Calista cukup bingung ketika menghampiri kubikel Aulia, begitu banyak karyawati lain yang berkerumun di tempat sesak tersebut, entah apa yang tengah mereka bahas sampai terlihat ramai, memang seringkali seperti ini—tiap pagi—acapkali banyak karyawati berkerumun di satu tempat pasti sesuatu atau seseorang tengah menjadi bahan gibah mereka.
"Assalamualaikum," sapa Calista berhasil membuat semua orang menoleh, ada sekitar lima orang perempuan termasuk Aulia sendiri. Dua dari mereka memutuskan meninggalkan kubikel Aulia setelah melihat Calista, entah kenapa memang beberapa orang tak menyukai janda satu anak itu sekalipun Calista tak pernah membuat masalah dengan mereka. Ia terbiasa menghadapi orang-orang yang memandangnya sebelah mata, apalagi terkadang mereka menyangkut-pautkan status Calista dengan atasan di kantor.
"Wallaikumsalam," sahut Aulia dan dua karyawati lainnya, di antara empat perempuan itu hanyalah Calista yang berhijab. "Saking sibuknya ngomongin Pak Dylan sampai nggak tahu kalau Mbak Calista udah datang."
Calista tersenyum. "Nggak apa-apa, saya yang minta maaf setelah ganggu momen asyik kalian. Tadi yang dua jadi pergi, saya cuma mau antar bekal Aulia." Ia masuk ke kubikel Aulia dan memberikan satu tote bag yang dibawanya pada gadis 24 tahun berambut hitam sebahu itu, dan Aulia tersenyum meraihnya.
"Ini serius Aulia beneran dibuatin, Mbak? Astaga! Padahal tadi cuma bercanda aja lho, Mbak. Makasih banyak beneran dibuatin bekal." Aulia benar-benar senang, ia beranjak dan memeluk Calista sejenak. "Coba aja kakak perempuan aku di rumah itu baiknya kayak Mbak Calista, pasti betah di rumah aku."
"Hush! Nggak boleh kayak gitu." Calista mengurai pelukan mereka, ia menatap dua karyawati lain yang masih berdiri di sekitar meja kerja Aulia. "Saya mau langsung pergi, lanjutin aja obrolan santai kalian ya."
"Mbak Calista udah ketemu sama Pak Dylan belum? Itu lho anak bos yang sering banyak orang bilang, katanya udah pulang ke Indonesia, tadi juga ke sini," tutur Aulia bersemangat, jika membahas laki-laki memang ia jagonya.
"Dylan?" Calista mengernyit. "Maaf, tapi nggak tahu yang namanya Dylan itu seperti apa."
"Aduh, Mbak! Ganteng banget!" Aulia benar-benar heboh hingga seruannya membuat beberapa orang yang sudah datang menatap ke arahnya, ia nyengir kuda seraya menggaruk kepala dan berakhir duduk lagi.
Calista menggeleng. "Heboh banget kamu, saya mau ke ruangan saya langsung ya, permisi semua."
Calista memang bukan tipikal wanita yang bisa berlama-lama jika mendengar gosip dari orang lain, ia lebih senang menghabiskan waktunya di depan laptop atau pergi dengan Ardio ketimbang ghibah dengan tetangga, Calista hanya tak ingin mendengar sesuatu yang tidak nyata, biasanya gosip atau kabar burung belum tentu benar, bukan?
Lebih baik Calista menghabiskan waktunya untuk hal yang lebih bermanfaat ketimbang mengulik kisah orang lain, baginya semua itu adalah privacy setiap orang, tak perlu mengumbar aib, apalagi ia sendiri adalah salah satu bahan ghibah orang-orang di kantor meski bukan Aulia yang akan membahas tentangnya.
***
Sepulang dari ibadahnya di gereja malam ini, Dylan memutuskan berkunjung ke rumah sang tante yang berada di komplek perumahan Menara Permai, bisa dihitung empat tahun lalu Dylan terakhir kali datang ke sana sebelum berangkat melanjutkan studi strata dua di London, dan malam ini ia akan mengejutkan semua orang di rumah besar itu—yang memang belum mengetahui kepulangannya.
Mobil yang Dylan kemudikan sudah masuk ke komplek perumahan sang tante, suasana di sana tak terlalu berubah sejak terakhir kali Dylan berkunjung, hanya beberapa cat rumah yang diubah serta tatanan kebun yang berbeda.
Dylan akhirnya menepikan mobilnya di depan rumah elite dua lantai dengan nomor 27 A, laki-laki itu tersenyum seraya melepas kacamata hitam yang bertengger manis di hidung. Dylan akhirnya turun dan menghampiri gerbang tinggi yang tertutup rapat, tampak sebuah mobil silver terparkir di halaman luas rumah itu.
Tak ada satpam rumah, satpam komplek pun sibuk berkeliling hingga larut malam nanti sekadar melangsungkan patroli, jadi Dylan mendorong sendiri gerbang, tak perlu lebar-lebar asalkan muat dilewati tubuhnya.
Laki-laki itu melangkah melewati halaman rumah dan berakhir di beranda, ia mengedarkan pandang sebelum menekan bel yang berada di dekat pintu—persis di dekat kepalanya.
"Siap—Dylan!" Glroi—sang tante yang berstatus sebagai adik kandung ayah Dylan—memeluk laki-laki yang kini berada di depannya, setelah empat tahun tak berjumpa—akhirnya malam ini keponakan tersayang Glori memunculkan diri lagi, dan tanggapan yang Glori berikan sudah bisa ditebak Dylan. Wanita itu akan memeluk dan menangis sejenak sebelum akhirnya tertawa tatap Dylan dari ujung kaki hingga kepala. "Kamu makin tampan aja, mana istrinya?"
Dylan mengernyit. "Is-tri? Istri siapa?"
Glori tertawa. "Cuma bercanda kok, ayo masuk." Wanita itu membuka pintu lebih lebar saat Dylan turut serta mengekor di belakangnya.
"Siapa, Oma!" Seruan itu membuat Dylan mengingat sosok bayi yang dulu sempat dibuatnya menangis karena cubitan di pipi, Aurell—cucu Glori—tampak berlari menuruni anak tangga dan hampiri sang oma yang berjalan bersama sosok asing di mata Aurell. Dulu, saat ditinggal usia Aurell masih satu tahun, Aurell adalah anak pertama dari Mika—putri Glori.
"Hey? Ini Aurell, bukan?" Dylan berjongkok di depan Aurell yang bersembunyi di belakang pinggang sang oma, bocah lima tahun itu tampak takut dengan Dylan.
"Siapa, Oma?" tanya Aurell yang kini menengadah seraya tarik-tarik ujung daster batik yang dikenakan Glori.
"Itu Om Dylan, coba deh Aurell kenalan," ujar Glori, "nggak nakal kok."
"Nggak bohong, kan?" Aurell begitu menggemaskan dengan wajah polos yang ketakutan itu, ia melepaskan tarikannya dari baju sang oma dan mendekat ragu ke arah Dylan seraya mengulurkan tangan kanan. "Namaku Aurell Janesha, Om siapa?"
"Dylan." Laki-laki itu tersenyum saat menyambut uluran tangan mungil keponakannya yang begitu cantik, tapi hanya beberapa detik saat Aurell menarik lagi tangannya dan kembali bersembunyi di belakang pinggang Glori.
"Kok sembunyi lagi? Kan Om-nya nggak nakal, Sayang," ujar Maya menunduk menatap sang cucu.
"Nggak ah! Aurell sukanya main sama Ardio aja." Bocah itu berlari menghampiri tangga dan menapakinya satu per satu dengan cepat tanpa takut jika jatuh, Aurell memang cukup enerjik seperti laki-laki, jarang sekali menangis dan lebih sering bermain dengan teman laki-laki ketimbang yang seperti dirinya. Bahkan mainan Aurell hanya seputar mobil serta robot, bukan Barbie seperti seharusnya.
"Tuh, tante aja udah punya cucu. Kamu kapan kasih papa kamu cucu, Lan?" goda Glori saat Dylan beranjak.
Laki-laki itu mengeryit. "Cucu apa sih, Tante. Nikah aja belum."
"Ya siapa tahu kepulangan kamu dari London itu salah satunya cari istri, iya, kan?" Glori memang paling suka jika menggoda Dylan, pasalnya laki-laki itu lama sekali menyendiri tanpa kehadiran gadis di sebelahnya, Glori hanya tahu satu kekasih Dylan yang sudah putus sejak SMA. Sampai sekarang laki-laki itu lebih senang menyendiri sekalipun baru saja habiskan masa empat tahun di London.
Dylan mengibas tangan. "Planning itu masih jauh, jodohnya belum datang."
"Kamu aja yang nggak pernah mau kalau didekati perempuan, coba kasih mereka ruang buat masuk hidup kamu, Lan. Siapa tahu salah satu dari mereka jodoh kamu."
"Nggak tau deh, aku mau ke kamarnya Aurell aja ya, Tan." Dylan melengos menghampiri anak tangga dan menapakinya satu per satu, ia sudah gemas sejak pertama kali melihat Aurell lagi, tak peduli dengan Glori yang masih menggodanya dengan seruan-seruan menggila di telinga Dylan.
Laki-laki itu mendorong lebih lebar sebuah pintu yang sudah terbuka, tampak nuansa pink begitu terasa di kamar yang cukup luas milik Aurell, begitu girly—meski baru usia lima, tapi Aurell sudah dilatih untuk tidur sendiri.
Fasilitas yang disediakan orangtua Aurell pun tak tanggung-tanggung, kamar bocah lima tahun itu ditata bak istana tuan putri sekalipun isi lemari kaca di kamar Aurell hanyalah mobil-mobil remote mahal yang didapatkannya dari hasil ulang tahun atau merengek, anak kecil mana yang tak suka merengek jika minta sesuatu?
Terlihat gadis kecil itu duduk di permadani seraya memainkan dua robot dengan bentuk berbeda, dua karakter Transformers yang Aurell dapatkan setelah Samy—ayahnya—pergi ke Jepang untuk urusan pekerjaan, dan harganya tak bisa dibilang miring.
Karakter Bumbble Bee dan Optimus Prime yang kini tengah dimainkan Aurell dengan dialog asal khas anak kecil, beberapa kali dua robot itu Aurell tubrukan tanpa peduli cepat rusak atau tidaknya.
"Mainan apa, cantik?" sapa Dylan yang kini berjongkok di depan Aurell, bocah itu segera beranjak dan menyembunyikan mainannya di belakang punggung.
"Jangan! Ini mainan aku! Papa yang beliin! Om mending beli sendiri sana." Aurell melengos, benar-benar menggemaskan sekali sikap tak acuh bocah tersebut. "Besok mau buat mainan sama Ardio."
Dylan tertawa kecil menanggapi ocehan yang bisa diketegorikan amarah dari Aurell. "Ardio itu siapa? Kok om nggak boleh pinjam?"
"Ardio itu teman aku, itu rumahnya di sana." Aurell berlari ke arah balkon kamar dan berdiri di balik railing, ia menunjuk rumah besar di seberang rumah Glori. Dylan beranjak menghampiri bocah itu, ia terperanjat begitu menemukan sosok wanita berhijab yang keluar setelah mendorong gerbang dan kini menengadah hingga iris mereka saling menemukan.
Calista?
"Tante Lista! Aurell di sini!" seru keponakan Dylan seraya melambai tangan memamerkan gigi-giginya, ia tampak ceria, beralih dari Dylan untuk menanggapi Aurell membuat Calista tersenyum seraya turut melambai. "Ardio di mana, Tante? Besok mau aku ajak main robot yang baru!" Lagi-lagi Aurell berseru tanpa memedulikan sekitar, jawaban Calista sekadar mengangguk saja—sebab ia tengah berbicara dengan seorang perempuan yang baru mengulurkan mangkuk berisi sup ayam, mungkin tetangga sebelah.
Lain Aurell, lain Dylan. Jika Aurell memang hyperaktif, beda dengan Dylan yang merasa tubuhnya dipaksa kaku beberapa detik lalu. Tatkala Calista kembali melewati gerbang dan menutupnya rapat hingga tubuh wanita itu lenyap di balik pintu utama, Dylan baru kembali.
Ia mendesah menyugar rambutnya, seperti syok. "Aurell, itu mamanya Ardio? Temen kamu?"
"Iya, Om. Besok aku mau main lagi, yeay!" Aurell mengitari kamar seraya mengangkat tinggi robot barunya, begitulah saking cerianya anak kecil jika mendapat mainan baru.
Dylan yang masih berdiri di balik railing kembali menatap ke arah yang sama, ia tersenyum penuh arti. "Apa jalannya udah dibuka?"
***