Chereads / Bunga Di Dapur Mama / Chapter 3 - Kehormatan yang terkoyak

Chapter 3 - Kehormatan yang terkoyak

Terhitung sudah lima hari ini Bunga berada di Jakarta dan tinggal di rumah majikan Ibunya. Selama tinggal di rumah keluarga Jaya Diningrat Bunga sangat rajin membantu sang Ibu untuk melakukan pekerjaan rumah sembari menunggu mendaftar kuliah di kampus yang ia inginkan.

Sebenarnya sudah ada beberapa kampus yang direkomendasikan oleh Pak Anggoro kepada Bunga. Namun Bunga masih belum menentukan pilihannya dan ingin melihat secara langsung kampus yang akan menjadi tempat mencarinya ilmu nanti.

Namun yang membuat Bunga heran adalah rumah yang begitu besar ini hanya dihuni oleh dua orang suami istri dan para pekerjanya saja. Sedangkan di mana anak dari Pak Anggoro dan Ibu Nirmala selama ini? Ibunya juga pernah bilang majikannya memiliki anak semata wayang seorang laki - laki.

Bahkan itu diperkuat dengan foto keluarga berukuran besar yang menempel di dinding ruang tamu. Bunga baru mengetahuinya setelah 2 hari tinggal di rumah besar ini ketika sedang membersihkan ruangan tersebut. Karena tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam ruang tamu keluarga Jaya Diningrat apalagi dia hanya seorang pembantu. Sedangkan jalan khusus untuk para pembantu sebagai akses keluar masuk rumah ini ada di samping rumah.

"Bunga, bantu Ibu memotong wortel ini ya, Nak!" seru Ibu Zaenab setelah melihat Bunga meletakkan alat pel di tangannya ke tempat semula.

"Pekerjaan kamu sudah selesai kan Bunga?!" imbuh sang Ibu.

"Sudah Bu!"

Bunga pun mendekat ke arah Ibunya dan mengambil alih pisau dan wortel yang siap dipotong itu.

"Memang mau ada apa sih Buk? Kelihatannya sibuk banget dari kemarin!" tanya Bunga penasaran karena melihat Ibunya masak lebih banyak dari biasanya.

"Calon besan juragan mau datang berkunjung Bunga. Jadi Ibu harus menyiapkan makanan buat mereka!" jawab Ibu Zaenab sambil mengaduk kuah soto di depannya.

"Memang selalu begitu ya Bu?!"

"Iya, awalnya Ibu Mala memesan dari koki khusus tapi ternyata calon besannya lebih menyukai masakan Ibu. Jadinya sekarang Ibu yang harus masakin setiap mereka datang berkunjung kemari!" jelas wanita itu.

"Wah berarti masakan Ibu lebih enak dari pada koki - koki di luar sana. Buktinya mereka lebih suka makanan Ibu dari pada koki itu!" ucap Bunga bangga.

"Ya enggak lah biasa aja. Cuma memang lidah mereka Indonesia banget sehingga lebih menyukai masakan rumahan yang Ibu buat!"

Bunga terlihat cuma menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Sebelum kemudian seorang pembantu lain datang dan berkata-

"Bi Zaenab juragan muda minta dibikinin kopi!"

"Iya Nis, tunggu bentar aku buatin," jawab Ibu Zaenab.

"Bisa nanti minta tolong Bunga aja yang anterin soalnya pekerjaan ku belum selesai," ucap perempuan bernama Nisa itu.

"Boleh Mbak Nisa, sekalian biar saya saja yang bikinin kopinya!" saut Bunga penuh semangat.

"Ya udah makasih ya Bunga. Aku lanjutkan sisa pekerjaan ku dulu."

Perempuan itupun keluar dari dapur dan meninggalkan Bunga dan Ibunya.

"Letakkan dulu wortelnya Nduk. Buatin kopi buat juragan muda dulu!" titah Ibu Zaenab.

"Memang juragan muda ada di sini ya Buk. Bunga nggak pernah lihat dia pun?!" tanya Bunga sembari mengambil panci untuk merebus air.

"Iya memang Mas Angger jarang tinggal lama di rumah ini karena sudah memiliki apartemen sendiri. Jadi beliau hanya sesekali berkunjung untuk menemui juragan besar," jelas Ibu Zaenab.

"Wah enak ya jadi orang kaya rumahnya banyak jadi bingung mau pilih tinggal di mana."

"Udah sih bersyukur saja atas semua yang kita punya. Hidup itu sawang sinawang Nduk. Yang tampak indah di depan belum tentu nyaman dirasakan!" Ibu Zaenab tampak memberikan nasehat kepada putrinya.

"Iya seperti Bunga yang selalu bersyukur punya Ibu dan Nenek hebat seperti kalian!" ucapnya bangga.

Bunga tengah membawa baki di tangannya dengan secangkir kopi hitam pesanan majikan mudanya tadi. Gadis itu kini sudah berdiri di depan kamar milik anak majikannya. Dengan sedikit ragu ia mengetuk pintu bermaterial kayu di hadapannya.

Tok ... tok ... tok!

Hingga beberapa kali Bunga mengetuk, dia sama sekali tidak mendengar sautan dari dalam sehingga membuatnya sedikit berfikir.

"Tadi Ibu bilang kalo nggak ada jawaban suruh langsung masuk dan taruh kopinya di atas meja!" gumamnya pada diri sendiri. Sehingga Bunga memberanikan diri untuk mendorong pintu tersebut agar terbuka.

Perlahan namun pasti Bunga melangkah masuk lebih dalam ke ruangan bernuansa abu - abu itu untuk segera meletakkan kopi yang dibawanya ke atas nakas sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Ibunya tadi. Samar Bunga mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Mungkin juragan muda sedang mandi jadi tidak mendengar dia mengetuk pintu tadi, begitu pikir Bunga. Sebelum kemudian gadis itu bergegas keluar dari kamar anak majikannya.

Setelah menutup pintu kamar tersebut Bunga tidak langsung pergi gadis itu malah menyandarkan punggungnya di balik pintu.

"Ya ampun kamarnya gede banget bahkan lebih luas dari rumahku di kampung. Mana bersih, rapi dan wangi lagi. Anak majikan Ibu bener - bener sangat menjaga kebersihan. Pantes Ibu bilang dia tidak suka ada orang yang sembarangan masuk ke dalam kamarnya," ucap Bunga kagum sebelum dia kembali tersadar dan berkata- "Kenapa aku malah asik - asikan di sini padahal Ibu lagi repot di dapur. Dasar kau Bunga!"

Gadis itu tampak menepuk keningnya sendiri karena merutuki kebodohannya. Sebelum kemudian bergegas kembali ke dapur tempat seharusnya dia berada.

Sedangkan di dalam kamarnya Angger baru saja keluar dari kamar mandi. Bahkan ia sempat mendengar suara pintu ditutup. Siapa? Begitu pikirnya. Namun setelah melihat di atas nakas sudah ada secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panasnya dirinya bisa menebak bahwa yang datang tadi adalah Ibu Zaenab, asisten rumah tangga keluarganya.

Sehingga tanpa berpikir lagi, Angger pun segera mengambil kopi tersebut kemudian sedikit menyesapnya karena masih terlalu panas.

Nikmat! Begitulah yang ada di dalam fikiran Angger. Tapi kenapa tidak terasa seperti biasanya? Bahkan terlalu nikmat dari yang biasa Bi Zaenab buatkan.

Acara makan malam keluarga besar Jaya Diningrat beserta calon besannya terselenggara dengan sangat meriah karena melibatkan dua keluarga besar sekaligus. Pertemuan itu memang sengaja diadakan untuk membahas rencana pertunangan putra semata wayang Pak Anggoro dan Ibu Nirmala dengan seorang model terkenal yang sudah menjadi kekasih Angger sejak 2 tahun lalu.

Satu jam setelah acara makam malam dibuat Bapak dan Ibu Jaya Diningrat sudah masuk ke dalam kamar utama. Sedangkan majikan muda sudah pergi dengan calon tunangan setelah acara selesai. Dan kini menyisahkan para pekerja di rumah besar Jaya Diningrat yang masih berkutat dengan pekerjaan mereka selepas acara.

"Sudah Ibu istirahat saja. Biar Bunga yang cuci semua piringnya!" ucap Bunga kepada Ibu Zaenab.

"Piring - piring kotor itu sangat banyak Bunga, biar Ibu membantumu sebentar!" jawab sang Ibu karena tidak tega membiarkan putrinya menyelesaikan tugasnya seorang diri.

"Nggak papa Buk, itu muka Ibu sudah kelihatan capek banget. Sejak pagi Ibu kan sudah bekerja keras. Jadi sekarang biar Bunga saja yang meneruskan pekerjaan Ibu!" keukeh Bunga.

Karena desakan putrinya akhirnya Ibu Zaenab pun menurut dan masuk ke dalam kamarnya. Selain itu juga karena dirinya sudah terlalu lelah. Sejak pagi dirinya sudah melakukan pekerjaan yang begitu menguras tenaga. Karena seluruh makanan yang tersaji di acara makam malam ini hasil masakan Ibu Zaenab semua.

Dengan tekun dan penuh hati - hati Bunga mencuci piring - piring kotor tersebut. Gadis itu juga yang sibuk membersihkan dapur. Sebelum kemudian Nisa masuk dan berkata-

"Ruang depan sudah bersih Bunga. Semuanya sudah kembali aku rapikan. Sekarang aku mau istirahat dulu. Kamu kalo sudah selesai istirahat juga ya, karena besok masih banyak pekerjaan yang menanti kita."

"Iya Mbak Nisa!"

"Ya sudah aku ke kamar dulu ya!"

Bunga hanya memberikan senyuman tipis sebagai jawaban sebelum kemudian dirinya melanjutkan apa telah ia kerjakan tadi.

"Huh, akhirnya selesai juga!" desah Bunga karena merasa lega.

Sebelum kemudian masuk ke dalam kamarnya sendiri. Di rumah ini Bunga mendapatkan kamar sendiri karena kebetulan ada satu kamar kosong yang memang dikhususkan untuk pembantu. Bunga pun merasa sangat bersyukur karena dengan begitu ia tidak perlu berdesak - desakan tidur dengan sang Ibu.

Jam di atas dinding sudah menujukan pukul 1 dini hari namun Bunga masih belum juga bisa memejamkan matanya. Sehingga ia memutuskan untuk pergi ke dapur dan membuat minuman hangat di sana.

"Teh anget enak kali ya diminum malam - malam begini. Ya sudah aku bikin aja dari pada nggak bisa tidur terus kayak gini!" gumamnya sebelum beranjak dari tempat tidur berukuran single itu.

Rumah besar Jaya Diningrat begitu sunyi dengan pencahayaan temaram karena beberapa lampu utama banyak yang dimatikan. Karena sudah sangat menghafal letak bagaimana posisi ruangan, Bunga pun tidak mengalami kesulitan untuk berjalan meskipun dalam kondisi gelap.

Sesampainya di dapur Bunga langsung menyalahkan kompor dan menaruh panci di atasnya untuk merebus air. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya air yang dipanaskannya mendidih dan ia segera menuangkannya ke dalam gelas yang sudah diberi gula dan teh celup sebelumnya. Jemari Bunga tampak lincah mengaduk teh manis yang masih mengepulkan uap panasnya itu. Hingga suara berat seseorang menginterupsi pendengarannya.

"Siapa kau?! Kenapa ada di dapur rumah ku?!" hardik Angger saat mendapati perempuan asing berada di dalam dapur rumahnya.

"Ma-maaf Mas saya Bunga. Saya-!"

"Mmmmmpphh ...!"

Bunga tidak dapat melanjutkan penjelasannya karena Angger sudah terlebih dulu membungkam bibir Bunga dengan ciumannya.

Ciuman yang menggebu dan menuntut itu membuat Bunga tidak berdaya. Apalagi tercium aroma aneh dan menyengat yang menguar dari mulut anak majikannya itu.

"Tolong lepaskan saya Mas. Jangan melakukan ini kepada saya. Saya mohon!" hibah Bunga di sela - sela ciuman Angger.

Namun telinga Angger seakan menuli dengan terus menjadikan bibir Bunga santapannya. Gadis itu tidak dapat mengelak lagi apalagi tenaga Angger begitu besar menguasai tubuhnya.

"Mmmpphh ... jangan ... tolong lepas kan!"

Bunga sudah hampir bisa berlari seandainya saja Angger tidak mendekap tubuhnya dari belakang. Tidak ada cara lain Bunga harus berteriak. Namun baru saja Bunga membuka mulutnya tangan besar Angger sudah terlebih dulu membekapnya.

"To-"

"Jangan berteriak atau aku akan membuat hidupmu sengsara. Sekarang layani aku, tubuhku panas sekali. Karena jika tidak aku akan mati!" ucap Angger dengan putus asa. Bunga dapat merasakan bahwa pria di belakangnya sekarang sedang menahan kesakitan. Namun karena apa Bunga tidak tahu.

"Tidak Mas saya mohon. Saya tidak mau melakukannya!"

Air mata semakin deras membasahi pipi Bunga. Terlalu banyak meronta membuat pertahanannya semakin lemah. Apalagi dirinya sudah payah akibat pekerjaan yang menumpuk sejak tadi sore. Sehingga membuat Bunga semakin tidak berdaya.

Angger sama sekali tidak menghiraukan permohonan Bunga. Karena di bawah sana sudah ada yang mendesak untuk segera dituntaskan atau dirinya sendiri yang akan tersiksa. Angger sendiri pun tidak mengerti apa yang sudah terjadi pada tubuhnya sehingga bisa menggila seperti ini. Yang ada di benaknya sekarang hanyalah bagaimana dia harus segera bisa menyalurkan hasratnya.

Angger mengangkat tubuh Bunga untuk dibawa ke atas meja dapur. Di sana Bunga ditidurkan dengan posisi terlentang. Dengan posisi berdiri di antara kedua kaki Bunga yang sengaja ia renggangkan, Angger pun kembali mencium bibir merah alami Bunga. Tangannya juga tidak tinggal diam menjamah apapun yang dirinya inginkan.

Bunga tidak bisa berbuat apa - apa selain pasrah karena gadis itu sudah tidak berdaya. Mulutnya kembali dibekap erat saat ciuman Angger terlepas dari bibirnya. Hanya buliran air mata yang menjadi saksi bagaimana Bunga membenci keadaannya saat ini.

Krek-

Bunyi kain terkoyak menandakan malam ini Bunga akan kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya. Kehormatan yang selama ini Bunga jaga dirampas tak tersisa oleh anak dari majikan Ibunya sendiri tanpa perikemanusiaan. Bahkan Angger sama sekali tidak peduli rasa sakit Bunga saat dengan penuh paksaan dirinya melakukan penyatuan yang sangat menyakitkan bagi seorang Bunga yang masih perawan. Seorang gadis desa lugu yang menjadi korban kebiadaban Angger Jaya Diningrat.