Raka sakit. Hatiku menjadi sakit melihatnya merintih seperti itu. Ah, kapan Kevin datang memangnya? Apa dia tidak ngebut kesini? Ini situasi darurat.
"Sisi!" panggil Raka membuat gadis itu terkejut.
"Ya Raka. Ada apa? Apakah kamu membutuhkan air lagi?" tanya Sisi dengan khawatir Suaranya sangat gemetar.
Raka menggelengkan kepalanya, lalu melambai pada Sisi. Kemudian Sisi dengan segera, kembali berlutut di samping Raka.
Dengan ragu-ragu Raka memegang tangan Sisi. "Bisakah kamu berhenti mondar-mandir di depanku? Hmmm, itu membuatku pusing!" kata Raka lemah.
"Oh maafkan aku, Raka. Aku sangat menyesal karena itu." Sisi memberikan tekanan pada perutnya, tapi tidak terlalu banyak.
"Apakah aku membuatmu sakit? Apa yang bisa kubantu, untuk menghentikan pendarahanmu saat ini?"
Raka menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya aku telah melakukan beberapa pekerjaan dengan cepat, untuk menghentikan pendarahan ini. Tapi apakah kamu tidak takut melihatnya?"
Sisi menggelengkan kepalanya. "Eh, Raka katakan siapa yang melukaimu? Aku akan membunuh mereka semua!" kata Sisi dengan nada yang sangat kejam.
Melihat itu Raka tiba-tiba tertawa. Namun, kemudian dia berhenti, karena sadar tawanya itu membuat perutnya bergerak dan semakin merobek lukanya. Raka meringis, sebelum menatap Sisi dengan tatapan yang lembut.
Padahal sebelum ini, Raka tidak pernah tertawa. Setidaknya tidak dalam hidupnya dan tidak pernah di depan orang lain. Raka selalu terlihat dingin dan tanpa emosi. Sisi takjub melihat Raka yang tertawa tadi.
"Kamu lucu sekali sih? Seorang gadis tidak pantas mondar-mandir, lalu mengatakan bahwa dia akan membunuh orang. Terutama untuk gadis cantik sepertimu?" Raka berkata dengan suara yang sangat lembut Alisnya berkerut menahan sakit.
Serta merta Sisi lalu mencengkram tangan Raka. "Kamu harus berhenti berbicara, Raka dan istirahatlah," kata Sisi khawatir.
Dalam pikiran Sisi, dia ingin membunuh Kevin sekarang! Bagaimana Kevin begitu lambat, sementara sahabatnya mengerang kesakitan seperti ini?
Raka melihat kepada tangan tangannya dan tangan Sisi yang saling bertautan. Nampak kedua tangan itu berlumuran darah. Tapi Sisi semakin mempererat tautan tangannya. Seolah dia tidak peduli, meskipun lumuran darah itu mengenai tangannya.
"Sisi apa kamu selalu seperti ini? Selalu penuh kejutan," ucap Raka lembut. Hal itu membuat dada Sisi menghangat.
"Tidak, aku hanya seperti ini di sekitarmu," kata sisi lemah dengan tatapan yang mengatakan 'Aku peduli padamu.'
Raka sangat terkejut mendengar pengakuan Sisi.
Kemudian terdengar pintu yang dibanting. Nampak pintu besar itu terbuka dan di sana sudah berdiri Kevin.
Kevin melihat ke arah Sisi, dengan tatapan mata yang terkejut. "Kenapa kamu ada di sini, Sisi? Cepat kembali tidur!" perintah Kevin setengah berteriak.
Sisi menghentakkan kakinya, sebagai kode tidak peduli dengan itu.
"Kevin percepatlah, karena luka Raka parah. Kami sudah menunggumu begitu lama. Apakah kamu berjalan seperti siput, sehingga sangat lambat?" bantah Sisi dengan suara yang tak kalah keras.
Sisi tak peduli, meski Kevin memelototinya. "Apa katamu? Aku bergegas ke sini dalam waktu kurang dari 15 menit. Apakah menurutmu aku selambat itu? Kamu tidak peduli, usahaku seberapa cepat aku mengemudi tadi. Pernahkah kamu melihat siput bergerak begitu cepat?"
Tentu saja Kevin marah pada kata-kata Sisi. Karena dia sudah berusaha secepat mungkin, untuk sampai di rumah Raka dan mengobati sahabatnya itu.
Sisi berusaha menenangkan diri. Dia meremas kedua tangannya, lalu membungkuk pada Kevin. "Dokter Kevin, Saudara Kevin, Guruku Kevin yang tampan. Bisakah kamu melihat keadaan Raka sekarang? Silahkan! Pasienmu sangat membutuhkan bantuanmu!"
Kevin melambai dengan putus asa ke arah Sisi. "Baik jangan khawatir kan ini. Dia tidak akan mati sekarang, karena ada aku di sini. Kamu harus kembali ke tempat tidurmu– ke kamarmu dan berhenti berteriak padaku. Kamu akan membangunkan yang lain. Bibi Jumi, juga Vita, dan semua yang ada di rumah ini. Aku tidak ingin menjelaskan semua ini kepada mereka. Semua keadaan ini begitu sulit. Oke? Kuharap kamu paham, Sisi."
Kemudian Kevin berbalik untuk bertanya pada Raka. "Haruskah kita melakukannya di sini atau di kamarmu saja?"
Terlihat wajah Raka yang memikirkan tawaran dari Kevin, untuk mengobatinya di ruang tamu atau di kamarnya. "Di kamarku saja," kata Raka.
Raka kemudian melirik kepada Sisi. "Tolong bantu bersihkan darah di sini!"
"Oke, aku akan membersihkannya. Jangan khawatir," jawab Sisi lalu segera pindah untuk mematuhi permintaan Raka. Sisi bergerak cepat dan mengejutkan Kevin.
Setelah Sisi selesai membersihkan ruang tamu, Sisi dengan lembut mendorong pintu kamar tidur Raka.
Sisi dapat melihat bahwa luka Raka sudah dirawat dengan baik. Raka juga telah berganti pakaian dengan pakaian yang bersih. Raka bersandar di kepala tempat tidurnya. Sementara terlihat Kevin yang masih sibuk menyimpan peralatan medisnya.
Kemudian Kevin menoleh ke arah Sisi. "Hai, gadis!, Bukankah kamu seharusnya sudah pergi ke tempat tidurmu?"
Jujur saja Sisi ingin melihat keadaan Raka. Dia ingin mendekati Raka, sang pujaan hati.
Raka terlihat lebih baik keadaannya. Namun, wajahnya masih sangat pucat. "Aku ingin tinggal di sini, untuk menemani guru Raka." kata Sisi tersenyum.
"Ini belum waktunya dan aku percaya padanya, maka kembalilah tidur. Kamu masih ada kelas besok, kan?" bantah Raka pada Sisi.
Sisi tidak peduli. Dia menggeser kursi di dekat Kevin, lalu kemudian duduk. Sisi menatap dalam ke arah Raka. "Tidurlah, Raka! Aku akan mengawasimu di sini. Jika kamu membutuhkan air atau makanan, aku akan sedia di sini, oke?" tawar Sisi dengan ketulusan yang paling purna.
Terlihat Raka berbagi pandangan dengan Kevin. Kevin tertawa kecil. "Gadis ini benar-benar memiliki hati yang baik!" seru Kevin.
Lalu Raka terdiam. Dia perlahan menutup matanya. Sisi tahu, bahwa Raka sudah sangat kelelahan. Sementara Kevin meregangkan tubuhnya dengan malas dan menunjuk ke pintu sebelah. Kevin memberi isyarat untuk memberitahu Sisi, bahwa dia akan menginap malam ini.
Sisi lalu mengangguk dan memberi isyarat pada Kevin, untuk membantunya mematikan lampu. Seketika lampu di kamar Raka mati, dan hanya lampu meja saja yang bersinar dengan lembut.
Sisi masih betah untuk melihat posisi tidur Raka. Hatinya dipenuhi oleh cinta. Sisi jadi teringat, pada kehidupannya sebelumnya, di mana Raka yang menjaganya di samping tempat tidurnya, bahkan setiap malam Raka seolah tidak bosan menjaganya.
Maka Sisi berpikir, bahwa kali ini adalah gilirannya untuk menjaga Raka. Sisi cukup tahu, dari perjalanan hidupnya di masa lalu, bahwa Raka ini bukan sekedar tuan muda ketujuh dari keluarga Yudana saja.
Karena pada faktanya, Raka tidak mengambil alih bisnis keluarga Yudana, bahkan yang melakukan itu adalah Thomas. Sementara Raka memilih tinggal jauh dari keluarga Yudana.
Itulah mengapa, alasan hingga Raka memiliki bisnis sendiri. Namun, Sisi tidak pernah punya kesempatan untuk benar-benar mengenali siapa Raka sebenarnya, dan bisnis apa yang dijalankan oleh seorang Raka.
Dalam kehidupan ini, kemudian Sisi berniat. Agar dia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Sisi sangat senang, bisa mengenal Raka lebih dekat.
Besoknya saat Raka dan Sisi turun untuk persiapan aktivitas pagi, Raka bertanya, "Hai Sisi, kenapa kamu tidak seperti gadis lainnya, yang gemetar melihat banyak darah atau takut? Tidakkah kamu merasa takut?"
Sisi menggeleng dengan senyum penuh arti. Dia tidak ingin menjelaskannya saat ini. Namun, dia memikirkan alasannya juga.
Mengapa dia tidak pernah takut darah pada kehidupannya kali ini? Karena, pada kehidupan sebelumnya, Sisi telah benar-benar melihat terlalu banyak darah kental. Itulah alasan kenapa Sisi, jadi tidak pernah mual bila mendapati banyak darah di sekitarnya.
'Aku tidak takut darah Raka. Aku justru lebih sakit melihatmu terluka!' kata Sisi dalam hati.
'Hatiku sangat sakit melihatmu terluka Raka. Sungguh aku tidak pernah merasakan sakit, yang lebih sakit daripada melihatmu terluka."
Monolog Sisi di dalam hati, sambil melihat Raka yang bergerak tertatih.
'Raka jika boleh, aku ingin memikul rasa sakit dan beban bersamamu. Untuk itu, aku harus membuat diriku lebih kuat! Oke, aku akan memutuskan, bahwa aku tahu yang ku butuhkan sekarang. Aku butuh uang dan kekuasaan!' tekad Sisi.
Sungguh benar kata orang, menggenggam harapan itu memang akan memang meragukan kepastiannya. Namun, kebanyakan manusia memang sangatlah tamak.