Dalam bangunan bertingkat tiga itu, ruangan yang begitu luas di dalamnya, Tania berdiam seorang diri disana.
Ridwan dan Santi belum kembali sejak pertengkaran mereka pagi kemarin, entah kemana mereka pergi yang jelas mereka meninggalkan Tania begitu saja.
Tania tak henti meratapi kehidupannya sekarang, salahkah jika Tania merasa kalau kehidupannya itu memang gelap.
Tak pernah ada warna indah yang hadir dalam kehidupannya, semua hanyalah gelap, bahkan untuk abu-abu sekali pun Tania tidak pernah merasakannya.
Di rumah itu memang tidak ada ART, sudah banyak sekali ART yang keluar masuk rumah itu, mereka menyerah dan mengundrukan diri karena tidak kuat dengan keributan yang kerap terjadi.
Tania tersenyum miris mengingat semuanya, mereka bebas datang dan pergi, tapi kenapa Tania begitu sulit untuk pergi meninggalkan semua ini.
Tania enggan meninggalkan kedua orang tuanya, Tania takut kalau saja mereka akan berbuat nekad ketika bertengkar.
Tania tahu, luapan kemarahan meraka sering kali diluar batas, dan Tania tidak ingin terjadi hal yang lebih buruk lagi dari pertengkaran itu.
(Dreeettttt) Tania menoleh dan meraih ponselnya yang bergetar, Tania melihat pesan masuk ke ponselnya.
Tanpa berfikir, Tania membukanya dan membacanya dengan hati-hati.
Itu adalah pesan dari teman baiknya, Tania memiliki satu teman baik namanya Stepi.
Stepi sekarang berada di luar negeri, sehingga tidak bisa menemani Tania disaat seperti ini.
Tapi meski pun jauh, mereka selalu berusaha ada satu sama lain, saling suport meski tidak bisa bertemu secara langsung.
Tania tersenyum membacanya, kali ini sangatlah membahagiakan pesan yang diterima Tania.
Karena ternyata dua hari lagi, Stepi akan kembali ke Bali, mereka akan bisa bertemu dan bersama lagi.
Setidaknya akan ada pundak untuk Tania bersandar ditengah kekacauannya seperti saat ini, Stepi adalah satu-satunya tujuan Tania setiap kali keributan terjadi antara orang tuanya.
Karena memang hanya Stepi yang bisa mengerti tentang hal itu, memang banyak teman Tania, tetapi hanya satu saja yang benar-benar bisa mengerti Tania dan itu adalah Stepi.
Tania membalas pesannya dengan semangat, rasanya sudah tidak sabar menanti kepulangan Stepi esok lusa.
Tania akan sangat bahagia ketika bisa bertemu dan memeluk Stepi dengan nyata, pelariannya akan segera kembali dan Tania senang dengan itu.
"Tania"
Tania menoleh seraya menyimpan kembali ponselnya, Tania bangkit dari duduknya saat melihat Santi yang berjalan kearahnya.
"Mamah"
"Kamu sedang apa"
Tania tak menjawab, Tania memilih memeluk Santi ketika wanita itu telah ada di hadapannya.
"Maaf ya, mamah meninggalkan kamu begitu saja, jangan marah"
Tania menggeleng, memangnya akan berguna kalau memang Tania marah.
Bukankah kemarahan dan kekecewaan Tania tidak pernah ada artinya, anggap saja Tania tidak memiliki hati dan tidak bisa merasakan apa pun juga
"Kamu sudah makan ?"
Tania kembali menggeleng, siapa yang siapkan sarapan, bukankah ART sudah pamit sejak minggu lalu.
"Makan sama mamah ya, mamah beli makan buat kamu"
Tania melepaskan pelukannya dan mengangguk setuju, keduanya lantas berjalan ke ruang makan, Santi menyiapkan semuanya untuk mereka berdua.
"Ayo makan sayang"
Tania tersenyum dan mulai melahap makanan yang dibelikan Santi, ingin sekali Tania bertanya tentang keberadaan ayahnya sekarang.
Tapi Tania takut akan membuat kacau lagi keadaannya, mungkin Santi akan marah jika Tania mempertanyakan Ridwan sekarang.
Tania memejamkan matanya sesaat, sekarang bersyukurlah karena Tania tidak lagi sendiri.
Santi telah kembali pulang, meski Tania tidak bisa melihat Ridwan, Tania akan tetap berdoa semoga Ridwan akan tetap baik-baik saja dimana pun Riwan sekarang.
"Kamu tidak main ?"
"Tidak, mamah tahu .... Stepi akan pulang lusa"
"Oh iya ?"
"Iya, tadi Stepi kirim pesan"
"Bagus dong, kamu kan sudah sangat merindukannya"
"Tentu saja, aku sangat merindukannya"
Keduanya tersenyum bersamaan, ketika berdua seperti ini Tania memang merasa ketenangan, dan kasih sayang Santi pun mampu Tania rasakan.
Tapi kenapa setiap kali mereka berkumpul betiga, suasananya selalu saja panas.
Tania masih tidak bisa mengerti dengan semua itu, entah kenapa dan entah harus bagaimana agar Tania bisa mendapatkan ketenangan diantara mereka berdua.
Tania merindukan masa kecilnya yang masih mampu merasakan kehangatan dari kedua orang tuanya, tidak seprti sekarang Tania hanya mendapat kekecewaan dari mereka berdua.
Tania selalu berusaha mencari tahu sebab pertengkaran mereka tapi tidak pernah ada hasil, mereka menutup semuanya dengan sangat rapat sampai Tania pun tidak bisa membukanya.
Tapi Tania tidak akan menyerah, dengan cara apa pum Tania akan tetap berusaha untuk bisa mendamaikan orang tuanya.
Bukankah mereka bersatu kerena cinta, lalu kemana cinta itu sekarang.
Kenapa yang terlihat hanyalah kebencian, Tania tidak suka dengan itu, Tania benci keadaan itu.
Pertengakaran mereka sangat membuat sedih Tania, pertengakaran meraka kerap kali membuat Tania takut untuk menjalani hidupnya dimasa depan.
Tania yakin seiring berjalannya waktu, kehidupan Tania juga akan berubah, akan ada saatnya dimana Tania harus melangkah lebih jauh lagi.
Mencari dan mendapatkan pendamping hidup, bukankah tidak mungkin jika Tania akan selamanya bersama orang tuanya.
Tania harus bisa melanjutksn hidupnya dengan lebih baik, mencari pasangan terbaik untuk dirinya di masa depan.
Tapi sekarang Tania takut dengan hal itu, Tania takut kalau samlai mendapat pasangan yang keras seperti ayahnya.
Tania tidak ingin dianggap egois oleh suami dan anaknya nanti, Tania memimpikan kehidupan damai jika berkeluarga nanti.
Tania belum tahu harus dengan cara apa Tania bisa memilih lelaki yang baik, karena dalam penglihatan Tania, Ridwan adalah lelaki baik, tapi ternyata tidak.
Ridwan kasar dan terlalu keras pada Santi, Ridwan juga sering kali membuat Santi menangis karena ucapan dan tingkah lakunya.
Tania takut dengan hal itu, bagaimana kalau nanti Tania juga mendapat lelaki untuk pendampingnya yang seperti Ridwan.
Sudah pasti tidak akan ada kedamaian dalam hidup Tania selama bersamanya, sama halnya dengan kehidupan orang tuanya sekarang.
Hari-hari mereka selalu saja diisi dengan pertengkaran dan pertengkaran saja, seperti tak ada celah intuk mereka berdamai meski hanya sehari saja.
"Habiskan ya makanannya"
"Iya dong, enak ini mamah beli dimana ?"
"Ada tadi di jalan, mampir warung makan"
"Nanti beli lagi ya, aku suka"
"Ok, nanti kita beli lagi ya, sekarang kamu habiskan dulu yang sudah ada"
"Siap, pasti habis mamah tenang saja"
"Mamah tahu kamu banyak kalau makan, makanya mamah belinya banyak"
Tania mengangguk pasti membenarkan ucapan Santi, biarlah Tania menikmati kebersamaan yang ada saat ini.
Tanpa memikirkan hal lain yang mungkin akan menggangu ketenangannya saat ini, Santi juga terlihat baik-baik aja sekarang, jadi Tania harus bisa menjaga mood baik itu agar tetap ada.