Hari semakin siang, matahari sudah mulai naik, udarapun semakin hangat.Tapi adikku sinta belum terlihat batang hidungnya.
Krieeeet!
Pelan-pelan aku membuka pintu kamar Sinta, karena penasaran dia sudah terbangun atau belum.
"Sin ..., Sinta?" Panggilku seraya menyelongok kedalam kamar nya.
Ternyata sinta sudah tidak ada didalam kamarnya, mungkin dia sudah terbangun dan pergi bersekolah.
Aku lihat dalam kamar sinta yang begitu sangat berantakkan. "Kenapa kamar gadis kok seperti ini?" hatiku terasa sangat kesal dengan kelakuan adikku satu-satunya itu.
Kemudian aku melangkah masuk kedalam kamarnya, bermaksud untuk membereskan kamarnya. Ku punguti baju-bajunya yang berserakan di lantai, seprai yang tidak terpasang dengan benar dan bantal-bantal yang tidak pada tempatnya semua.
Mataku membeliak ketika aku menemukan bungkus kontrasepsi di bawah tempat tidurnya. "Kenapa ada benda seperti ini? Dia kan masih anak gadis, dan masih bersekolah SMA pula." hatiku benar-benar terkejut dan sedikit mencurigai adikku.
Kemudian aku memasukan bungkus itu ke dalam tong sampah. Mataku kembali membulat ketika melihat benda menyerupai balon yang berisikan cairan putih.
Ya tuhan, hatiku tiba-tiba di selimuti rasa gelisah. Apa Sinta melakukan hal sejauh ini, Tapi dengan siapa? Akupun sangat gelisah dan tak percaya, karena aku sendiri tidak pernah memakai benda seperti itu.
Aku menghela nafas panjang, mencoba menata perasaan yang sedang kacau ini. Aku takut adikku melakukan hal yang tidak bermoral seperti yang aku bayangkan saat ini.
"Ada apa, Ren?" Tanya mas Alvin saat aku keluar dari kamar Sinta.
"Enggak papa, mas ...!" Aku sengaja merahasiakan tentang benda yang telah ku temukan barusan karena takut mas Alvin marah dan malah mengusir Sinta dari rumah ini.
"Di kirain ada apaan, soalnya wajah kamu itu muram sekali sih ... seperti ada masalah ajah."
"Enggak papa kok, mas!" Aku berusaha mengulas senyum.
"Kamu masak apa, Ren?"
"Nasi uduk kesukaan kamu, mas."
"Mas, kamu sudah mandi?"
"Iya ..., kan mads mau berangkat kerja!"
"Tumben kamu keramas sewangi ini, mungkin samponya kamu habisin, ya!"
Ucapku seraya bercanda, berusaha menyembunyikan kecurigaanku terhadapnya.
"Ah, kamu ini!" Jawab mas Alvin sembari tesenyum dan memegang tanganku dengan sorot mata yang mesra.
"Kok, kamu keramas mas, padahalkan semalam kita tidak ngapa-ngapain?"
Dahiku mengernyit melihat rambut suamiku. Memang akhir-akhir ini mas Alvin sering sekali keramas dipagi-pagi. pakaiannya pun harus nyentrik, dan gaya rambutnya yang selalu tertata rapih, dan aroma minyak wanginyapun sangat menyengat, karena terlalau banyak memakainya.
"Emang harus begitu-gituan dulu, baru keramas?" Mas Alvin tersenyum nakal.
"Enggak sih, mas. Yaudah sarapan dulu. Aku menyedok nasi dan menyodorkannya kepada mas Alvin.
"Terima kasih, Rena!" Ucapnya sembari menyuap nasi uduk kesukaanya.
Selesai makan seperti biasanya mas Alvin segera berangkat ke kantor. Suamiku bekerja di sebuah kantor bernama CAHAYA DIRGANTARA dan pemilik kantor tersebut ARIYA DIRGANTARA.
Yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri.
Aku terus saja memikirkan benda yang ku temukan dikamarnya Sinta, karena aku takut Sinta melakukan semua itu. Selain itu, aku adalah kakaknya. Sudah sepatutnya aku yang menjaga dan melindunginya karena ke dua orang tua kami sudah meningal.
Pagi-pagi setelah aku membereskan kamar Sinta, aku membeli sayuran. karena stok sayuran di rumah sudah habis. Kebetulan si mamang sayuran sudah datang. Akupun segera kesana, dan tempatnya pun tidak jauh.
Si mamang sayur berhenti di depan rumahku.
"Mba, Rena. si sinta itu cantik ya, hati-hati mba, jangan sampai suamimu di godain sama dia, jaman sekarangmah banyak lho, yang merebut kakak iparnya sendiri, apa lagi kaya dan seganteng mas Alvin suamimu!"
"Hhh, ibu ini. mana mungkin suamiku seperti itu, dia orangnya baik kok bu. mana mungkin melakukan hal sekotor itu." Sahutku seraya mengulas senyum.
"Iya, tapi mesti hati-hati ya, mba!"
Sambung ibu-ibu lain. Yang membuat hatiku semakin panas.
Aku segera menyuruh mamang sayur untuk menghitung belanjaanku dan langsung membayarnya. Akupun segera menarik diri dari kerumunan ibu-ibu yang sedang membeli sayuran di depan tadi, karena aku takut kalau kelamaan disana aku semakin tersulut emosi, aku nggak mau beradu mulut sama mereka semua.
Hatiku kembali di dera rasa gelisah, dan semakin penasaran dengan alat dan benda yang aku temukan di kamar adikku tadi pagi.
"Apakah Sinta melakukan semua itu? Tapi denngan siapa?" Gumamku dalam hati.
Astagfirullah. aku tak boleh berperasangka buruk terhadap adikku.
Tapi, aku akan menyeledikinya dan mengungkap kasus ini secepatnya.
Supaya aku tidak gelisah terus menerus.
Jika memang benar dia melakukan hal yang tidak bermoral seperti itu, aku akan meminta pertanggung jawaban terhadap orang yang tega mengotori kesucian adikku dan akan segera menikahkannya, walaupun dia masih sekolah, karena ini adalah aib bagi keluarga. apa lagi keluarga terpandang dan terhormat seperti ARIYA DIRGANTARA
Bisa mati aku.
Tak lama, terdengar suara Sinta mengucap salam.
"Assallamualaikum!"
Aku segera membuka pintu dan menatap Sinta yang terlihat kelelahan setelah pulang sekolah. Dia langsung masuk kekamar dan mengunci pintunya tersebut.
Akupun langsung mengikutinya dari belakang dan ingin sekali bertanya padanya.
"Tapi dia langsung menutup dan mengunci pintu kamarnya!" Ucapku dalam hati.
Tapi, aku masih penasaran sama dia, aku memberanikan diri untuk bisa berbicara dengannya. Setelah itu aku mengetuk kamar sinta.
Tok! Tok! Tok!
awalnya tidak ada jawaban. tapi aku tetap mengetuk pintu kamarnya tersebut Sehingga pintu itu terbuka lebar.
"Ada apa, kak?" Tanya Sinta sembari menguap. Kini mataku tertuju pada leher Sinta, yang terdapat banyak bercak merah.
Aku semakin gelisah dan menaruh curiga kepada adikku.
Ku tarik tangannya masuk kedalam kamar dan berbicara dari hati-kehati, menanyakan siapa laki-laki yang telah menidurinya semalam.
"Siapa, Sin. tolong jawab kakak dengan jujur, supaya kakak bisa meminta pertanggung jawaban padanya. Kamu itu masih kecil, masih bersekolah lagi, apakah kamu tidak ingat dan memikirkan masa depanmu, ketika kamu melakukan semua itu, Sin?" Tanyaku seraya menata perasaanku supaya tidak meledak-ledak dan membuat Sinta ketakutan.
"Aku tidak pernah melakukannya, kak!"
Elaknya.
"Terus, alat yang buat di pakai oleh sepasang suami istri itu milik siapa?
Tadi pagi kakak nemu barang tersebut di tong sampah, serta alat itu bekas pakai!"
"Tapi aku benar-benar tidak melakukan nya, kak!" Dia menangis sesegukan. Hingga membuat aku tidak tega melihatnya.
"Sudahlah Sin, maafin kakak, yah?"
Kaka hanya takut kalau mas Alvin tahu, dia pasti akan marah. Sedangkan dia adalah orang yang telah membiayai sekolahmu dan mengurus semua ke butuhanmu selama ini. Kakak hanya enggak mau nanti kamu di marahin dan diusir sama dia!"
Ucapku, sembari memeluk dan mengusap rambutnya denga pelan. Dan tangis Sintapun semakin pecah ketika aku memeluknya.
Semua hal itu hanya membuatku semakin bingung dan merasa bersalah karena sudah mencurigai adik kandungku sendiri.
Malam semakin larut dan mas Alvinpun belum pulang juga, biasanya jam tujuh malam dia sudah ada di rumah, tapi sekarang dia selalu pulang larut malam sekali. Dengan alasan kalau dia banyak kerjaan lah, meeting sama klien lah, dan banyak lagi alasan-alasan lainnya.
(Mas, kapan pulang. aku sudah ngantuk.)
Segera ku kirim pesan aplikasi si hijau kepada suamiku.
Centang dua, tapi masih belum di baca. Lima menit kemudian terdengar suara notifikasi pesan masuk ke gawaiku dari mas Alvin.
(Kamu tidur saja, Ren. Mas mungkin pulang malam maaf, yah.) balasnya di sertai emotikon menangis.
(Ya sudah, aku tidur duluan ya, mas. kamu hati-hati di jalan.)
Entah sudah berapa lama aku terlelap, akupun menggisik mataku. hingga mendengar suara aneh dari kamar Sinta. Aku menggerakan tangan ke sebelah, mencari keberadaan suamiku. Ternyata mas Alvin belum pulang juga.
Aku menengok jam dinding yang menggantung di tembok, dan ternyata sudah pukul dua belas malam.
Aku semakin penasaran dengan suara-suara aneh itu. lalu aku turun dari tempat tidurku kemudian berjalan menuju kamarnya Sinta. Dan ternyata benar, suara itu berasal dari kamarnya Sinta. Ketika aku mendekatkan daun telingaku ke pintu kamar tersebut, aku mendengar suara desahan, dan saling berpangut-pangutan di dalam sana. Aku semakin penasaran dan ingin cari tahu, siapa laki-laki yang bersama Sinta sekarang ini.