"Oke Mas,"
"Mau sekolah?" tanya Dewa.
"Mau dong," jawab Salsa.
"Perutnya gimana?" khawatir Dewa.
"Udah gak sakit, Mas. Lagian aku juga takut ketinggalan pelajaran, karena izin terus."
Ya, memang benar. Setelah menikah, Salsa memang izin dari sekolahnya.
"Yaudah, tapi kalo ada apa-apa langsung kabari Mas, ya."
"Siap, pasti kok," ujar Salsa.
"Mas suruh buat Bi Jum bikin makanan ya, kamu tunggu sebentar."
Salsa mencekal lengan Dewa yang akan beranjak dari atas kasur.
"Eh, jangan Mas. Malu aku, kan gak puasa," cicit Salsa.
Dewa malah dibuat tertawa oleh istrinya. "Ya, gak apa-apa. Kamu kan emang lagi gak boleh puasa, sayang."
"Tapi malu,"
"Udah, gak usah malu." final Dewa beranjak dari kasur dan menuju bawah.
Ternyata sudah ada Bi Jum yang sedang mencuci menyapu dapur.
"Pagi, Den." sapa Bi Jum ramah.
Dewa balas tersenyum. "Bi Jum boleh minta tolong?"
"Boleh, Den. Minta tolong apa?"
"Buatin sarapan buat Salsa ya, Bi."
Bi Jum mengangguk. "Non Salsa tidak puasa, Den?"
"Engga, Bi. Lagi datang bulan," ujar Dewa.
Bi Jum paham. "Ohh... baik, Den. Bibi buatin sarapannya sekarang,"
"Makasih ya, Bi."
"Sudah tugas Bibi, Den."
•••
"Inget, jangan nakal." ujar Dewa.
"Iya-iya, Mas. Ya ampun," kekeh Salsa.
"Mas nanti gak bisa jemput, ntar Mas suruh buat Farhan jemput kamu, ya?"
Farhan asisten pribadi Dewa di kantor.
"Emangnya gak apa-apa?"
"Gak apa-apa," ujar Dewa.
"Pulang jam berapa?" lanjut Dewa bertanya.
"Biasanya kan jam 2, tapi hari ini ada rapat osis sebentar. Jadi jam 3 baru beres." jawab Salsa.
Dewa mengangguk paham. "Em, oke. Nanti langsung aja ke pondok, ya. Ntar Mas bilang sama Farhan."
"Iya, Mas."
Salsa mencium punggung tangan suaminya. "Aku masuk, ya, Mas."
Dewa mengangguk, dan mengecup singkat kening sang istri.
"Belajar yang rajin,"
"Siap, Bos!" ujar Salsa lalu keluar dari mobil.
Dewa tersenyum-senyum sendiri, betapa bahagianya ia saat ini. Yang sudah berstatus sebagai istri.
•••
Salsa berjalan menyusuri koridor sekolahnya dan menuju kelasnya. Yaitu IPA 1. Salsa termasuk siswa berprestasi di sekolah ini.
"Pagi, Div," sapa Salsa pada sahabatnya, Diva.
"Pagiiii, cie... di anterin sama suami, yee?" goda Diva.
"Eh, liat?" kaget Salsa.
"Liat dong, dari jendela," ujar Diva.
"Iya haha," tawa kecil Salsa.
Salsa dan Diva tidak satu meja. Karena di kelas ini hanya 20 orang. Satu baris ada 5 bangku saja. Tetapi mereka bersebelahan.
"Oh iya, nanti sore jadi kan rapat?" tanyaku pada Keysha yang berada di belakang kursi ku.
"Jadi, Sal. Ikut?" jawab Keysha dengan pertanyaan juga.
"Ikut dong," ujar Salsa tersenyum.
"Oh iya, Sal. Ini gue bayar sisa uang Ramadhan," ujar Keysha menyodorkan uang berwarna merah 4 lembar.
"Eh, iya makasih Key."
Salsa menerima uang itu dan mengitungnya. Serta memasukan nya kembali ke tas sekolahnya.
•••
"Mari Bu, silahkan masuk." ujar seseorang ber jas hitam rapih membukakan aku pintu mobil.
Aku teringat akan omongan Mas Dewa tadi pagi. Mungkin ini yang di maksud Mas Dewa. Jika asistennya akan menjemputnya di sekolah.
"Disuruh Mas Dewa?" tanyaku.
Pria itu mengangguk ramah. "Iya, Bu. Perkenalkan saya Farhan, asisten pribadi Tuan Dewa."
"Okay. Saya Salsa, panggil aja Salsa. Jangan Ibu, berasa udah tua, haha... " tawaku.
"Maaf Bu, tidak bisa. Sudah seharusnya seperti itu, nanti Tuan bisa-bisa memarahi saya."
"Oh... Mas Dewa. Okay deh, terserah." ujarku langsung masuk ke dalam mobil.
Mobil pun melaju dengan kecepatan normal menuju pesantren As-Assalam yang Mas Dewa maksud.
Menempuh perjalan selama 1 jam, akhirnya aku sampai di tujuan. Mobil ini memasuki perkarangan pesantren, dan sudah di suguhi banyak santri dan santriwati yang sedang membersihkan halaman pesantren.
"Silahkan, Bu. Tuan Dewa sudah berada di dalam," ucap Farhan membukakan pintu mobil untuk Salsa.
"Makasih, Om." ujarku keluar.
Banyak pasang mata melirikku dengan tatapan aneh, sinis dan tidak suka.
Aku lihat banyak santriwati yang memakai kerudung panjang dan besar menjuntai ke bawah.
Pasti mereka melirik pakaian seragam ku yang pendek, dan tidak memakai kerudung seperti mereka. Tapi kan aku pakai rok nya panjang.
"Mari saya antar Bu,"
"Eh, gak usah Om. Aku udah tahu, kok. Barusan Mas Dewa chat," tolakku halus.
"Baik, Bu. Kalo gitu saya permisi, mari." kata Farhan sopan.
"Iya, Om mari."
Aku berjalan santai masuk ke pesantren dan ndalem, dimana Mas Dewa dan yang lainnya sudah berada.
Aku mengabaikan tatapan aneh dari sekitar dan bodo amat.
"Heh, kamu nyasar, ya?" tanya seorang santriwati yang berjilbab berwarna merah maroon.
Aku melirik malas. "Nyasar? Maksud lo?"
"Ngapain kamu masuk sini? Pake baju kayak gini lagi, cih." decih santriwati tersebut yang bernama Laras.
"Apa urusannya sama lo?"
"Gak seharusnya kamu pake pakaian kayak gini dan masuk pesantren. Gak etis banget," ujarnya.
"Gue ini yang make, lo gak usah ribet." kataku menatapnya datar.
"Ngelunjak ya, kamu di kasih tahu." geram Laras.
Aku melenggang pergi begitu saja. Dan gadis itu menggeram kesal.
"HEH! DASAR GAK ADA SOPAN-SOPAN NYA MAIN PERGI AJA!" teriak Laras.
Aku mendengar, tapi tak ku pedulikan.
"Laras, kamu lupa? Suara adalah aurat." peringat temannya yang bernama Syifa.
"Asstaghfirullah, lupa." ujar Laras beristighfar.
"Lagian, siapa sih dia? Kok bisa masuk ke ndalem?" heran temannya Laras satu lagi yang bernama Farah.
"Masuk ke ndalem? Apa?! Kok bisa?" kaget Laras.
"Iya, tuh arahnya ke ndalem." ucap Syifa.
•••
Aku sudah di sebuah rumah, besar sih rumahnya. Ada banyak tanaman juga disini.
"Assalamualaikum," salamku.
"Waalaikumsalam, sini nak masuk." ujar Bunda Risa.
Aku mencium punggung tangan Bunda Risa serta yang lainnya. Disana juga sudah ada Mas Dewa yang sedang mengobrol bersama ayah.
"Kata Dewa, kamu lagi gak puasa nak? Mau makan dulu?" tawar Risa lembut.
Aku tersenyum malu. "Hehe... iya Bun, lagi datang bulan. Tapi gak usah ah, nanti bareng-bareng aja sama Mas Dewa." tolakku halus.
"Ini juga disuruh Dewa, nak. Gak apa-apa, makan ya."
"Beneran, gapapa Bun. Lagian Salsa gak laper-laper amat, kok."
"Yaudah kalo gitu, tapi kalo mau, bilang Bunda yaa... " ujar Risa.
"Iya, siap Bun."
Dewa menghampiri istrinya yang tengah duduk sendiri di ruang tamu sembari memainkan ponselnya.
Langsung duduk disamping sang istri dan berhambur memeluk istrinya dengan erat.
Salsa terkejut, tapi ia tahu siapa pelakunya. Suaminya sendiri.
"Mas, kaget." ujar Salsa.
"Kenapa gak makan, hm?" tanya Dewa dibalik kepalanya yang berada di ceruk leher istrinya.
"Nanti aja," jawab Salsa.
"Emang gak laper?"
"Laper sih, tapi malu," cicit Salsa.
Dewa terkekeh dibuatnya. "Gak usah malu, makan ya, sayang."
•••