BLUBL! BLUBL! BLUBL!
Suara gelembung air yang tercipta dari oksigen yang keluar perlahan naik ke permukaan. Sementara itu, seorang lelaki tengah menggerakkan kedua tangan dan kakinya dengan cepat, berusaha naik ke atas. Namun, ia tak bisa mencapainya, sebab sesuatu seperti tengah menarik dirinya, ke dasar air, lebih dalam.
'Leoner!' Bayangan dan panggilan hangat seorang wanita dengan memakai celemek dan wajah yang cantik tengah tersenyum, terlintas di pikiran lelaki bernama Leoner itu.
'Mama ... Tolong ....' Leoner menatap samar-samar cahaya mentari yang menerbos masuk ke dalam air, menjadi penerangan satu-satunya. Namun, tubuhnya semakin turun, menuju ke gelapan pekat yang rasanya tiada ujung.
Hingga rontaan Leoner tak lagi tercipta, lelaki itu berhenti bergerak dengan manik yang mulai tertutup rapat. Tanda bahwa paru-paru lelaki itu telah terisi dengan air seutuhnya, membuat dadanya terasa berat dan sesak.
[Selamat datang di dunia penuh kegelapan, wahai manusia berhati lemah!]
Bisikan itu terdengar, terasa membelai kulit wajah dan telinga Leoner. Atmosfer kematian yang semakin dekat Leoner rasakan, tak lupa dinginnya air semakin menggerogoti tubuhnya. Bisikan itu bak bayangan, yang menarik-narik tubuhnya.
[Kemarilah, akan kutunjukkan dunia di mana jiwa penuh dosa akan terperangkap abadi, terperosok jauh di jurang kegelapan yang paling dalam.]
.
.
.
.
.
DEG!
"Hahhhhhhh ... hahhhhhhhhh ... hahhhhhh." Deru nafas tak beraturan menjadi pemecah hening di ruangan itu. Seorang lelaki baru saja bangkit dari posisi awalnya yang tengah berbaring, tengah berlayar di alam mimpi.
Lelaki itu mengusap keningnya, lalu langsung menatap telapak tangannya. "Aku mimpi buruk lagi," gumam Leoner. "Mimpi buruk macam apa itu?" tanya lelaki itu. Selanjutnya, ia menghela nafas berat lalu kembali berbaring di atas kasur.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Jam yang mengharuskan Leoner untuk segera berangkat ke sekolah, namun lelaki itu terlihat biasa saja. Leoner lebih tertarik menetralkan pernafasannya yang sempat memburu karena mimpi buruknya.
Tok! Tok! Tok!
"Kak Leoner, boleh aku masuk?" tanya seorang gadis dari luar kamar Leoner sembari mengetuk pintu, bermaksud memberikan sesuatu pada Leoner.
Leoner menggerakan sedikit pupilnya ke arah pintu, wajah lelaki itu dingin sekali dan terlihat tak peduli. "Jangan masuk ke sini, gadis sialan," gumam Leoner sembari mengalihkan tatapannya ke jendela yang masih ditutupi gorden, namun tak dapat dipungkiri cahaya mentari pagi tetap bisa menerobos masuk.
Klek!
"Aku masuk, ya," ujar gadis itu, ia tak mendengar gumaman Leoner yang jelas sekali tak bisa ia dengar.
"Ck!" Leoner berdecak kesal.
"Kubilang jangan masuk ke sini, Bodoh!" bentak Leoner cukup keras, ia meneriakkan kata-kata itu sembari melempar bantal. Sementara itu, gadis yang ia teriaki kini sudah dua langkah masuk ke kamarnya.
Gadis dengan rambut coklat bergelombang terurai, poninya yang kepanjangan dibelah menjadi dua sehingga memperlihatkan kening indahnya. Gadis itu juga telah memakai seragam sekolah, dengan tas yang sudah melekat di kedua bahunya. Aurora Wynn, begitu namanya. Ia sepertinya hendak berangkat ke sekolah, tapi Aurora ingin sempat menyapa dan menyiapkan makanan untuk Leoner pagi ini.
Mendengar bentakan dari Leoner, Aurora hanya terdiam beberapa saat, sembari menatap bantal yang dilempar Leoner, kini sudah ada di lantai. Beberapa detik kemudian, Aurora tersenyum kecil.
"Selamat pagi. Kak Leoner tidur nyenyak malam tadi?" tanya Aurora sembari melangkah mendekat, lalu meletakkan nampan yang berisi semangkuk nasi beserta lauk pauknya di atas nakas. Tak lupa, Aurora juga membuatkan susu dan potongan buah apel untuk Leoner.
"Aku sedikit tak bisa tidur tadi malam. Entah kenapa," ujar Aurora lagi, berusaha mengalihkan topik agar Leoner tak marah lagi padanya. Setelah itu, Aurora melangkah menuju jendela dan membuka gorden, silau mentari pagi langsung menerpa maniknya. "Waaah, hari ini cerah sekali. Aku ingin mengajakmu ke toko buku, Kak!" serunya.
Leoner dari tadi tak menanggapi ucapan Aurora. Lelaki itu hanya melirik ke sana ke mari mengikuti ke mana arah Aurora melangkah. Tatapan lelaki itu tajam sekali, seolah bersiap menembakkan senapan pada Aurora yang sibuk membereskan kamarnya.
"Hey, apa kau tak mendengar ucapanku barusan?" tanya Leoner menggeram.
"Eh? Apa?" Aurora bertanya dengan wajah polos, gadis itu memungut bantal yang tadi dilempar Leoner dan menyimpannya kembali di atas kasur Leoner. "Kakak bilang apa?" ulang gadis itu.
"KUBILANG JANGAN MASUK KE SINI! APA TELINGAMU TULI, HAH?!" bentak Leoner lebih keras.
Hal itu membuat Aurora tersentak dengan langkah yang mundur beberapa senti. Wajah gadis itu mendadak tegang. Namun, Aurora tak tahu alasannya kenapa bisa Leoner semarah ini. Padahal ia hanya ingin memberi Leoner sarapan dan membereskan kamar lelaki itu.
Tak dapat dipungkiri, amukan Leoner barusan sukses membuat Aurora takut. Melihat kebungkaman Aurora, Leoner lantas semakin emosi.
"KENAPA MASIH MELIHATKU SEPERTI ITU?! TUNGGU APA LAGI! PERGI DARI SINI!" Leoner melempar segelas susu panas yang Aurora siapkan ke arah gadis itu. Jangan lupa sarapannya juga Leoner hempaskan, seolah hal itu adalah lampiasan emosinya pada Aurora.
Aurora langsung mundur. Ia merasakan susu panas membuat baju seragamnya basah, dan kulitnya terasa terbakar. Namun, ia tak bisa memperhatikan dirinya, ia hanya menatap ke arah Leoner. Maniknya mulai berkaca-kaca.
"PERGI!" teriak Leoner lagi. Berhasil membuat tangan dan tubuh Aurora bergetar. Tidak, hati Aurora juga terasa dihantam beban berat saat itu. Gadis tersebut langsung berpaling seiring air matanya yang sudah meluncur mulus di pipi, dengan cepat ia keluar dari kamar Leoner sembari terisak kecil.
'Kenapa?! Kenapa Kak Leoner terus bersikap seperti itu?! Padahal, aku sudah berusaha!'
"Aurora! Kamu mau ke mana?!" tanya Erina yang tengah memasak di dapur. Wanita itu mendapati Aurora tengah mengusap air matanya kasar sembari berlari ke luar.
"Aku mau ke luar sebentar!" jawab Aurora cepat tanpa melirik ke arah Erina. Gadis itu lalu terisak sepanjang jalan, perkataan Leoner terus terngiang di telinga, membuat hatinya terus menerus berdenyut sakit saat melihatnya.
Padahal, Leoner dahulu adalah anak baik yang menyayanginya. Berbeda dengan sekarang. Sejak kepergian ayah Leoner—Aldwin, Leoner tak pernah bersikap lembut lagi.
Padahal Aurora selalu berusaha sabar ketika Leoner memarahinya. Aurora selalu memberikan senyuman, namun malah dibalas dengan tatapan dingin dan tajam bak pisau yang siap menusuk jantungnya.
"HIKS! Aku tak tahan lagi!" teriak Aurora mengusap air matanya kasar. "Kak Leoner memang jahat! Kejam! Aku membencimu!"
***
"Leoner, Aurora menangis karenamu lagi, 'kan? Ya ampun," simpul Erina tanpa menunggu jawaban dari Leoner. "Mama khawatir dengan keadaannya. Dia belum pulang, bisa kamu jemput dia?" tanya Erina, ibunda Leoner sembari melangkah mendekati lelaki itu.
"Aku tak mau," balas Leoner cepat. Lelaki itu kini tengah menumpang kaki sembari menonton TV. Rentetan piala penghargaan yang pernah ia terima atas prestasinya tertata rapi di lemari dekat televisi. Wajah lelaki itu terlihat cuek sekali.
***
- Bersambung -