"Pasti, Mas."
Salsa kembali memeluk Dewa dengan erat, rasanya tidak ingin jauh-jauh dari suaminya. Dewa terkekeh, dan membalas pelukan istrinya dengan tak kalah erat juga.
"Mau sampe kapan begini, hm?" tanya Dewa lembut.
"Gak tahu," jawab Salsa serak. Ia justru mendusel-dusel kan kepalanya didada bidang suaminya.
"Gak mau bantuin Mamah?"
"Engga, gini aja. Enak,"
Dewa mendengarnya terkekeh kembali, ada-ada saja istrinya ini.
"Salsa ya-am..." teriak Brian yang muncul dari dapur.
"Yaealah, mentang-mentang penganten baru maunya berdua mulu. Bantuin Mamah, noh. Bikin rendang," ujar Brian.
"Apaan sih, Abang. Ganggu aja, lagian Mamah udah banyak yang bantuin juga." kesal Salsa mengerucutkan bibirnya.
Disatu sisi, Dewa tersenyum manis dan merapihkan rambut istrinya yang sedikit berantakkan.
"Yeee... bahasa kamu ganggu, yang ada si Dewa yang keganggu kali," cibir Brian.
"Enak aja. Engga ya," elak Salsa.
"Gih, bantuin Mamah," titah Dewa lembut.
"Engga mau," tolak Salsa.
"Kenapa?" tanya Dewa.
"Masih pengen disini," jawab Salsa manja.
"Nanti kan bisa lagi, bantuin Mamah gih." ucap Dewa selembut mungkin.
Salsa mengangguk pasrah. Nurut deh, sama suami. Kalo gak nurut takut di laknat sama malaikat. Kan gak mau.
"Manja dasar," cibir Brian.
"Bodo, suka-suka Salsa. Dasar, Abang jelek." ujar Salsa melenggang masuk ke dapur.
"Yeee, adik durjana,"
Dewa hanya bisa menatap datar mendengar kedua adik dan kakak tersebut.
"Gimana adik gue?"
"Gimana apanya?"
"Kuat kagak tuh semalem?"
Dewa mengerti arah pembicaraan sahabatnya ini.
"Belum, masih sekolah."
"Yeee... cemen," cibir Brian.
"Bukan gitu. Gue gak mau dia terbebani, biarin dia fokus sekolahnya dulu kejar cita-citanya."
"Buset, tumben bijak Bapak Dewa ini,"
"Tiap hari kali," ucap Dewa menyenderkan kepalanya di bantal sofa.
"Gue mau nyate dibelakang, ikut kagak?" tanya Brian.
"Ayok," jawab Dewa berdiri.
•••
"Mas, udah cantik belum?" tanya Salsa yang sudah rapih dengan mukena berwarna coklat abstrak tersebut, dan ditangannya sudah tertenteng sejadah dengan warna senada.
"Udah sayang, udah cantik?" jawab Dewa tersenyum.
"Kamu juga, Mas."
"Ha? Maksud kamu Mas juga cantik?"
"Ganteng, hehe..." cengir Salsa tanpa dosa.
Dewa terkekeh dan mengusap pucuk kepala istrinya.
"Kebawah, yuk," ajak Dewa.
"Ayok, Mas."
Saat mereka berdua sampai di bawah, ternyata sudah banyak yang menunggu.
"Heh, lama amat sih. Lumutan nih gue nunggu kalian berdua," ujar Brian kesal.
"Lebay, Abang. Cuma 15 menit aja, masa Abang udah lumutan."
"15 menit pala kamu peyang, 16 menit, heh!" sarkas Brian emosi.
Padahal hanya selisih satu menit, ya. Ributnya minta ampun.
"Lagian ngapain sih, di kamar?" kepo Brian.
Salsa tertawa. "Dasar, kepo."
"Udah-udah, kok pada malah ribut. Kamu juga, Mas, jahil mulu," ujar Hana.
"Si Sasa micin noh, yang. Bukan aku,"
"Abang, Kak. Yang ngajak ribut duluan,"
"Kamu,"
"Abang!"
"Dibilangin kamu,"
"Dibilangin abang."
"Ngeyel kamu,"
"Abang juga ngeyel,"
"Sayang..." ucap Dewa.
Seketika Salsa berhenti. Dan menoleh ke arah Dewa yang menatapnya tidak suka.
"Hehe... becanda, Mas." cengir Salsa.
"Mampus!" sarkas Brian.
"Mas, aku kunciin kamu diluar," ancam Hana.
"Eh... jangan dong sayang..." melas Brian.
Bisa bahaya kalo Brian dikunci dari kamar.
"Rasain," ujar Salsa.
"Sayang, jangan mulai." peringat Dewa.
"Iya, Mas." ucap Salsa patuh.
"Papah sama Tante Sasa belantem mulu, Laisa capek liatnya," ucap Raisa yang sudah jengah.
Raisa memang baru berumur 3 tahun, dan berbicaranya pun masih cadel. Raisa anak dari Brian dan juga Hana setelah menikah 5 tahun lamanya.
"Maaf ya, sayang." ucap Brian mencium pipi gembul anaknya.
"Ayok, jangan belantem mulu, kita halus telaweh kan,"
"Asstaghfiruallah, ayok cepet. Nanti gak kebagian tempat," ujar Salsa menepuk jidatnya.
•••
"Huh, imam nya lama banget," celetuk Salsa yang sudah duduk di sofa dekat suaminya.
"Iya, sih bener. Lagian kan kalo hari pertama teraweh biasanya Ustad Adnan yang imam. Tapi kalo kebelah sananya Ustad Akil, sih, dek." ucap Brian.
"Kenapa gak Ustad Akil aja, sih, Bang. Yang cepet,"
"Ya, mana Abang tahu, dek."
Semua orang yang ada disini hanya terpelengo melihat kedua adik kakak tersebut. Tadi saja berantem, sekarang malah akrab. Ajaib emang.
"Papah heran deh, tadi aja berantem. Eh, sekarang malah akrab banget," ujar Anton.
"Istirahat dulu, Pah." ucap Brian sembari menutup matanya.
"Nah, bener kata Abang." ucap Salsa.
"Dasar, anak siapa sih?" heran Anton.
"Papah Anton Mamah Ghea!" ucap Brian dan Salsa kompak.
Ajaib! Bisa kompak.
"Hadeh," ucap Anton geleng-geleng.
"Ayok, makan malam dulu." ucap Ghea yang baru keluar dari arah dapur.
"Kuy, Mah. Laper nih," ucap Brian langsung berdiri.
"Salsa, Dewa. Kalian gak ikut makan?" tanya Ghea.
"Duluan aja, Mah. Dewa belum laper," jawab Dewa lembut.
"Kamu, Sal?"
"Sama, soalnya tadi abis makan sate,"
"Yaudah kalo gitu, Mamah duluan, ya."
"Iya, Mah."
Kini tinggal Salsa dan Dewa yang berada di ruang tamu, Salsa memainkan ponselnya sedangkan Dewa sedang membaca-membaca majalah yang ada di atas meja.
"Asaalamualaikum," ucap seseorang dari luar. Dan ternyata itu Reyhan, sahabat Salsa.
"Waalaikumsalam, eh, Han. Masuk,"
Reyhan pun masuk dan duduk disalah satu sofa.
"Ada apa?" tanya Salsa.
"Ini, gue cuman mau ngasih file data kelas 10, coba lo cek. Soalnya kata Pak Bagas ada beberapa siswa yang masuk pake beasiswa, dan itu kelasnya beda." jawab Reyhan.
"Okey, nanti gue cek, Han."
"Makasih, Sal."
"Yoi,"
"Gue cuman mau bilang gitu aja, gue pamit pulang."
"Iya, Han."
"Mari, Bang." pamit Reyhan pada Dewa.
Dewa mengangguk.
"Asaalamualaikum,"
"Waalaikumsalam."
"Reyhan sahabat kamu?"
"Iya Mas."
"Jangan terlalu dekat." peringat Dewa.
"Engga, Mas. Disekolah aja aku jarang sama dia, aku suka sering bareng sama Diva. Mas gak usah cemburu, lagian dia juga udah punya pacar, kok."
"Bukan cemburu. Hanya takut."
"Takut kalo kamu masih mencintai dia, dan berhenti belajar mencintai saya." lanjut Dewa dengan menggunkan kata 'saya' bukan 'aku' lagi.
"Mas, Mas tahu?" tanya Salsa hati-hati.
"Apa yang engga aku tahu dari kamu?"
"Maaf, jangan marah." tunduk Salsa takut melihat mata tajam Dewa.
"Tolong hargai saya sebagai suami kamu. Jangan menatapnya seoalah-olah kamu sangat memuja dia, mencintai dia. Walau memang itu kenyataannya," ucap Dewa emosi.
Salsa bergetar, baru kali ini Dewa memarahinya. Salsa tahu, apa yang tadi dia lakukan salah. Menatap binar mata Reyhan, menunjukkan jika ia memang sangat mencintai laki-laki itu.
Dewa sebagai laki-laki pun tahu, tatapan istrinya itu apa. Ia sangat emosi kala istrinya menatap Reyhan dengan wajah berbinar dan sangat terlihat begitu mencintai. Tapi Salsa bisa apa.
"Maaf," lirih Salsa sudah berlinang air mata. Mukenanya pun sudah basah oleh air matanya sendiri.
"Saya juga tahu, kamu memendam perasaan ke dia sejak dulu. Tidak usah bertanya saya tahu dari mana, tidak penting."
"Maaf, Mas. Demi Allah aku khilaf, aku gak bermaksud buat kamu marah. Dari sebelum kita nikah, aku udah belajar buat lupain dia. Tapi entah kenapa perasaan itu muncul lagi, Mas. Maaf..., aku janji, akan hapus jauh-jauh perasan haram ini." ucap Salsa serak.
"Tidak menutup kemungkinan kamu akan melakukan itu lagi, Salsa."
Untung saja ruang tamu dan dapur sangat jauh letaknya, dan dihalangi oleh ruang tengah. Jadi tidak akan terdengar. Tapi siapa sangka, Ghea sudah mendengar semua pembicaraan Salsa dan Dewa.
Ghea tidak bisa apa-apa, ia hanya diam memdengar putrinya dimarahi oleh Dewa.
Ingin rasanya Ghea menghampiri putrinya, memberikan ketenangan, tapi ia tidak boleh ikut campur. Biar menjadi urusan mereka.
"Maaf, Mas... hiks hiks..."
"Oke, saya pegang janji kamu."
•••