Aku Santi wanita berusia 32 tahun. Ini adalah kisahku.
Semua cinta akan menjadi tidak kekal untuk waktu yang lama. Ada banyak ketakutan dalam hidup, dan hidup dalam bahaya embun pagi.
Dari cinta muncul kesedihan, dari cinta muncul takut kehilangan, dari cinta kita banyak belajar menghargai. Menghargai setiap hembusan nafas yang telah diberikan. Mensyukuri apa yang telah dikasihkan meskipun pahit atau manis sekalipun.
Pada musim panas 2005, aku baru berusia enam belas tahun. Masa dimana bagai bunga yang baru mekar-mekarnya, dimana masa peralihan puber yang pertama.
Siang itu seperti biasa aku tidur siang dengan udara yang begitu panas. Terdengar sebuah suara benda pipih persegi panjang yang ada di atas meja, aku tengok nomor asing tertera dilayar. Beberapa kali berdering karena nomor itu tidak ku kenal.
Aku mengangkat telepon seraya bertanya-tanya dalam hati, "Halo, ini siapa?"
Lama tidak ada jawaban, kembali kutanyakan, " Halo, ini siapa?"
" Halo, aku Panji?" jawab seorang pria dari seberang telepon, suaranya terbata-bata.
"Panji siapa ya? Kok bisa dapat nomorku dari mana?" Aku melontarkan pertanyaan bertubi-tubi.
"Panji teman Hendra," ujar Panji, suaranya sedikit bergetar.
"Kata Hendra dia mengacak nomor, dia mencoba menghubungi dan ternyata bisa." Sambungnya.
"Kok nomorku dikasih ke kamu?" Tanyaku kebingungan.
"Karena aku enggak punya cewek, makanya dia kasih nomornya untukku.
Dalam hati masih bertanya-tanya siapa dia, maunya apa?
"Ah, Cuma nomor salah sambung," kilahku dalam hati.
Waktu menunjukkan pukul dua belas tepat siang itu, tidak terasa perut ini bernyanyi, ingin segera menikmati hidangan yang dimasak oleh nenek. Aku tinggal bersama nenek dari bayi sampai lulus SMP. Karena kesibukan orang tua mencari nafkah mereka menitipkan aku pada nenek. Kata Nenek aku dititipkan olehnya saat masih umur 8 bulan.
Ah, mengapa tidak sadar, sambungan telepon belum berakhir "Eh, udah dulu ya. Aku mau makan siang.
"Ok, besok-besok bolehkah aku telepon lagi?" tanya Panji lirih.
"Boleh," jawabku.
"Ok, ya udah besok disambung lagi," ucapnya mengakhiri panggilan.
Aku meletakan ponsel di atas meja terdengar suara Nenek memanggil beberapa kali.
"Santi," Nenek memanggilku.
"Ya, nek," jawabku.
Aku berlari kecil seraya menghampirinya, "Ada apa nek?"
"Nih tadi dikasih lauk ikan oleh Nenek Sujiah cepetan makan." Beliau berlalu pergi, terlihat punggungnya yang telah menua dimakan usia. Jalannya pun udah tak selincah dulu.
Flashback 🍂🍂
Rumah ini masih terasa sama seperti sebelum Kakek meninggal tahun lalu. Masa kecil yang penuh warna, aku cucu pertama dari keluarga ini semua cinta ditumpahkan padaku.
Ke mana pun Kakek pergi aku selalu diajak, kala lebaran tiba dibonceng memakai sepeda buntut kesayangannya untuk Silahturahmi ke rumah saudara yang berada di kota. Saat sakit cepat-cepat Kakek membawa ke dokter, karena sejak kecil tubuhku tidak seperti anak-anak lainnya.
Kakekku bekerja serabutan kadang diminta untuk mengecat tembok sekolah, tiap dia ke sekolah aku diam-diam menghampiri meminta uang saku tambahan. Meski Hanya dua puluh perak tapi aku sudah senang. Dulu uang segitu udah banyak apalagi pendapatan saat itu tidak seberapa.
Tubuh tua yang sudah sakit-sakitan tidak lagi selincah dulu. 2004 saat musim panas ia menghembuskan nafas terakhirnya tanpa sepengetahuanku. Waktu itu aku sedang belajar di kamar tapi ketiduran semua orang mencariku.
Tertidur seperti orang menelan obat tidur, suara dari luar tidak terdengar sedikit pun. Dan akhirnya paman adik tiri ibu menemukanku sedang tidur di kamar. Ketika melihat raut wajahnya benar-benar marah, berusaha menjelaskan tapi tak ada gunanya.
Setelah aku tahu kakekku udah tidak ada, pergilah ke kamarnya antara sadar dan tidak aku menangis sejadi-jadinya. Orang yang sejak kecil merawatku pergi untuk selamanya.
Malam itu suasananya mencekam burung hantu bernyanyi ria, bersahutan. Aku duduk di depan rumah melamun sendiri, terdengar sebuah jeritan di belakang aku menghampiri arah suara itu , Aku pun bertanya padanya, " Ada apa Tante?" Tanyaku
"Ada dua ular di pintu sebelah kiri dan kanan." Katanya
Sedikit rasa kaget ketika Tanteku mengatakan itu, mana mungkin ada ular. Tapi rasa kagetku bukan malam ini saja tapi keesokan malamnya juga aku melihatnya.
Mungkin Kakek menginginkan untuk melepaskan kepergiannya. Ia tak ingin melihat keluarga yang ditinggalkannya larut dalam kesedihan. Pukulan berat bagiku karena aku cucu yang paling disayangi.
Sebuah kata rasional yang pernah kudengar, "Tidak ada yang bisa hidup selamanya, dan tidak ada yang bisa bertahan selamanya."
"Hidup hanya lah hal yang sesaat, dan kematian juga merupakan hal yang sesaat."
Jodoh mati sudah ada yang mengatur tinggal kita bagaimana menyikapinya.
Flashback 🍂🍂
"Santi!" suara panggilan dari Nenek, memecahkan lamunanku.
"Iya nek," jawabku
"Kamu sudah makan?" tanya Nenek cemas.
"Belum, Nek," jawabku lagi.
"Cepetan makan, entar habis makan ambil air !" Perintahnya karena rumahku tidak mempunyai sumur sendiri. Jadi ambil air di sumur milik tetangga.
"Iya nek" jawabku.
Segera aku mengambil piring ,nasi dan lauknya yang tadi di kasih nenek Sujiah. Aku cepat-cepat melahap nasi di piring.
Tiba-tiba beda persegi panjang didekat-Ku berbunyi lagi Tit..tit..tit tiga kali tertera nomor yang sama.
Kulihat sebuah pesan singkat tertulis dilayar hand phone.
"Sudah selesai makan." Katanya.
"Udah." Dalam pikiranku apa yang diinginkan orang ini.
Malam itu setelah mandi dan makan aku duduk di teras rumah ngobrol ke sana-kemari bersama nenek. Dari dalam rumah suami tanteku memanggil.
"Santi, kamu mau sekolah dimana?" Tanyanya
"SMKN 3" kataku.
Sebuah sekolah kejuruan ternama dikotakku.
"Mau ambil jurusan apa?" Tanyanya lagi.
"Jurusan Perhotelan" jawabku.
"Oh!" Sebuah kata terlontar dari mulutnya.
"Kapan mau daftar? Entar aku antar." Tanyanya lagi maklum Cuma dia laki-laki di rumah.
"Mungkin pertengahan Minggu depan soalnya ijazahnya belum dikasihkan." Kataku
Benda persegi panjang itu berbunyi lagi pesan masih dengan nomor yang sama.
Kata malam tertulis dilayar hand phone Cuma kubaca tanpa ku balas. Hand phone bergetar kedua kalinya tertulis sebuah kata "kok gak dibalas."
Hand phone bergetar ketiga kalinya bukan lagi pesan pendek yang ia kirim melainkan sebuah panggilan telefon.
Tit..tit..tit panggilan telefon itu.
"Halo." Kata orang di seberang sana.
"Halo." Jawabku.
"Kenapa gak diangkat, sibuk ya?" Tanyanya.
"Tadi gak kedengaran." Timpalku pura-pura tidak tahu.
"Udah makan belum?" Tanyanya lagi.
"Gimana denganmu?" Aku balik bertanya.
Basa-basi itu pun berlanjut sampai dia menanyakan umurku.
"Maaf, boleh bertanya gak." Dengan suara sedikit bergetar.
"Silakan, mau tanya apa?" Dalam pikiranku sedikit bertanya apa yang mau ditanyakan.
"Umurmu berapa?" Tanyanya.
"Aku 16 tahun, kamu?" Tanyaku balik.
"23 tahun." Jawabnya.
"Tak kira udah 30-an." Kataku dengan sedikit kurang percaya.
"Benaran baru 23 tahun." Tegasnya.
Ternyata suara bisa mengelabui umur, suara itu terdengar sudah dewasa tapi ternyata umurnya masih dibilang baru mekar.
Setelah sekian lama perkenalan yang dimulai dari salah nomor Hp itu kemudian berlanjut menjadi persahabatan yang menyenangkan. Ada orang yang bilang persahabatan adalah cinta yang tak terlihat selalu ada perasaan yang terlibat didalamnya. Seorang ayah adalah harta karun, saudara adalah penghiburan, tetapi seorang teman adalah keduanya. Seorang teman adalah orang yang percaya padamu ketika tidak lagi percaya pada diri sendiri. Seorang teman adalah seseorang yang memahami masa lalumu, percaya pada masa depanmu, dan menerima Anda apa adanya. Teman sejati; tahu kelemahan Anda tetapi menunjukkan kekuatanmu; Rasakan ketakutanmu tetapi kuatkan imanmu; Melihat kecemasanmu tetapi membebaskan semangatmu; Mengakui kecacatan Anda tetapi menekankan kemungkinanmu. F.R.I.E.N.D.S. Berjuang untukmu, menghormatimu, mendorongmu, membutuhkanmu, layak untukmu, berdiri di sisimu. Karenamu, aku tertawa sedikit lebih keras, menangis lebih sedikit, dan lebih banyak tersenyum. Teman adalah bahan terpenting dalam resep hidup ini. Hidup tanpa teman adalah hidup tanpa matahari.