"Maukah kau mencobanya denganku, Sareen?" pertanyaan itu muncul dengan penuh keraguan.
Kairaf takut, pertanyaannya itu akan membuat Sareen salah paham. Tadi, dirinya mengatakan tak akan membuat ayah Sareen terbaring sekarat di rumah sakit, walaupun Sareen tak mau menikah dengannya. Tetapi saat ini ia malah meminta Sareen untuk memberinya kesempatan.
"Cobalah, beri kesempatan pada dirimu sendiri untuk sedikit saja melihatku. Pun, aku hendak membuktikan padamu, bahwa aku ... aku benar-benar serius dengan perasaanku padamu," tambahnya lagi, karena Sareen tak kunjung merespon.
Gadis itu hanya terdiam sembari menatap dalam pada Kairaf. Menatap mata Kairaf yang dari dulu sampai saat ini selalu melihatnya dengan pandangan yang sama, yang penuh sayang dan kehangatan.
Sareen jadi tak tega untuk terus-terusan mengabaikan Kai. Ia pun tahu rasanya. Pasti sesakit saat ia diabaikan oleh Akram.
Sareen jadi sadar, ternyata selama ini ia telah membuat Kairaf menjadi seperti dirinya. Hanya mengejar tanpa hasil.
"Bagaimana? Apakah kau mau?" Kairaf bertanya lagi. Seolah hendak menyadarkan Sareen dari lamunannya.
Betapa tak terduga, tiba-tiba Sareen mengulas senyum yang lembut. Pun, menganggukan kepalanya dengan senyum itu.
Kairaf pun melebarkan mata dengan penuh kebahagiaan. Ia tak menyangka, ternyata ada kesempatan di mana ia bisa lebih dekat dengan Sareen.
"Ayo memulainya dengan sebuah kencan," kata Sareen yang perlahan membuang ekspresi murungnya. Ia tersenyum sangat ceria. Dan keceriaan itulah yang begitu dirindukan Kairaf sejak tadi, sejak mereka bersama dan berjalan sampai ke taman itu.
Sedari tadi, wajah Sareen benar-benar murung dan tegang. Itu bukan seperti Sareen yang Kai kenal selama ini. Karena itulah, Kairaf ingin sekali mengembalikan senyum itu dan membuat Sareen merasa nyaman.
"Kau serius?!" Saking girangnya, Kairaf berdiri dan menarik tangan Sareen untuk digenggamnya.
Raut sumeringah tampak semakin jelas terlukis di sana, ketika Sareen kembali menganggukan kepalanya dengan senyuman.
"Oh, Tuhan! Aku benar-benar tak menyangkanya. Apakah benar ini kenyataan? Apakah aku hanya bermimpi?" ujar Kairaf dengan menampar wajahnya. Hendak memastikan bahwa yang ia dengar saat ini benar-benar nyata dan bukannya hanya mimpi.
"Jangan seperti itu, kau bisa melukai wajahmu. Apakah semenyenangkan itu dapat berkencan denganku?" Dengan bibir mengerucutnya, Sareen menarik tangan Kairaf agar tak berlebihan mengekspresikan kesenangannya.
Hal itulah yang kadang tak dimengerti Sareen. Orang seperti Kairaf menyukainya sampai merasa seolah mendapatkan harta berharga ketika mendapat kesempatan dekat dengannya. Tetapi Akram ....
Akram bahkan tak peduli padanya. Pria itu dingin, sombong dan menyebalkan. Mengatakan bahwa ia membenci gadis-gadis bodoh. Dan dengan sadar mengejek Sareen di depan banyak orang.
Orang seperti itu, dari sisi mana Sareen melihatnya sehingga ia bahkan tak bisa berhenti menyukai Akram?
Tidak! Sareen harus berhenti. Sareen harus menyerah atas Akram. Lagi pula pria itu tak pernah melihat walaupun tujuh tahun lamanya Sareen menyukainya. Bahkan menggandeng banyak wanita dan terang-terangan menolak Sareen.
Dia benar-benar harus menyerah. Kalau tidak, dia hanya akan terus sakit karena dipermainkan. Dia harus berusaha membuka hatinya untuk orang lain. Untuk Kairaf, misalnya.
"Kau tahu, itu impianku sejak aku tahu bahwa aku menyukaimu. Tentu saja itu membahagiakan. Aku menunggu kesempatan ini sangat lama," jawab Kairaf dengan semakin girang.
Sukses hal itu membuat Sareen merasa bersalah. Bersalah karena dia benar-benar membuat Kairaf menjadi seperti dirinya.
"Kai ... maaf ...." Dengan menengadah Sareen melirih.
Refleks, Kairaf mengangkat telunjuknya. Menempelkannya pada bibir Sareen untuk membuatnya diam.
"Jangan terus meminta maaf padaku. Aku tidak membebankan sebuah kesalahan pun padamu, atas rasa cintaku. Kau tahu, aku mencintaimu dengan percuma, dan tak menghitungnya sebagai sebuah hutang," tutur Kairaf sangat lembut.
"Kau akan memilih harinya dan menghubungiku, kan?" Sambungnya mengurai kehangatan itu.
***
Hari berikutnya, Sareen pergi ke sebuah pusat perbelanjaan bersama dengan seorang teman, Gloria namanya. Seorang gadis yang menjadi sahabat Sareen sejak mereka duduk di bangku SMU.
Mereka memilih-milih pakaian di sebuah toko baju. Sareen sengaja mengajak Gloria untuk membantunya memilih baju yang sesuai untuk dipakainya berkencan dengan Kairaf lusa.
Tentu saja, hal itu membuat sang sahabat nyaris tak percaya.
"Akhirnya, apakah kau memutuskan berbalik badan dan melihat Kai di belakangmu?" Pertanyaan itulah yang meluncur dengan cepat dari mulut Gloria. Dan sukses membuat Sareen kembali bimbang.
"Aku tidak tahu," jawabnya sambil mengerucut.
Seketika itu, Gloria langsung menjitak dahi sahabatnya itu dengan jengkel. Pantaslah Akram tak pernah melihat Sareen, dia sebodoh itu sampai tak tahu keputusan apa yang diambilnya.
"Kau itu, selalu saja begitu. Nanti datang lagi padaku dan merengek-rengek, menangis-nangis dan mengadu bahwa Akram mempermainkanmu. Tidakkah kau berpikir, ketidakpastian ini ... kau juga telah mempermainkan Kairaf?" seloroh Glo lagi dengan amat jengkel.
"Aku ingin sekali melepaskannya. Aku ingin melupakannya, Glo. Tetapi kau tahu 'kan, begitu melihatnya, hatiku benar-benar ingin mengejarnya." Pun, Sareen tak mau diam sehingga ia melontarkan alibinya, yang sering kali Gloria dengar.
"Lalu bagaimana dengan Kairaf? Kau hendak membuatnya sakit hati karena terlalu berharap padamu?"
"Tidak. Dia tahu ... kami ... kami hanya mencoba," sambung Sareen lagi.
Kini mereka berjalan ke arah kasir. Beriringan sembari bercakap.
Brak!
Tiba-tiba, seluruh belanjaan Sareen jatuh dan berantakan, ketika tanpa sengaja ia menabrak seseorang.
"Benar-benar gadis bodoh! Apa kau berjalan sambil tidur?"
Suara tajam nan dingin itu menusuk telinga Sareen sehingga membuat gadis itu membeku. Ya, tentu karena ia tahu betul itu suara siapa.
"A-akram ...." Dengan tergagap, Sareen menyebutkan nama itu. Sementara itu, wajahnya harus menengadah tinggi demi melihat ekspresi kejam dari Akram.
Ya, Akram. Pria yang disukainya selama tujuh tahun ini.
Bukannya membantu Sareen memunguti barangnya, Akram malahan abai dan meninggalkan kedua perempuan itu dengan seulas senyum mencibir seusai mengatai Sareen.
Sementara Sareen hanya membeku sambil menatap punggung lebar itu menjauh darinya.
"Ma-maaf," katanya setengah sesal.
"Apanya yang maaf? Dialah yang menabrakmu?" tegas Gloria dengan penuh kekesalan. Sementara itu matanya mengalih dan memandang Akram dengan penuh dendam. Tak terima sebab Sareen diperlakukan seperti itu.
"Hei, Tuan! Apakah matamu buta? Kau menabrak temanku dan menjatuhkan barangnya, lalu kau pergi begitu saja dan tak bertanggung jawab?" Sengaja, Gloria berteriak keras supaya Akram mendengarnya. Pun, hendak membalas mempermalukan Akram di depan banyak orang.
Berhasil. Hal itu membuat Akram berhenti dari langkahnya. Pria itu kemudian berbalik badan. Wajah dingin tanpa ekspresi masih terukir di sana, sementara langkahnya tampak menakutkan layaknya iblis hendak memberi penghukuman.
"Glo-gloria, tidak perlu seperti itu. Ini ... ini murni salahku," ucap Sareen ketakutan.
Kemudian gadis itu berjongkok dan memunguti belanjaannya. Ia tak mau Akram semakin melihatnya sebagai perempuan tak berguna.
"Apa kau dengar kata temanmu? Dia menyadari kesalahannya. Kenapa kau berteriak seperti orang tak berpendidikan? Apakah para wanita bodoh memang seperti itu?" celetuk Akram kemudian.
Dia tersenyum bangga. Pun, mengejek kebodohan Sareen yang bersedia disalahkan karena dirinya.
Tentu saja, Gloria tak bisa berkata-kata. Begitu pula Sareen yang langsung menengadah polos menatap mata tajam dan kejih Akram. Namun di mata Akram, itu bukanlah ekspresi polos melainkan raut kebodohan.
"Sayang, ada keributan apa?"
Tiba-tiba, sesosok wanita seksi dengan mini dress berwarna navi, mendekat dan bergelayut di lengan kekar Akram.
Bersambung ....