Jakarta, Juni 2005
TIDAK ADA ALASAN lagi bagi Davinna untuk bersantai, sebab ia harus mempersiapkan diri untuk tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang sebentar lagi menjelang. Ayah dan ibunya sudah membelikan beberapa buku soal kiat sukses SPMB di beberapa toko buku, seminggu sebelumnya. Sambil membuka buku tulis dan pulpen sudah siap di tangannya, Davinna pun mencoba mencermati soal-soal di buku itu dan mengerjakannya.
"Davinna, sebaiknya kamu istirahat dulu ya, sayang."
Davinna tersenyum lembut memandangi ibunya yang sedari tadi masih membereskan tempat tidur dan lemari pakaiannya.
"Dav, ibu bangga loh sama kamu. Kamu dapat kesempatan mendaftar untuk SPMB 2005." Bu Kamiila menyanjung anak sulungnya yang berhasil menembus ujian SPMB.
"Alhamdulillah, Bu. Ini semua berkat bimbingan Ayah dan Ibu selama ini," gumam Davinna sembari membereskan buku-buku di mejanya.
"Ibu cuma pengen pesan aja sama kamu. Pas kuliah nanti belajarnya yang sungguh-sungguh ya, sayang. Jangan sampai kendor semangatnya. Tong nyusahkeun ayah jeung ibu nya (Jangan menyusahkan Ayah dan Ibu, ya). Ibu mah bisa bantu dengan doa dan dukungan," kata Bu Kamiila penuh harap.
"Insya Allah Davinna akan pegang apa yang dipesan Ibu, juga pesannya Ayah," jawab Davinna hangat sambil memegang tangan ibunya.
Davinna bangga dengan keberhasilan ayah dan ibunya dalam didikan dan kasih sayang untuknya yang tiada batas, juga pada si bungsu, Gina Noor Adelia. Ayahnya sangat mengedepankan prinsip kejujuran dan kebaikan yang juga ditanamkan pada anak-anaknya. Ibunya juga begitu, yang selalu menjadi support system yang baik.
"Ibu tunggu di meja makan, ya. Ibu sudah masakin sesuatu buat kamu." Bu Kamiila meninggalkan kamar Davinna untuk menyiapkan makan malam.
"Iya, Bu." Davinna lalu menyimpan buku tulis dan pensil di keranjang buku yang ada di tengah-tengah mejanya untuk dikerjakan lagi kemudian.
Davinna segera turun dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Ia terheran dengan begitu banyaknya menu makanan yang terhidang di meja makan. "Bu, kok masaknya banyak banget. Hari ini masak apa?"
"Soto Bandung, karedok, sama tutug oncom kesukaan kamu. Ibu, kan, nggak pernah ingkar janji soal makanan favorit kamu," kata Ibu Kamiila tersenyum. Tiga makanan itu merupakan makanan kesukaan Davinna setiap kali pulang kampung ke Bandung pada Hari Raya Idul Fitri atau liburan sekolah.
"Wah, ibu tahu apa yang aku suka. Tapi, apa nggak kebanyakan ya kalau masak segini banyaknya?" tanya Davinna.
"Makannya, kan, nanti bareng-bareng. Ya harus habis dong, Neng. Sayang kalau sampai mubazir," jawab Ibu Kamiila sembari tertawa kecil.
"Iya juga, ya. Ayah pernah bilang kalau makan harus sampai habis dan jangan terlalu kenyang," kata Davinna mesem-mesem.
"Ya sudah, tunggu Ayah dan Gina dulu ya, Dav."
"Loh, emangnya pada kemana, Bu?"
"Lagi ikut kegiatan sosial di Palmerah. Sebentar lagi juga pulang."
"Oke, Bu. Kita tunggu aja."
Kedua perempuan itu menyiapkan peranti makan untuk digunakan saat makan malam bersama nanti. Yang dinanti-nanti akhirnya datang. Bapak Ghazali dan Gina sudah tiba di rumah, segeralah Davinna dan Ibu Kamiila menyambutnya dan mengarahkan ke meja makan. Ada kehangatan dan kelembutan dalam interaksi keluarga Muhammad Ghazali, yang menandakan keharmonisan yang lebih dalam dari apapun itu.
Solo, Juni 2005
CUACA KOTA SOLO menghangat karena sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Danny sudah harus mengakhiri latihan basket bersama teman-temannya. Karena ia sudah diingatkan ibunya untuk segera pulang dan belajar guna persiapan SPMB setelah berolahraga. Buru-buru ia memasukkan sepatu Nike ukuran 43 dan bola basket ke tas besar miliknya kemudian bergegas pulang dengan sepeda BMX kesayangannya.
"Assalamualaikum," sapa Danny setibanya di rumah.
"Waalaikumsalam," jawab Ibu Meydina. "Kamu ternyata menepati janji yang Ibu berikan. Kamu mandi dulu, badan kamu bau keringat tuh. Setelah itu makan malam dan belajar ya, sayang."
"Nggih (iya), Bu," Danny segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya untuk persiapan mandi. Setelah selesai mandi dan pakai baju, Danny turun ke bawah untuk makan bersama. Menu makan malamnya ayam kremes, sambal terong, dan sayur asem.
Baru dua menit duduk, Danny sudah disodorkan pertanyaan dari orang tuanya soal rencana kuliahnya di Jakarta. "Danny, Bapak mau tanya, kamu yakin mau kuliah di Jakarta?"
"Iya, dong. Itu, kan, impianku sejak lama. Memang Bapak sama Ibu mau ikut pindah juga di Jakarta?" tanya Danny.
"Bapak sama Ibu bukannya nggak mau ikutan pindah ke Jakarta, tapi kamu tahu sendiri, kan, Jakarta kayak gimana. Biaya hidupnya mahal, terus kondisi kotanya juga semrawut. Apa kamu sanggup kuliah disana?"
"Iya, Danny. Yang Ibu lihat di televisi, kan, Jakarta memang banyak kasus kriminalnya," sahut Bu Meydina.
"Pak, Bu, jangan kayak gitu, dong. Kak Yasmin aja berhasil kuliah di Jakarta, masa aku nggak sama sekali," kata Danny merengut.
"Iya, Danny, Bapak tahu itu. Cuma kamu siap nggak sama segala konsekuensi yang ada kalau kamu kuliah di Jakarta?"
"Siap, lah, Pak. Bapak, kan, dulu pernah bilang, jangan pernah takut untuk mencoba hal baru. Bukannya dulu Bapak bilangnya gitu, tho?"
Seketika Pak Djamal mengingat apa yang ia ucap dulu pada Danny. "Iya, Bapak ingat. Tapi untuk yang ini, kamu harus mikirin efek dari hidup di Jakarta."
"Ya, ini, kan, keinginan aku pengen satu kampus sama Kak Yasmin. Ya nggak?" kata Danny sembari melirik Yasmin.
Yasmin pun membalas dengan jutek. "Nggak usah lirik-lirik aku deh."
Ibu Meydina menimpali, "Danny, Ibu cuma berpesan sama kamu. Kalau kamu diterima di kampus negeri, belajar yang sungguh-sungguh. Jangan bikin kecewa Bapak dan Ibu karena kamu tidak selesai sekolah. Kalo kowe meh melu kakakmu kuliah neng Jakarta, yo wis. Iku, kan, pilihanmu dewe, Lik ( Kalau kamu mau ikut kakakmu kuliah di Jakarta, ya sudah. Itu, kan, pilihanmu sendiri, Nak). Ibu sama Bapak pasti mendukung apapun yang kamu dan kakak inginkan."
"Ya benar sekali, Bu. Kamu harus serius dengan apa yang kamu pilih dan kamu mau. Bapak tetap mendukung kamu walau konsekuensinya harus pindah ke Jakarta," sambung Bapak Djamal.
"Danny, Kakak cuma pengen kamu serius aja selama kuliah di Jakarta. Kalau ada apa-apa, Kakak bisa bantu kamu, kok. Tenang aja," kata Yasmin dengan tersenyum.
"Jadi Bapak sama Ibu beneran ikutan pindah ke Jakarta bareng aku dan Kak Yasmin?" tanya Danny penuh harap.
"Ya nanti lihat saja," jawab Bapak Djamal. "yang penting selesaikan dulu urusan SPMB-nya, baru nanti kita bicara lagi soal itu."
Keluarga kecil ini pun kembali melanjutkan makan malamnya. Danny pun senang, ayah dan ibunya merestui dirinya bakal kuliah ke Jakarta mengikuti kakaknya, Yasmin. Meski jarak usianya beda dua tahun, tetapi keduanya bisa saling mengisi satu sama lain. Ayah dan ibunya malah lain lagi. Meski kerap berselisih soal makanan, tapi keduanya tetap akur dan mampu membawa suasana rumah jadi lebih hidup.