Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Mrs. Congeniality {IND}

AidaHanabi
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.5k
Views
Synopsis
Calya, sebuah nama yang berarti "sempurna tanpa cacat", dan juga memiliki arti lain yaitu "Anugerah dari Tuhan", yang seharusnya menjadi sebuah makna serta doa untuk sang pemegang nama. Namun tidak untuk Calya sendiri. Bagi Calya, namanya hampir seperti sebuah lelucon belaka. Bagaimana tidak? Nama itu hanya sebuah pemberian tanpa arti untuk dirinya dikala itu. Nama yang hanya kebetulan saja diberikan padanya. Tak seperti namanya, ia Calya, hanya seorang wanita yang bukan siapa-siapa, bahkan penuh kecacatan. Ia awalnya terlahir dalam sebuah keluarga kecil sederhana yang sempurna. Memiliki orang tua yang tampak begitu menantikan kehadiran dirinya. Akan tetapi semua itu berubah .... Kehadirannya kini hanyalah sebuah noda hitam dalam catatan kehidupan mereka, yang kini tak diharapkan oleh siapa pun. Bertahun-tahun, Calya mencoba bertahan, hingga harus melawan kerasnya roda kehidupan, bahkan hidup seperti sampah dan tikus, namun kini ia lelah. Yang Calya inginkan hanyalah sebuah kehangatan. Sebuah kehangatan yang bisa menghangatkan hati dan jiwanya. Sebuah tempat dan apa yang bisa disebut "keluarga". Jika ia dapat memilih, atau jika Tuhan memberikan dia kesempatan untuk memilih, ia ingin terlahir di tempat di mana ia bisa bertemu orang-orang yang dapat menerima dirinya serta mencintainya dengan tulus. Ia akan menjaga semua itu. "Kuharap … saat kupejamkan mata ini, aku setidaknya dapat bermimpi indah malam ini."
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1 - Calya

Di tengah gemerlapnya malam, di sebuah sudut perkotaan, terdapat tempat yang begitu bertolak belakang dengan gambaran sebuah perkotaan megah yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Di sudut kota itu, terdapat sebuah gang kecil yang kotor dan gelap, dengan deretan rumah-rumah kumuh yang bobrok.

Di lorong gang ini, tampak seorang wanita tengah berjalan melewati malam yang dingin dan gelap ini, dengan hanya mengenakan sepotong pakaian pendek dan seksi. Pakai itu bahkan tak cukup untuk menghangatkan tubuhnya, namun ia tak peduli dan terus berjalan hingga mencapai suatu rumah kecil di sudut gang.

Ya, wanita itu tak lain adalah diriku, Calya, yang baru pulang selepas kerja dan rumah kumuh kecil di sudut gang kotor ini merupakan rumahku. Rumah sewaan tepatnya. Satu-satunya tempat yang kumiliki untuk melepas penat.

Membuka kunci pintu, aku pun melangkah masuk. Di dalam, tak ada barang apa pun yang tampak mengesankan apalagi berharga. Hanya beberapa perabot tua yang sudah usang dan rusak. Rumah kecil ini hanya terbagi menjadi ruang luar, tempat yang hampir tak bisa disebut ruang tamu, yang mana juga bergabung dengan area dapur yang cukup sempit. Lalu kamar tidur kecil serta kamar mandi yang tak kalah sesaknya.

Aku berjalan ke kamarku, lalu kuletakkan tas serta barang bawaanku. Kemudian mandi dan berganti pakaian. Setelah semua itu, aku lalu duduk dia di kasur usangku dan menatap kosong dinding. Entah apa yang sebenarnya kupikirkan. Aku sendiri pun tak tahu.

Aku terus diam seperti untuk beberapa saat, sebelum diriku tersadar dari lamunan kosongku.

Menghela napas, aku bangkit, kembali ke ruang luar sebelum mengunci pintu dan kembali lagi ke kamar.

Kali ini diriku rebahkan tubuh ini di kasur kecilku sambil berpikir, di mana letak salahnya, hingga aku bisa berada titik terpuruk ini?

Apakah ini memang sudah takdirku? Terlahir hanya untuk jadi seorang pel*cur, wanita sampah di mata masyarakat.

Seketika kurasakan mataku mulai basah dan berair. Aku benar-benar tidak tahu di mana letak kesalahannya. Mengapa diriku kini berakhir jadi seperti sekarang ini.

Aku, Calya, wanita yang kini akan berusia 25 tahun setelah malam ini. Diriku mulanya hanya gadis biasa, sebelum harus masuk ke dalam lingkaran setan ini.

Calya, itulah nama yang diberikan padaku oleh kedua orang tuaku, yang awalnya begitu menantikan kehadiran sang buah hati mereka. Mereka namai aku Calya, dengan harapan agar aku kelak menjadi sosok wanita sempurna tanpa cacat, namun juga sebuah anugerah dari Tuhan.

Tetapi bak lelucon, kebahagiaan itu sirna dalam sekejap mata, setelah konflik antara ibu dan ayahku meledak. Kehangatan yang baru saja kurasakan berangsur-angsur menghilang, menyisakan hubungan dingin yang seharusnya tak pernah terjadi dalam keluarga harmonis ini. Setidaknya itulah yang orang-orang pikirkan.

Semua bermula saat ibu mendapati adanya sebuah noda mirip lipstik di kerah kemaja ayah.

Awalnya ibu tak pernah mau menaruh curiga, tetapi beliau juga tak bisa menekan rasa cemas serta keraguan yang timbul dari intuisinya. Namun, sekali kecurigaan serta keraguan itu tumbuh, mereka tak akan mati atau menghilang, malah akan semakin tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Terlebih jika kecurigaan itu tak ditampik begitu saja serta kuatnya bukti-bukti yang memperkuat intuisi seorang wanita, yang juga merupakan seorang istri.

Dengan semua gelagat aneh dan janggal yang ayah tunjukkan, hal itu hanya semakin memperparah keadaan. Ibu yang semula berusaha tetap percaya pada ayah, dan tak pernah mengungkit-ungkit soal noda merah itu, dengan harapan ayah akan mengatakannya sendiri pun, akhirnya tak tahan. Ibu mulai perlahan-lahan mengungkit soal itu. Baik secara langsung maupun tersirat. Akan tetapi ayah selalu punya seribu satu alasan. Mungkin yang pertama masih masuk akal, namun jika ada yang berikutnya? Kedua dan ketiga serta seterusnya?

Semakin ibu perhatian, semakin banyak kejanggalan yang beliau temukan. Semakin lama rasa ragu serta curiga itu dibiarkan, maka semakin besar luapan emosinya. Mereka berdua mulai beradu mulut hingga ayah sering mengatakan bahwa ibu terlalu curigaan dan terus menuding suaminya berselingkuh.

Pertengkaran itu kian hari semakin menjadi-jadi, sampai ayah akhirnya bermain tangan. Ibu hampir tak percaya dan tak dapat menerima fakta, bahwa suami tercintanya yang selama ini lembut dan penyayang malah berani menamparnya.

Tak tanggung-tanggung, tamparan itu cukup keras, sampai-sampai membuat pipi ibu bengkak dan merah. Rasa sakit yang bercampur kemarahan lalu menyelimuti ibu. Ini membuatnya terluka, seakan-akan harga dirinya telah diinjak-injak.

Semenjak saat itu hubungan keduanya semakin dingin. Begitu juga perlakuan mereka padaku. Aku hanya bisa menangis dan merengek ketika mereka berdua bertengkar hebat. Tangisanku mungkin memperburuk suasana hati mereka. Apa boleh buat? Aku saat itu hanyalah seorang balita kecil yang bahkan tak terlalu mengerti banyak selain fakta jika kedua orang di depanku itu bertengkar bukanlah hal yang baik.

Perasaan yabg saat itu kurasakan sebagai seorang anak yang masih begitu kecil hanyalah rasa takut. Takut akan kehilangan mereka berdua.

Ayah yang dulu masih menyapa setiap pulang, tak pernah lagi melirikku sedikit pun. Ia akan langsung melangkah pergi, tak peduli apa tingkah lucu atau menarik yang aku lakukan demi mendapatkan perhatiannya. Begitu juga ibu.

Ibu semula masih berusaha tetap ramah kepadaku, selayaknya seorang ibu seharusnya. Akan tetapi, lambat-laun ibu juga mulai berubah. Ibu yang tadinya selalu senang tersenyum setiap melihatku, kini akan memasang tampang kesal bahkan jijik saat aku ingin mendekat untuk mendapatkan perhatian serta kasih sayangnya.

Beliau mulai melampiaskan kekesalannya padaku. Dari hanya berkeluh-kesah hingga akhirnya ibu juga bermain fisik padaku. Semakin aku menangis, semakin gila ibu memukuliku.

Aku yang periang lalu menjadi anak pemurung yang selalu duduk dian membisu di sudut ruang dan sesekali terisak dalam kesunyian. Namun di luar, aku akan terus berusaha terlihat bahagia sebagai anak-anak seusiaku seharusnya. Hal itu kulakukan agar ibu tidak menjadi lebih marah.

kupikir, dengan melakukan itu ibu akan kembali menyukaiku lagi. Seperti saat aku lahir dan saat-saat aku masih bayi dulu. Tetapi ternyata aku salah.

Tidak peduli apa pun yang aku lakukan, semua itu tak akan pernah berarti baginya. Di mata ibu, apa pun yang aku perbuat itu selalu salah dan tak pernah ada yang benar. Tak peduli seberapa keras aku mencoba, ia tak akan pernah memandang semua itu.

Lalu suatu hari, ibu tak sengaja memergoki ayah yang tengah berjalan dengan seorang wanita dan juga seorang anak lelaki yang tampak masih seumuran denganku. Bagai disambar petir, kenyataan bahwa suaminya sungguh telah berselingkuh, sampai bahkan membuahkan seorang anak lelaki yang hanya terpaut setahun lebih muda dariku, merupakan sebuah hantaman hebat pada kondisi kejiwaan ibu.

Ibu benar-benar jadi gila dan hampir saja mencelakakan dirinya sendiri maupun sang selingkuhan ayah dan anak haramnya. Sementara ayah sendiri malah lebih membela dan melindungi kekasih gelapnya itu.

Aksi tersebut tentu sekali lagi menjadi sebuah tamparan pada harga diri ibu sebagai seorang wanita yang juga merupakan istri sah ayah.

Meraka beradu argumentasi dan ayah berdalih bahwa ibulah yang memperumit semua ini. Ia bilang jika dirinya semula tak pernah ada niat mendua.

Ya, mungkin dulunya memang, tetapi sekarang tidak. Entah ayah berselingkuh sejak dulu atau tidak, hanya ayah sendirilah yang tahu kebenaran akan semua itu. Namun dengan keberadaan anak kecil lelaki yang setahun lebih muda dariku itu sudah bisa jadi sebuah bukit kuat.

Selama hubungan panjang yang beracun ini berlangsung, ibu tak jarang suka mengatakan padaku, 'jika saja kamu anak laki-laki, pasti ayahmu tak akan pernah berpikir untuk mencari wanita lain.'

Ya, ibu selalu suka melontarkan kata-kata yang menyudutkan diriku, yang menjadi diriku penyebab semua ini. Seolah-olah karena diriku lah ayah mencampakkan ibu dan mencari kekasih baru demi memperoleh seorang anak laki-laki.

Semua itu terus berlangsung sampai mereka akhirnya memutuskan untuk mengakhiri semua hubungan yang menyiksa ini.

Hak asuh atas diriku jatuh pada ibu, namun ibu tak sepenuhnya mau merawatku. Karena baginya, aku sama saja seperti ayah. Wajahku selalu mengingatkan ibu padanya. Diriku lebih dominan mewarisi gen ayahku ketimbang gen ibu, khusus secara fisik, yang mana semakin membuat ibu membenci diriku.

'Kamu terlalu mirip ayahmu,' itulah yang selalu ibu ucapkan kepadaku. 'Sifat kalian berdua sama saja! Dasar ayah dan anak! Kalian sama buruknya!'

Meski aku selalu menepis semua itu, namun ucapan ibu yang terus-menerus terlontar berulang kali itu bak mantra yang secara tidak langsung merasuki alam bawah sadarku dan tertanam di sana. Jadi, meski aku tahu itu tidak benar dan selalu berusaha menekankan bahwa diriku adalah diriku, dan ayah adalah ayah. Kami dua orang yang berbeda dan tak sepenuhnya sama. Meski aku berusaha memercayai diriku sendiri dan mencoba membuktikannya, aku pun mau tak mau mulai menganggap bahwa apa yang beliau katakan itu benar, terlebih saat kusadari ada persamaan antara diriku dan ayah. Baik dari segi sifat, paras serta gestur tubuh kami. Hal ini mulai membuatku takut. Takut akan diriku sendiri, takut akan beberapa fakta itu, sehingga aku juga mulai membenci diriku sendiri.

"Hahahaha ...." Aku tahu aku tak seharusnya seperti itu. Aku tahu aku seharusnya mencintai diriku sendiri jika ingin orang lain mencintaiku sebelum mencintai orang lain. Tetapi apa daya, itu bukanlah perkara mudah. Apalagi racun pikiran ini telah lama ditancapkan dan berulang kali dipupuki hingga menjadi sebuah bibit yang tumbuh subur dalam alam bawah sadarku. Sesuatu yang sulit dan tak mudah kulawan.

'Aku adalah aku! Aku adalah diriku sendiri, bukan Ayah! Tidak, Ibu salah! Kami tidak sama, Ibu! Aku anakmu bukan suamimu! Kami berbeda! Kami orang yang berbeda!' jerit batinku pada ibu, tiap kali ia menuduhkan semua itu.

Merasa lelah, diriku pun memilih untuk tidak memikirkan semua kenangan telah menjadi beban pikiranku selama ini dan membuangnya jauh-jauh malam ini, lalu beristirahat. Bersiap menghadapi hari esok, yang mungkin akan jadi satu hari melelahkan lainnya.

'Kuharap … begitu kupejamkan mata, aku setidaknya dapat bermimpi indah malam ini,' pinta batinku.

________________________

Author: Aida Hanabi

-----------------------------------

Support the author:

https://karyakarsa.com/aidahanabi

https://ko-fi.com/aida_hanabi

https://trakteer.id/aidahanabi

https://www.paypal.me/aidahanabi

-----------------------------------

Discord link

https://discord.gg/pdgv65wXbG

-----------------------------------

Instagram: Aida_Hanabi