Pengepungan Leiden terjadi selama Perang Delapan Puluh Tahun dan Perang Inggris-Spanyol pada tahun 1573 dan 1574, ketika Spanyol di bawah Francisco de Valdez berusaha untuk merebut kota pemberontak Leiden, Belanda Selatan, Belanda. Pengepungan itu gagal ketika kota itu berhasil dikalahkan pada Oktober 1574.
Kedamaian berjalan dalam kurun waktu lima tahun, sebelum seorang pria yang mempunyai kekuatan supranatural mengganggu alam para arwah dari korban peperangan. Ditambah lagi dengan virus aneh mewabah di kota yang berjulukan dengan Kota Jahanam.
Quito namanya, pria berdarah Belanda campuran Jawa. Wajah tampan berkarisma, membuat Jullie jatuh hati padanya. Mereka pun akhirnya menikah pada hari Rabu tanggal 2 Mei 1970, setelah berpacaran selama enam bulan. Dari hasil pernikahan itu, lahirlah seorang bayi perempuan yang mereka beri nama Quille.
Takut akan virus dan kutukan, Jullie membawa buah hatinya pergi dari kota tersebut. Namun, Quito tetap memilih tinggal di sana, karena ia bertekat untuk menyembuhkan penyakit dan mencoba menenangkan para arwah yang sudah mulai menampakkan diri pada penduduk setempat.
"Pergilah, Jullie. Jika semua urusanku sudah usai, aku akan menemuimu dan anak kita," ucap Quito, sebelum kereta kuda yang ditumpangi oleh anak dan istrinya berangkat.
Jullie hanya menangis saat genggaman tangannya terlepas setelah kereta itu perlahan mulai bergerak.
***
Amsterdam, 15 Januari 1990.
Quille tumbuh menjadi gadis cantik dan seksi. Siapa yang memandangnya pasti akan terpesona. Namun, ada yang ganjil dengan gadis tersebut. Di telapak tangannya seperti ada tanda yang berbentuk segitiga berwarna ungu. Menurut medis itu hanyalah sebuah tanda lahir biasa.
"Quille!" panggil seseorang.
Quille pun memalingkan wajah ke belakang, ternyata Erren sahabatnya.
"Hey! Kamu apa kabar, Ren?" tanya Quille sambil melambaikan tangannya.
Berpisah selama seminggu dikarenakan Erren pulang ke kampung halaman, membuat mereka seperti berpisah bertahun lamanya.
"Aku baik, kalau kamu gimana?" jawab Erren balik bertanya, kemudian langsung memeluk Quille.
"Yah, beginilah, Ren. Aku tetap cantik dan selalu menjadi incaran para hidung belang di kampus," ujar Quille sambil nyengir kuda.
Di saat mereka asyik berbincang dan bercanda, tiba-tiba Cullen berjalan di antara Quille dan Erren, dan itu membuat Quille mendengkus kesal.
"Heh! Kamu nggak lihat kami lagi ngobrol?"
"Ooo ... ada orang rupanya," jawab Cullen dengan gayanya yang cool, tetapi terkesan angkuh.
Cullen adalah cowok tertampan di kampus tersebut, ia juga mempunyai geng khusus cowok-cowok keren dan tajir, sekaligus anak dari pemilik kampus terbesar di Amsterdam, yaitu UvA.
University of Amsterdam
UvA tercatat memiliki sekitar dua puluh tiga ribu mahasiswa dan menjadikan sebagai universitas yang paling banyak pendaftarnya di Belanda. Berada dalam 50 besar peringkat universitas dunia, UvA juga unggul untuk kuliah jurusan seni, humaniora, dan ilmu sosial.
"Untuk tugas pekan depan, kita akan mengadakan study tour di Leiden bagian timur," terang Mis Aora di depan kelas.
"Okeee ... Miss!" sahut mahasiswa serentak.
"Quille, Erren, Cullen, Euan, dan Gerald, kalian satu kelompok. Untuk kelompok yang lain, nanti saya share di group A."
"Interupsi, Mis." Quille mengangkat tangannya.
"Iya, ada apa?" tanya Mis Aora.
"Kenapa kami tidak bisa memilih sesuai keinginan masing-masing?"
"Karena kalian sangat cocok dipasangkan," jawab Mis Aora tersenyum centil.
"Ih, nyebelin banget," celetuk Quille sambil menyipitkan kedua mata indahnya melihat Cullen tertawa girang.
Kriiiing!
Bunyi bel terakhir menandakan pelajaran telah usai. Para mahasiswa dan mahasiswi berhamburan keluar kelas, begitu juga dengan Quille dan Erren.
"Erren, aku balik duluan, ya. Soalnya ada acara di rumah tetangga."
"Oke, nanti malam aku ke rumah kamu. Aku mau bahas tentang penelitian yang akan kita lakukan di Leiden," ucap Erren, kemudian mereka berpisah saat memasuki kendaraan masing-masing.
Tok ... tok ... tok!
Suara ketukan terdengar di depan pintu kamar Quille.
Ia yang sudah terlelap sejak pulang dari kampus, tak menyadari kehadiran seseorang di dalam kamarnya. Pria asing bertubuh kekar berlumuran darah di sekitar mulutnya. Sesekali ia menyeringai, ada yang berbeda di antara deretan gigi yang tersusun rapi, taringnya panjang persis seperti drakula.
"Quille, kamu jangan pernah pergi ke kota itu. Ingat pesanku!" Suara pria misterius itu seakan terdengar jelas oleh Quille. Ia berusaha bangun, tetapi matanya tak bisa terbuka.
Pukul delapan malam, Erren menyambangi rumah Quille. Namun, Quille masih tertidur nyenyak. Tak ada yang tahu apa yang sedang dimimpikan gadis cantik itu.
"Quille, bangun, sayang!" Jullie--ibunya berusaha untuk membangunkan. Akan tetapi belum ada tanda-tanda ia membuka mata.
Jullie mengambil air garam, lalu memercikkan ke wajah putri semata wayangnya, karena ini bukanlah terjadi sekali saja, tapi sering. Bahkan setiap kali kejadian ini terjadi, tanda lahir yang ada di telapak tangan Quille terlihat hidup dan mengeluarkan sinar redup.
"Aduh, kepalaku sakit," ucap Quille lemah.
"Kamu nggak apa-apa, Quil?" tanya Erren khawatir.
"Nggak apa-apa, Ren. Ini udah biasa kok, pingsan dalam tidur," jawabnya mencoba berseloroh.
"Mama siapkan makan, dulu. Kalian lanjutkan belajarnya, ya," tutur Jullie ramah.
"Iya, Ma. Quil mau mandi dulu, badan rasanya lepek penuh lendir dan darah," imbuhnya, yang membuat Erren menatap Quille heran.
Dalam kamar mandi Quille berdiri di depan cermin, wajahnya sedikit pucat. Telapak tangannya yang tadi sengaja ia katupkan agar tak terlihat oleh Erren, kini ia buka. Sinar redup itu kini sudah menghilang, ia menghempaskan napas lega, karena tak ingin dicurigai apa lagi menjadi pertanyaan oleh sahabatnya.
Menu makan malam sudah tersaji di meja yang berwarna ungu. Quille memang suka sekali dengan warna tersebut, sampai cat kamar beserta isinya berwarna ungu.
"Saya balik dulu, Tan, Quil," ucap Erren berpamitan.
"Iya, hati-hati di jalan." Quille dan mamanya melambaikan tangan.
Jullie duluan masuk ke dalam rumah, sementara Quille masih berada di luar. Menatap langit yang dipenuhi taburan bintang. Namun, tiba-tiba angin kencang menderu, dan hujan pun mulai turun. Jarak lima meter sekelebat bayangan melompat dari pagar rumah, Quille terkesiap, ditambah bau amis menguar di sekitar tempatnya berdiri.
"Apa-apaan ini," gumamnya sambil menajamkan indra penglihatan ke segala arah.
Bayangan itu kembali berkelebat, melompat ke sana dan kemari, kemudian makhluk yang hanya tinggal kerangka menggunakan jubah hitam itu sudah berdiri tepat di depan Quille. Sebuah senjata panjang dan melengkung di bagian ujungnya, persis seperti sabit yang dibawa oleh Malach HaMavet atau malaikat maut.
Quille mulai gemetaran, selama ia hidup, baru kali ini didatangi oleh makhluk yang aneh dan berbeda dengan sosok-sosok yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Si ... siapa kamu?" tanya Quille terbata-bata.
"Grim Reaper!" jawab makhluk itu berteriak lantang.
"Tidak ... tidak, aku belum mau mati! Mama tolong aku ...."
Juille yang mendengarkan teriakan anaknya, segera menyusul ke teras rumah. Sampai di luar, ia melihat Quille duduk tersandar dan matanya terpejam.
"Kamu kenapa, sayang? Mimpi lagi, ya? Lagian ngapain tidur di luar, sih." Jullie berusaha membangunkan anaknya, tetapi kejadian itu terulang lagi, dan akhirnya air garam kembali mengguyur wajah cantik itu.