Ah, rumah sakit adalah tempat yang akan selalu ramai, seharusnya Andra sudah mempersiapkan diri dengan kegaduhan yang tercipta di IGD saat ini. Bagian terpenting dalam rumah sakit itu rupanya baru saja kedatangan korban kecelakaan yang cukup parah, saat tak sengaja berpapasan dengannya tadi, Andra bisa melihat dengan jelas pendarahan yang terjadi di kepala korban. Ia dan beberapa orang lainnya sejenak termangu pada situasi, melihat para petugas medis yang cekatan sibuk memberikan pertolongan, terlihat sangat berkompeten dan mirip dengan adegan di televisi yang sering bibinya tonton. Dari cerita-cerita yang tak sengaja ia dengar, rupanya kecelakaan antar pengendara motor itu terjadi di dekat kampusnya. Andra bergidik ngeri, untung saja ia absen ke kampus hari ini.
Tapi, tujuan utamanya datang ke rumah sakit bukan untuk melihat korban kecelakaan itu. Andra menepuk dahinya sendiri karena tersadar dengan niatnya, ia membubarkan diri dari barisan penonton dan pergi. Sang bibi, atau biasa ia panggil Budhe Nani. Pagi tadi dilarikan ke rumah sakit akibat terjatuh dari tangga, bukan tangga rumah, tapi tangga yang digunakan untuk memasang lampu atau benda tinggi lainnya. Tidak tahu juga apa yang dilakukan budhenya sehingga harus naik-naik tangga. Padahal wanita setengah baya itu sering mengeluh sakit di lututnya.
Barisan kamar perawatan di IGD itu penuh, dan Andra tidak tahu yang mana budhenya berada. Beberapa kamar ditutup tirai penyekat berwarna putih, rasanya tidak mungkin jika harus membukanya satu-persatu. Takutnya pasien di dalam sedang istirahat dan terganggu.
"Duh, budhe, yang mana ini." keluh Andra sambil menggaruk kepalanya, berdiri cengo di depan kamar perawatan.
"Apa buka satu-satu ya?" gumannya, "Eh, jangan ah, gak enak kalo salah orang."
"Ada yang bisa dibantu, mas?"
Andra menoleh, ia tersenyum cerah mendapati seorang perawat menghampirinya. Pemuda itu pun mengangguk, "Iya, mau cari budhe saya. Namanya Nani Suningsih, sus, tadi pagi dibawa ke rumah sakit karena patah tulang."
Sang perawat pun mengangguk dan membimbing Andra menuju orang yang ingin ia temui, rupanya di kamar paling pojok dekat tembok dan jendela. Saat ia membuka tirainya, sang budhe tengah asik menonton serial drama kesukaannya di ponsel sambil tertawa kecil. Wanita setengah baya itu tidak menghiraukan kedatangan Andra dengan wajah panik, bagaimana tidak panik saat melihat budhe sendiri tangannya dipasang gips dan digendong, tapi tetap nekat menonton drama bukannya istirahat.
"Budhe? Budhe kok nonton film?"
"Memangnya kenapa?"
"Ya, budhe kan seharusnya istirahat."
"Dari tadi juga istirahat, memangnya budhe ini sedang mencangkul apa."
Andra menghela napas pelan, orang tua satu-satunya di Jakarta itu selalu keras kepala dan tidak suka diatur. Tapi apa mau dikata, mungkin juga budhenya bosan sejak pagi hanya berbaring di kamar perawatan. "Budhe sudah makan? Mau dibelikan apa untuk makan siang?"
Wanita itu tampak berpikir sebelum akhirnya menggeleng, "Tidak perlu, Ndra, tadi sudah makan. Dapat jatah makanan dari rumah sakit. Tapi kalau kamu memaksa membelikan ya tidak apa-apa, nasi goreng kayaknya enak sama minumnya jus ya. Di rumah sakit panas banget, IGD gak ada ACnya apa ya."
"Ada kok, budhe. Cuma kamarnya di pojok jadi gak kena AC, jendelanya mau dibuka aja?"
"Iya boleh deh."
Andra pun bangkit untuk membuka jendela itu, jendela berdebu dan engselnya sedikit berkarat, mungkin juga karena jarang dibuka. Setelah berpamitan, pemuda itu melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit untuk mencari kantin, sekalipun tidak tahu juga dimana kantinnya berada. Pemuda itu hanya mengikuti penanda arah yang ada, itu pun tidak banyak membantu karena sudah berputar-putar tetap belum ketemu. Maklum saja, ini kali pertama Andra menginjakkan kaki di rumah sakit besar itu, padahal selalu melewatinya saat hendak pergi ke kampus tapi baru kali ini masuk.
Andra Bagaskara, pemuda semester akhir jurusan teknik elektro itu merantau ke ibukota untuk menimba ilmu. Padahal banyak kota dengan universitas yang baik di dekat kota tempat tinggalnya, tapi Andra memilih Jakarta dengan embel-embel ingin hidup mandiri. Yang tidak sepenuhnya mandiri karena pemuda itu masih mengandalkan uang bulanan dari kedua orang tuanya, beruntung di Jakarta ada budhenya, jadi saat Andra tidak punya cukup uang untuk makan, ada rumah budhe yang menjadi destinasi terakhir. Sepupunya juga berada satu kampus dengannya, tapi berbeda jurusan dan semester, namanya Deni.
Seharusnya, Andra mulai menyusun skripsinya dengan serius tahun ini agar tahun depan bisa wisuda, dan menyandang gelar sarjana. Seperti harapan kedua orang tuanya. Tapi tidak dengan keinginan Andra, salah satu anggota Mapala itu sudah merencanakan diri untuk ikut serta dalam sebuah ekspedisi besar mendaki puncak Jayawijaya di Papua. Sebuah mimpi yang ia rangkai sejak kecil, Andra ingin sekali menapakkan kakinya di satu-satunya puncak gunung berselimut salju di tanah air. Sayangnya, biaya untuk ikut ekspedisi itu sangat mahal, itu wajar mengingat akses yang sulit dan mereka juga akan menetap disana untuk beberapa hari.
Melalui diskusi pelik dengan kedua orang tuanya, Andra diperbolehkan ikut dengan syarat mereka tidak akan memberikan sepeserpun uang untuk ekspedisi itu. Silahkan pergi asalkan uangnya cari sendiri, begitu kata sang ibu. Tidak masalah untuk semester akhir yang tertunda, mereka bisa memahami impian putranya yang sudah mereka tahu sejak kecil. Tapi untuk membiayai ekpedisi, mereka tidak akan sanggup untuk membayarnya.
"Permisi, boleh tanya?"
"Iya?" Seorang gadis dengan baju pasien itu menoleh sambil mengerutkan keningnya, menggeser tiang infus dan mendekat pada Andra. "Ada apa, kak?"
"Kalau mau ke kantin lewat mana ya, saya sudah muter-muter dari tadi tapi gak ketemu."
"Oo, mau ke kantin ya." Ulangnya, "Kebetulan saya juga mau kesana, ikut saja."
"Eh, iya kalau begitu."
Andra pun mengikuti langkah gadis itu menuju ke koridor yang berlawan arah ia datang, gadis berwajah pucat yang sebenarnya sangat cantik. Terlihat pucat saja dia masih cantik, apalagi dalam mode baik-baik saja, pasti jauh lebih menawan. Gadis itu memiliki rambut sebahu dan bergelombang, ia tidak terlalu tinggi dan kurus, wajahnya bulat dengan kelopak mata indah. Andra jadi bertanya-tanya sakit apakah gadis itu, sehingga ia harus berjalan sambil membawa tiang infus.
Langkah keduanya sampai di bagian rumah sakit itu yang bernama kantin, disana juga sangat ramai karena bertepatan dengan jam makan siang. Tak hanya pengunjung dan pasien, tapi juga beberapa tenaga medis hadir untuk mengisi perut mereka. "Sudah sampai." ujarnya.
"Eh, iya. Terima kasih." balas Andra, "Kamu juga mau beli makanan?"
"Iya kak, mau beli susu."
Andra menoleh ke kanan dan ke kiri, kantin ini terlalu ramai. Ia jadi tidak tega membiarkan gadis cantik berwajah pucat itu harus mengantre lama, Andra pun membimbingnya untuk duduk. "Kamu tunggu sini aja, biar aku yang belikan. Hanya susu saja? Ada yang lain lagi?"
"Apa tidak masalah?"
"Oh ya jelas tidak." Ujar Andra disertai senyum secerah mentari. "Ini sebagai tanda terima kasih sudah mengantar saya ke kantin."
"Kalau begitu aku mau susu dan donat."
"Oke, kamu tunggu disini ya."
Gadis itu duduk dan menunggu, sesekali ia mencuri pandang pada Andra. Dia juga lelah berjalan dari kamarnya sampai di kantin, belum lagi harus membawa tiang infus yang merepotkan. Melihat Andra mengantre, lalu sibuk mengatakan pesanannya kepada penjaga kantin, gadis itu tersenyum hangat. Pemuda yang tidak ia kenal itu terlihat ramah dan bisa diandalkan, pasti menyenangkan memiliki orang terkasih sepertinya.