ke arahku, begitu pun dia.

Dia sedikit terkejut melihatku di sana, sedangkan pengantin wanita tampak biasa saja dan sama sekali tidak ada rasa sesal dari wajahnya. Air mataku menetes membasahi pipi dan mengenai baju. Dia berjalan perlahan menghampiriku saat orgen tunggal yang disewa kembali berbunyi.

Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu padaku, makanya dia datang menghampiri meski banyak pasang mata yang menatapku dengan tatapan aneh. Perempuan yang kini telah menjadi istrinya hanya melihat dari pelaminan saja. Sempat kulihat dia, wanita itu tersenyum penuh kemenangan. Aku yakin dia sedang mengejekku saat ini.

"Maafkan aku." Dia berhenti tepat di hadapanku. Meski musik yang berbunyi sangat keras, tapi aku masih bisa mendengar suara lirihnya berkata.

Tanpa meminta izin terlebih dahulu, dia langsung memelukku sangat erat. Aku terkejut, begitu pun dengan tamu undangan dan keluarga pengantin wanita. Kubiarkan saja pria yang sampai saat ini masih berstatus sebagai tunanganku itu memeluk tubuhku yang tidak berdaya. Dia menangis dalam pelukan, begitu juga aku.

Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika aku akan dikhianati seperti ini. Impian masa depan yang telah kami rancang sejak dulu, harus kandas karena sebuah pengkhianatan. Hatiku menjerit, jiwaku menangis tak kuasa menerima cobaan seperti ini. Kenapa ada orang yang tega merampas yang bukan miliknya? Kenapa juga ada orang yang melanggar janji yang pernah diucapkannya dulu?

"Maaf Ge, aku terpaksa melakukan pernikahan ini," isaknya dalam pelukan.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Rasa sakitnya berkali-kali lipat. Dia nggak seharusnya menerima pernikahan itu jika merasa terpaksa. Dia juga tak seharusnya tersenyum bahagia dan berfoto bersama dengan orang yang sama sekali tak dicintainya. Kulepas pelukan itu dan kemudian menampar pipinya sangat keras.

"Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu, Sandy," teriakku.

Semua orang terkejut, begitu juga dengan pengantin wanita yang berlari menghampiri kami. Aku tak peduli dengan tatapan tajam yang dilayangkan wanita itu padaku. Aku sama sekali tak ada urusan dengannya, masalahku hanya dengan Sandy—laki-laki yang lima tahun lalu mengejarku tanpa henti dan sempat ingin bunuh diri.

Musik orgen tunggal perlahan berhenti, melihat kejadian hari ini yang belum pernah terjadi. Aku juga ingin semua orang tahu bahwa yang seharusnya duduk di pelaminan itu adalah aku, bukan Minda.

"Tega kamu mengkhianatiku seperti ini. Apa salahku selama ini, San? Kenapa kamu melanggar janji yang pernah kamu buat dulu?"

Napasku naik turun, emosi mulai memuncak hingga ke ubun-ubun. Sakitnya dikhianati tak sesakit dipermalukan hari ini. Aku benar-benar marah, bahkan sangat marah. Mereka tersenyum dibalik penderitaanku selama ini. Aku akui keluarga Sandy tak pernah merestui hubungan kami. Mengingat status kami tidak sama. Tapi, tak seharusnya mereka membalasku seperti ini.

"Kamu bilang mau pergi ke Medan untuk menghadiri acara pernikahan kakakmu. Tapi mana buktinya? Kamu juga nggak punya kakak, Sandy! Kenapa kamu bohongin aku, kenapa?"

Sandy tak menjawab pertanyaanku. Dia masih terdiam memikirkan kesalahan yang dibuatnya. Sandy bahkan tak membalas pukulan kecil yang aku layangkan di dadanya. Dia hanya menatapku sendu.

"Maafkan aku, Gemilang. Aku telah berbohong padamu selama ini. Aku juga nggak jujur soal pernikahanku dengan Minda. Ini terjadi begitu cepat, aku nggak bisa menolaknya." Sandy berlutut dikakiku, memohon agar aku mau memaafkan kesalahannya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Disaat hari pernikahan kita hanya tinggal seminggu lagi. Apa yang akan dikatakan keluargaku nanti, aku bahkan nggak cukup punya nyali untuk menghadapi saudara ibuku nantinya."

Sandy berdiri, berusaha menyentuh pipiku akan tetapi tangannya segera kutepis. Aku tak ingin jejak tangan pria itu tertinggal diwajahku.

"Aku akan menjelaskan semuanya pada keluargamu. Kalau mereka mau aku akan bersujud untuk memohon ampun atas kesalahan yang telah aku perbuat. Mereka pasti akan mengerti bahwa langit dan bumi tidak akan bisa bersatu."

Dadaku rasanya mendidih ketika mendengar ucapan Sandy. Aku tak percaya dia akan mengatakan perbedaan di antara kami kepada semua orang. Aku terdiam untuk beberapa saat, lidahku terasa kelu untuk menyanggah perkataannya. Aku bisa apa? Semua yang dia katakan adalah kebenarannya. Antara aku dan dia tidak seharusnya ada cinta.

"Bagus kamu mengucapkan kalimat itu, Sandy. Aku jadi tahu bahwa cintamu selama ini hanyalah cinta palsu. Kamu berpura-pura mencintaiku supaya keluargamu bisa menginjak harga diri keluargaku. Benar 'kan?" tanyaku melotot tajam.

Sandy diam, tak berani menjawab. Pria itu hanya membalasku dengan anggukan. "Itu benar sekali, Gemilang." Aku terkejut, suara seorang perempuan paruh baya terdengar tepat di belakangku.

Aku berbalik, di sana ada ibu Sandy yang berdiri menatapku dengan tatapan mautnya. "Kalau kamu sudah tahu jawabannya, kenapa mesti bertanya?" ujarnya mendekat.

Meski berkali-kali aku disakiti dengan ucapannya yang pedih itu, aku tetap menghormatinya seperti aku menghormati ibuku sendiri. Tak mudah bagiku untuk melawan perintah orang tua. Ibu Sandy sudah seperti ibuku sendiri. Selama ini beliau yang paling menentang hubungan kami, tapi aku tetap menghormatinya.

"Jangan merusak hari pernikahan putraku. Sekarang juga kamu pergi dari sini!" usirnya dengan menarik tanganku keluar.

Aku berusaha untuk melepas tanganku darinya, meski cengkraman wanita tua itu sangat keras. Namun, tanganku berhasil terlepas darinya. Aku berbalik, menatap Sandy yang hanya diam mematung.

"Jika ini balasan dari cinta yang kuberikan selama ini, aku akan terima. Selamat atas pernikahanmu, semoga kalian bisa bahagia," ujarku menatap Minda dan Sandy bergantian.

Aku pergi dengan perasaan hancur. Ternyata seperti ini rasanya ditinggal nikah oleh orang yang sangat kita cintai. Aku hanya mendengar dari cerita temanku saja dan hari ini perasaan itu bisa aku rasakan berkat pengkhianatan Sandy.

Sesekali aku berbalik melihat Sandy, mereka kembali melanjutkan acara dan pria itu pun tampak biasa saja. Aku sakit, sangat sakit. Cincin yang melingkar dijari manis kusentuh dengan pelan, kemudian kembali pada Sandy yang sudah duduk di pelaminan.

"Cincin ini sudah tidak aku butuhkan lagi. Silakan kamu berikan pada wanita yang menjadi menantu ibumu. Aku nggak mau mengingat sedikit pun kenangan tentangmu. Jangan pernah menghubungi aku atau mencariku lagi, Sandy."

Dia terkejut, air matanya tampak menetes membasahi pipinya. Aku tak peduli dengan tangisan Sandy. Dia bahkan tak pernah memikirkan perasaanku yang hancur karenanya. Minda menatapku tajam, aku sama sekali tak ingin melihatnya.

Kutinggalkan mereka dengan langkah pasti. Bahkan sedikit pun aku tak ingin berbalik menatap mereka. Biarlah perasaan ini kutanggung sendiri tanpa ada satu pun orang yang mengetahui.

Sepanjang perjalanan dari rumah Minda ke rumahku, aku tak hentinya menangis. Memikirkan bagaimana kisahku ke depannya. Bukan hanya itu saja, aku rasanya tak sanggup untuk menghadapi dan melihat wajah keluarga yang kini sedang sibuk mempersiapkan pernikahan.

Ibu, ayah, serta mamak-mamakku yang terbilang cukup keras. Apa yang harus aku katakan pada mereka? Saat persiapan pernikahan sudah 80% jadi. Otakku terus memikirkan cara untuk mengatakan pada keluarga. Hingga tak terasa, motorku berhenti tepat di halaman rumah yang sederhana.

Kulihat tetangga berdatangan untuk membantu menyiapkan pernikahan. Mulai dari membantu memasak, membersihkan rumah hingga menyiapkan dekorasi. Aku melihat antusias mereka begitu terasa. Ibu juga tampak semangat. Aku tak ingin merusak kebahagiaan ini dengan mengatakan yang sebenarnya di hadapan para tetangga.

Biar nanti saat malam tiba, pasti akan ku ceritakan semuanya pada keluarga. Aku memilih untuk masuk tanpa dilihat oleh Ibu bahwa diriku sedang menangis. Namun, langkah terhenti karena sesuatu.

"Ge, kamu sudah pulang?" suara Ibu terdengar dari belakang.

Aku hanya mengangguk tanpa berani melihat Ibu. "Sudah, Bu."

"Bagaimana dengan suami Minda? Ganteng, nggak?" tanya Ibu antusias yang diikuti anggukan dari tetangga sebelah rumah.

Sudah kebiasaan bagi daerah tempat tinggalku untuk mengetahui pasangan dari pengantin, agar mereka punya bahan untuk berghibah. Tapi, tak ada yang tahu bahwa pertanyaan Ibu barusan membuat hatiku terasa sakit kembali.

Aku tak menjawab, hanya air mata yang kembali menetes. Ibu yang merasa diabaikan pun membalikkan badanku menatapnya.

"Ge, kamu kenapa menangis?" tanya Ibu terkejut saat melihat mataku sembab.

"Ibu," lirihku. Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

Ibu membawaku masuk ke kamar. Kamar pengantin yang akan aku tempati bersama Sandy setelah menikah nanti. Kamar ini yang dulunya hanya diisi oleh tempat tidur dan lemari, kini sudah bertambah dengan meja rias. Ruangan yang dulu biasa saja, hari ini terlihat begitu indah dengan hiasan bunga melati yang harum di dalamnya.

"Cerita sama Ibu, apa yang terjadi?" tanya Ibu sekali lagi.

"Sandy, Bu. Dia sudah menikah," ucapku dengan rasa sesak di dada.

Ibu terlihat sedikit syok mendengar pengakuan dariku. Beliau menggeleng tak percaya dengan apa yang aku katakan. Tanpa tahu sebabnya Ibu menampar wajahku dengan sangat keras.

"Jangan membuat lelucon seperti ini, Ge. Ibu nggak suka mendengarnya," teriak Ibu lantang.

Aku meringis kesakitan. Rasa sakit akibat tamparan dari Ibu tak sesakit yang aku rasakan saat ini. Sudah dikhianati, ditampar pula. Bak makan buah sikmalakama, bercerita takut salah, tidak mengatakan yang sebenarnya pun akan menjadi masalah.

"Gege nggak bohong, Bu. Sandy adalah suami Minda. Mereka berdua telah berbohong padaku, Bu. Mereka mengkhianatiku," isakku cukup keras. Bahkan tangisan pun tak mampu kusembunyikan lagi.

Ibu terlihat sedih. Wanita yang sudah 25 tahun membesarkanku itu tampak terduduk lemah di lantai yang hanya dilapisi karpet. Mata Ibu terlihat kosong, entah apa yang sedang dipikirkan ibu saat ini. Hal itu justru semakin membuatku tersakiti.

"Maafkan Gemilang, Bu. Gege sama sekali tak tahu akan seperti ini jadinya. Minda sengaja mengundang Gege ke pernikahannya agar dia bisa menunjukkan bahwa Sandy sekarang sudah resmi menjadi suaminya." Aku ikut terduduk di lantai, memegang kedua tangan wanita yang telah berjasa dalam hidupku. Namun, Ibu seolah tak suka aku menyentuhnya.

"Sekarang kamu pikirkan cara bagaimana untuk memberitahukan pada semua orang. Undangan sudah tersebar, pernikahanmu tinggal seminggu lagi, Ge. Ibu bahkan nggak bisa menghadapi wajah mamak-mamakmu nanti."

Aku tahu ibu kecewa, tapi bisakah ibu melihat sedikit saja hati yang sedang terluka ini? jika aku tahu Sandy akan mempermainkan hatiku seperti ini, tak mungkin aku menerima lamarannya.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?"