Buku kecil yang awalnya berada pada tangan kanan Barata kini sudah melayang bebas diudara. Terjatuh pada meja besar dihadapannya, Barata terlihat kesal.
Mengambil telepon yang terletak diatas meja, menekan nomor. Kemudian Barata terlihat mendekatkan telepon ke arah telinga kanannya. Mengepalkan tangan dengan kuat, dan tatapan tajam ke arah wanita yang berada di pojokan ruangan.
"Victoria Zemya, bisakah anda tidak mengganggu saya setedik saja?"
Victoria menggelengkan kepalanya, "Tidak! Sampai kau mau mengakui semua ini murni tentang cinta."
Disertai dengan tawa kecil diakhir kalimat, Victoria mengambil ponselnya dan tenggelam didalam dunia maya. Barata berdecak kesal.
"Shit, apa yang mereka lakukan sampai-sampai tidak mengangkat telepon?"
Click!
"Maaf Tuan, saya baru saja-"
"Tidak perduli apa pun yang anda lakukan sebelumnya." Barata memotong ucapan pria yang berada tak jauh dari hadapannya.
"Tuan, saya sudah mencoba untuk menahan Victoria Zemya untuk kemari. Namun masih saja, dengan gelar istri. Victoria Zemya dapat keluar-masuk dengan aman disini," Ucapan pria itu tertahan. Menarik nafas sebentar dan kembali bersikap tegap.
"Sesuai dengan perkataan Tuan Yudha."
Barata mendengus kesal, meletakkan telepon dengan kasar dan memukul laci pada bagian bawah meja. "Keluar saja, percuma saya mengusirnya."
Pria itu mengangguk, kemudian menghilang disebalik pintu. Tak lama, Barata menatap ke arah Victoria dan menghiraukan kertas yang berada dihadapannya. Jika pagi ini tidak dapat saya nikmati, maka satu inci tubuh seorang Victoria Zemya dapat menjadi ganti. Batin Barata.
Barata bangkit, mendorong kursinya dan menghusap bagian depan kemejanya. Barata terlihat berjalan menuju pojok ruangan, Victoria Zemya sama sekali tidak memperhatikan.
"Victoria?"
Yang memiliki nama terlihat setengah terkejut. Victoria Zemya memasukkan ponselnya kedalam tas kecil berwarna merah yang terletak disampingnya. Memperbaiki posisi duduk dan tersenyum manis seperti biasanya.
Dengan meraih tangan kiri Victoria, Barata sudah membuat tubuh wanita itu berdiri tegak didepannya. Barata menatap matanya dengan intens, tenggelam disebalik iris hitam yang berada didepan. Barata menarik dagu Victoria.
Mendekatkan wajahnya hingga tak ada halangan apa pun didepannya, kecuali angin. Satu inci saja, bibir mereka dapat menyentuh satu sama lain.
"Lakukan saja Barata, aku merindukannya."
Ucapan tersebut berasal dari bibir seorang Victoria Zemya. Karena tidak ada respon dari Barata, Victoria justru mengecup bibir Barata dengan cepat. Melumatnya dengan perlahan dan menjijitkan kakinya sekuat tenaga.
Barata hanya terdiam, tersenyum kecil menatap ke arah wanita berumur 25 tahun itu. "Aku merindukan awalan bertemu.." Kata Victoria.
Victoria berhenti melakukan kegiatannya, dan kini Barata yang terlihat memajukan tubuhnya. Sedikitk menunduk dan mulai membalas lumatan awal yang Victoria berikan.
"E-hmmhhh"
Barata dapat merasakan saliva Victoria, rasanya masih sama. Disela-sela hisapannya, tangan kanan Barata meraih benda kenyal yang berada pada dada Victoria. Meremasnya dan memilin nipple kiri Victoria.
Victoria sama sekali tidak diberikan celah untuk membalas. Barata menghisap dan menggigit bibir atasnya dengan sangat kuat. Bahkan Victoria dapat merasakan rasa darah pada bibirnya.
Tangan kiri Barata bergerak untuk meraih tubuh Victoria. Tanpa melepaskan hisapan pada bibir atas Victoria. Barata duduk dan memangku tubuh Victoria dengan cepat. Barata dapat merasakan tubuh Victoria menggelinjang hebat hanya dengan lumatan dan permainan pada nipple nya saja.
"Hahhh-Barata..."
BRAKKK !
Barata menatap sekilas ke arah sumber suara, namun detik berikutnya ia memilih untuk menikmati kegiatan yang sedang ia lakukan. Begitupula dengan Victoria yang kini sudah merasa sangat panas pada inti tubuhnya.
Seorang pria muda mengelus punggungnya, pintu sedikit terbuka. Barata dapat melihat pria muda itu sedang meringis dan memegangi siku kanannya. Shit, kali ini gangguan apa lagi? Batin Barata.
Victoria membuka resleting celana berwarna hitam yang dikenakan oleh Barata. Barata hanya terdiam dan masih berusaha untuk melumat bibir Victoria lagi. Tanpa memperdulikan sekitar. Barata merobek pakaian yang dikenakan oleh Victoria.
"PERSETAN, ADEGAN LIVE?!"
Victoria menatap ke arah sumber suara dengan wajah yang sudah semerah tomat. Sedangkan Barata terlihat menarik kembali dagu Victoria, dan mengecup kecil bibirnya.
Barata menurunkan tubuh Victoria disampingnya. Memperbaiki resleting celananya, melepaskan kemeja putihnya dan memakaikan pada tubuh Victoria. "Pulang atau berbelanja? Keputusan ada padamu."
Victoria masih terpaku, selain terpaku karena menatap tubuh kekar milik Barata. Victoria juga terpaku karena otaknya, sedang berusaha mencerna. "K-kau, menyaksikannya?"
Pria itu mengangguk, sedikit meringis kecil dan berusaha bangkit. "Namun hanya sedikit, mom! Lain kali, dipercepat pada bagian membuka resleting dan menghisap atau dimasukkan?"
Victoria menggelengkan kepalanya, ia memilih bangkit dan meninggalkan ruangan itu dengan rasa malu yang sangat kentara. Walaupun sudah biasa, namun Victoria tetap saja malu. Karena adegan itu memang tidak sepantasnya menjadi tontonan orang lain.
Sepergian Victoria, seorang pria berbadan besar masuk dengan menarik tubuh pria yang terbentur pintu. "Maaf Tuan."
"Tidak apa. Lamaran kerja bukan?"
Barata memakai jas berwarna hitam itu, kemudian duduk pada kursi kebanggaannya. Pria berbadan besar itu mengangguk dan pergi. Sedangkan pria yang terbentur pada pintu itu masih meringis dan berdiri.
"Anda tau kegunaan kursi untuk apa?" Barata menaikkan sebelah alisnya.
Pria itu mengangguk, menyerahkan map berwarna merah kepada Barata dan menatap ke arah siku kananya. "Pasti butuh banyak biasa untuk menghilangkan bekasnya." ucapan yang kecil, namun masih dapat didengarkan oleh telinga Barata.
Barata membuka map tersebut dan membaca satu kertas putih dan CV yang terletak pada map tersebut. Barata menggelengkan kepalanya, berdecak dan mengambil pulpen berwarna hitam.
Barata justru melipat map dan menutup map berwarna merah itu. "Aldericco Berliand. Tidak memiliki pengalaman kerja, namun memilih untuk melamar menjadi salah satu anggota."
"Ikko."
Ikko melepas masker yang sejak tadi menutupi bibirnya. Ikko awalnya sedikit menunduk dan memegangi punggungnya, namun kini dirinya justru mulai berusaha bersikap tegap.
Terpaku.
Barata menatap ke arah bibir semerah jambu dihadapannya. Barata seperti tidak asing dengan wajah dihadapannya. Kemudian Barata memilih untuk menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk menetralkan pikirannya sendiri.
Barata menatap ke arah arloji nya. Kemudian, kembali membuka map berwarna merah itu. "Keturuan keluarga Berliand?"
Ikko mengangguk. Pantas saja, batin Barata. "Sangat salah. CV yang buruk, surat yang ditulis kurang rapi. Kalimat yang berantakan, foto yang kurang jernih dan berkesan formal. Ah ya,"
"Kami disini memiliki tempat untuk berfoto formal. Bukan dengan gaya-gaya acung dua jempol seperti orang yang sedang memilih DPR atau Presiden."
Ikko mengerutkan alisnya, "Apa ada hubungannya, Tuan Barata? Ikko hanya ingin melamar pekerjaan bukan melamar kau untuk menjadi masa depan."
"Standar operasional."
Ucapan Barata benar-benar menghentikan pikiran Ikko yang ingin membalas perkataan ketus Barata. Ikko berdecak kesal, punggungnya masih terasa sakit. Namun ucapan Barata justru sangat nyelekit.
"12 siang, tunggu saya dalam 20 menit."
Barata bangkit dan meninggalkan ruangan miliknya. Ikko menatap punggung Barata sebelum akhirnya menghilang disebalik pintu. "Yah, menang benar ucapan Ayah. Aku pikir datang dan kemudian pergi. Lalu menunggu dipanggil saja, ternyata Maneger-nya seperti artis."
Ikko memilih bangkit dari tempat duduk awalnya, berjalan menuju pojok ruangan. Sesuai dengan kalimat yang ada pada otaknya, Ikko menyenderkan tubuhnya. "Punggung Ikko sakit sekali, pria berbadan besar itu sangat berat."
"Tubuh Ikko sakit, sudah berbadan besar. Bukannya duduk diam, pria itu justru bertengkar dan bukannya jatuh sendiri. Pria itu justru membuat sekumpulan orang kurus menjadi ikan teri."
Ikko menatap ke arah atas, meniup rambutnya yang mulai memanjang. "Ikko, aku mencintaimu"
"Ikko adalah seorang sangat bodoh yang aku miliki. Seperti seorang wanita, bencong. Mungkin? hahaha."
Ikko menutup matanya, mendengus. Kalimat itu mulai menghiasi pemikirannya lagi. "Ikko adalah Ikko. Ikko bukan orang lain, Ikko hanya perlu mencari orang yang mencintai dari hati. Jika kekayaan, Ikko sudah cukup kaya."
"Ya walau pun milik Ayah."
Ikko terkekeh geli mendengarkan ucapannya sendiri. Ikko meraih ke arah saku bajunya, menatap ke arah ponselnya dan memfokuskan perhatian pada angka didepannya. "Pukul 12 lewat 10 menit. Okay Ikko, 10 menit lagi!"
Berdiam diri, menutup mata, membuka mata, bangkit. Semuanya sudah Ikko lakukan disana, memutar bola matanya. Ikko kembali menatap ke arah arloji. "Pukul 12 lewat 20 menit."
Ikko menatap ke arah pintu masuk, tubuh seorang pria muncul dengan sebuah kertas ditangan kanannya. Wajah Ikko yang antusias justru menjadi kusut seketika. "Aldericco Berliand?"
"Iya?" Ucap Ikko.
"Tuan Barata menyampaikan untuk menunggu, dirinya harus mengurus beberapa hal dan akan kembali dalam beberapa menit lagi."
Ikko mengangguk. Setelah itu, pria penyampai pesan pun berjalan membelakangi Ikko dan menutup pintu. Suasana menjadi hening kembali. Merasa kesal, Ikko menghentakkan kakinya dengan keras.
"Mengurus apa? Paling-paling juga melanjutkan hasratnya!"