Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 70 - Apa yang Kau Takutkan?

Chapter 70 - Apa yang Kau Takutkan?

Dua mata hazel itu seketika membulat, bersamaan dengan rahang bawahnya terbuka lebar. Alexander mengeluarkan suara tawa, namun seperti dipadukan dengan suara tersedak. Dia menurunkan kedua tangannya, kemudian berganti dengan meraih pinggang Hailexa guna memangkas jarak di antara mereka.

Hailexa menyukai ini. Ia suka ketika Alexander memandangnya begitu lekat, seolah tak ada waktu lain. Ia juga suka ketika jantungnya berhasil dibuat berdetak lebih kencang, terlebih karena dibarengi dengan jemari lelaki itu yang membelai lembut wajahnya.

Kedua tangan Hailexa meremas kuat kaus Alexander yang berada di balik jaket. Ini dilakukan sebagai bentuk kekuatan sekaligus pertahanan diri, mengingat kaki-kakinya sudah dalam keadaan lemas.

"Rupanya kau sudah tahu, huh? Siapa yang mengatakannya?"

"Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, bukan? Tidak sopan."

Sudut bibir Alexander terangkat, membentuk sebuah simpul senyuman bahagia. "Itu yang ingin kau dengar?" tanya Alexander memastikan.

Hailexa mengangguk. "Aku sangat menantikannya. Selama ini aku bertanya-tanya, apakah kita punya perasaan yang sama? Aku takut, jika diriku sudah jatuh terlalu dalam, namun yang kau rasakan justru sebaliknya."

"Setelah pengalaman pahit itu, ada banyak keraguan di hatiku. Ketika kita semakin dekat, keraguan itu mulai hilang. Kau berhasil mengisi setiap ruang kosong pada diriku. Aku percaya padamu. Jika kau bertanya, apakah kita punya perasaan yang sama, maka jawabannya adalah ya. Aku mencintaimu. Kutekankan sekali lagi. Aku mencintaimu, Hailexa."

Ungkapan ini nyata, perasaannya begitu istimewa. Hailexa sudah kehabisan kata-kata, selain membalas Alexander dengan kalimat yang sama.

"Mia bella signorina," bisik Alexander sambil menempelkan keningnya. "Katakan sesuatu. Kau membuatku takut."

"Apa yang kau takutkan? Seperti katamu, perasaan kita sama." Satu telapak tangan Hailexa bergerak naik, menyentuh setiap sisi pada leher Alexander. "Aku mencintaimu, Alexander," akunya sebelum membuat bibir mereka saling bertemu.

***

"Hailexa, buka pintunya lalu turun."

Hailexa menggeleng sebagai jawaban. "Kau pergi sendiri saja. Aku tetap di sini."

"Apa yang akan orang-orang katakan jika tahu aku meninggalkanmu di sini?"

"Mudah saja. Tidak perlu bilang jika aku kau datang denganku."

Alexander menyugar rambutnya dengan kasar. Napasnya diembuskan perlahan-lahan, mencoba untuk bersabar menghadapi Hailexa yang tak henti mencebikkan bibirnya. Sudah lewat dari sepuluh menit mereka bertahan pada posisi seperti ini. Berbagai macam argumen telah dilontarkan. Namun tetap saja, tidak ada yang mau mengalah.

"Demi Tuhan," desah Alexander seraya berkacak pinggang, menatap Hailexa dari balik jendela mobil.

Berkat egonya yang tinggi, Hailexa menolak keras untuk turun dan memilih duduk di balik kemudi.

Lebih dari setengah hari, waktu Hailexa dihabiskan bersama Alexander di apartemennya. Mereka memasak sarapan dan makan siang, menonton film, bermain permainan papan, sisanya digunakan untuk bicara. Alexander bahkan mengungkapkan, jika dia tahu bahwa Hailexa pernah mengambil obat yang disimpan pada laci mobil.

Saat sore hari tiba, Hailexa mengajak Alexander untuk pergi berkeliling. Lelaki itu menyetujui idenya, serta memperbolehkan Hailexa untuk menyetir. Awalnya tentu menyenangkan. Sampai akhirnya Alexander berkata akan membawanya ke suatu tempat, sebuah rumah bergaya Italia, yang ternyata adalah rumah kakek dan neneknya.

Bukannya tidak ingin bertemu, hanya saja Hailexa merasa kurang pantas. Andai Alexander memberi tahu sejak awal, ia mungkin akan berganti pakaian. Mana mungkin Hailexa bisa menunjukkan dirinya, sementara ia hanya mengenakan kaus, celana jeans pendek, sepatu kets, serta rambutnya yang diikat secara asal.

"Baiklah. Buka pintunya. Kita kembali ke apartemen, ganti pakaian sesuai yang kau inginkan."

Seketika senyuman Hailexa mengembang. Ia menurunkan kaca jendela kemudian mencubit lengan Alexander gemas. "Sudah cepat masuk. Jangan buang waktu lagi!" perintahnya.

"Tidak. Kau yang turun. Biarkan aku menyetir, sebab kau lambat dalam mengemudi."

Oh, tentu Hailexa tidak akan mudah ditipu begitu saja. Jika ia turun, Alexander bisa saja langsung menutup pintu mobilnya, membuat tidak ada celah untuk kembali ke apartemen.

Hailexa menaikkan kaca mobil, baru setelah itu membuka pintu. "Tidak perlu turun. Aku bisa langsung pindah," ujarnya sambil tersenyum.

Sayangnya, cara ini tidak dipikirkan dengan matang. Ketika Hailexa akan berpindah, Alexander tiba-tiba menarik kunci mobilnya sekaligus menahan pergerakan Hailexa.

"Aku berubah pikiran. Kembali ke apartemennya nanti saja."

Hailexa langsung terduduk dan mengentakkan kakinya kesal. Karena terlalu keras, entakannya sampai menimbulkan bunyi dan sukses membuat mata Alexander melebar.

"Aku tahu kau kesal, namun kekesalanmu hanya boleh ditujukan padaku. Mobil ini memang tadinya adalah hal yang paling aku sukai, tetapi sekarang bukan berarti kau bisa menendangnya begitu saja."

"Tadinya? Sekarang kau sudah tidak suka lagi?"

"Masih suka. Hanya saja posisinya jadi nomor dua."

Awalnya terselip niat untuk bertanya, apakah yang paling disukai Alexander saat ini? Namun, ketika pandangan mereka bertemu, niat itu langsung dibatalkan begitu saja. Hailexa merasa ia dapat menebak jawaban dari Alexander.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Kau cantik, dengan pakaian apa pun," tambah Alexander. Akan tetapi kali ini dia sambil menyelipkan lengannya di bawah lutut serta belakang punggung Hailexa, kemudian menggendong gadis itu keluar.

"Alexander!" teriaknya seraya buru-buru mengalungkan kedua lengan pada leher. Detik berikutnya Hailexa pasrah. Ia membiarkan Alexander melakukan apa yang diinginkan. "Ceritakan sedikit tentang kakek dan nenekmu."

"Namanya Fabiano dan Kathleen. Nonna meninggal saat usiaku dua puluh."

"Alex, sudah. Ceritakan lain kali saja," potong Hailexa karena merasa tidak enak. Nonna, merupakan panggilan untuk nenek dalam bahasa italia. Ini baru awal cerita, dan Hailexa sudah membuat Alexander menceritakan memori pahitnya.

"Tidak ada bedanya aku menceritakannya sekarang atau nanti. Kami tidak bisa selamanya berduka, bukan?" Alexander tersenyum tipis. "Ini sedikit unik. Aku memanggil Kakek, dengan sebutan Papa."

"Kenapa begitu?"

Alexander mengangkat bahunya. "Kebiasaan. Awalnya hanya gurauan, tetapi justru terbawa hingga sekarang. Beliau juga tidak menolak."

"Kenapa sepi sekali? Beliau tinggal sendiri?"

"Tidak. Ada beberapa pelayan di sini. Sepertinya Papa sedang istirahat. Kami sudah mengajaknya untuk tinggal bersama, namun Papa selalu menolak. Papa itu tipe orang yang aktif. Daddy kurang suka, jika Papa sering berpergian atau melakukan aktivitas berat lainnya, dikarenakan faktor usia. Jadi mungkin itu alasan kenapa Papa menolak untuk tinggal satu atap dengan kami, agar bisa bersenang-senang secara bebas."

Ketika tiba di depan pintu masuk utama, Hailexa meminta pada Alexander untuk menurunkannya. Meskipun rumah ini terlihat sepi, ia yakin pasti ada satu atau dua orang pelayan yang akan mereka jumpai nanti. Tidak sopan rasanya jika bermesraan mengingat ini pertama kalinya Hailexa datang kemari.

Langkah kaki Alexander membawanya pada sebuah koridor di lantai dua. Koridor ini jauh dari kata menyeramkan, seperti yang sering dijumpai dalam film-film. Pada bagian dinding yang kosong, dihiasi dengan lukisan-lukisan indah serta beberapa foto yang disusun secara rapi.

"Nonna sendiri yang menghias dinding ini. Dulunya aku tidak mengerti, kenapa foto-foto keluarga harus diletakkan di sini. Namun, setelah beliau tiada, aku bisa memahaminya."