Komandan pasukan SF membalikkan badannya ke arah Andrea. Sehingga kini Andrea bisa melihat wajah orang yang telah menyelamatkannya.
"Jangan menangis lagi. Sekarang kamu sudah bisa pulang," ucap komandan SF seraya berjongkok. Tangannya bergerak mengelus lembut kepala Andrea. Seolah menyalurkan kehangatan yang mengatakan bahwa semuanya sudah tidak apa-apa.
Andrea tersentak mendapat kehangatan itu dari orang lain. Selama ini tidak pernah ada seorang pun yang memperlakukannya seperti itu, selain pengasuhnya.
"Te—terima kasih,"
"Hmmm sama-sama. Namamu siapa, gadis kecil?" meski hanya terlihat raut wajah datar, terbentuk sebuah lengkungan kecil di bibir komandan SF.
Memesona--Ya itulah yang menggambarkan sosok komandan SF. Andrea menjadi terpesona terhadap laki-laki dewasa yang telah menyelamatkannya itu.
"Andrea," cicit Andrea pelan. Kepalanya sedikit mendongak agar bisa bertatapan langsung dengan komandan SF.
"Oh Andrea. Berapa umurmu?" tanya komandan SF lagi.
"12 tahun,"
Komandan SF masih bisa mendengarnya, padahal Andrea menjawab begitu pelan. Suara tercekat, usai menangis begitu lama.
"Baiklah Andrea, kita pulang sekarang. Saya akan mengantarmu," ucap komandan SF tidak berhenti memperlihatkan senyumannya.
"I--iya," Andrea menganggukkan kepalanya.
Perlahan ia ingin beranjak bangun tapi tidak bisa sebab kakinya terkilir. Melihat itu, komandan SF tiba-tiba menggendongnya. Tanpa berucap sepatah kata. Tindakannya itu sempat mengejutkan Andrea.
"Tidak perlu khawatir. Saya hanya membantumu yang kesulitan untuk berjalan," jelas komandan SF seolah mengerti keterkejutan gadis kecil yang tengah di gendongnya.
"Terima kasih, om—" ucapan Andrea terpotong. Nama dari komandan SF belum di ketahuinya. Jadi ia bingung hendak memanggilnya apa.
"Andrew," sela komandan SF sambil mulai berjalan menuju ke arah sebuah helikopter.
[Note: Wilayah tersebut berada di sebuah pulau terpencil di tengah laut. Para penghuni bangunan yang ada sudah pindah. Tinggal bangunan kosong terbengkalai. Untuk mencapai wilayah tersebut hanya dapat lewat jalur air dan udara]
"Te—Terima kasih om Andrew," layaknya seseorang yang mengalami kejadian buruk, tubuh Andrea terlihat bergetar. Jiwanya masih terguncang, meski tidak ada tangisan lagi.
"Jangan memanggil saya dengan panggilan om. Saya tidak setua itu. Cukup langgil kakak saja," protes Andrew tidak menyukai dirinya di panggil om. Nyatanya umurnya memang masih muda.
"Ma—af kak," cicit Andrea merasa bersalah.
"Tidak masalah," balas Andrea singkat.
Setelah itu pembicaraan Andrea dan Andrew berakhir. Andrea di bawa masuk ke dalam helikopter yang tadi di gunakan Andrew untuk sampai ke wilayah ini. Di dalam helikopter tersebut ada seorang laki-laki yang bertugas sebagai pilotnya.
"Kembali ke kota!" perintah Andrew, usai duduk di samping Andrea.
"Siap, komandan!"
Pilot itu mulai menerbangkan helikopter menuju arah kota. Sepanjang helikopter terbang di atas awan, Andrea diam tanpa suara. Tubuhnya sudah mulai membaik, tidak bergetar lagi. Hanya saja rasa terguncang akan kejadian yang menimpanya masih berbekas di hati dan pikirannya. Namun satu hal yang pasti, ia lega sebab kehidupan masa kecilnya terselamatkan. Tidak henti-hentinya ia melirik Andrew yang telah menyelamatkannya. Entah perasaan apa yang tengah di rasakan Andrea. Jelasnya sejak saat itu, ia merasa kagum terhadap sosok Andrew—Sang penyelamat hidupnya.
#Flashback Off
***
"Berarti waktu itu, lo cuma kagum sama Andrew?" tanya Claira, setelah Andrea selesai bercerita.
Andrea mengangguk. "Iya benar, awalnya aku cuma mengaguminya. Tetapi, lama-lama perasaan itu berubah. Seiring berjalannya waktu, gue tidak lagi mengaguminya tapi mencintainya. Gue bertekad mengejarnya, saat tahu kalau sampai sekarang dia belum mempunyai pasangan. Apa tekadku ini salah, Claira?"
"Tidak—Tekadmu tidak salah. Hanya saja—" Claira ragu untuk melanjutkan ucapannya.
"Hanya saja apa?"
"Apa lo yakin, perasaan lo itu benar cinta atau hanya obsesi semata? Hmmm lo pasti mengerti maksud gue kan? Di zaman sekarang orang tidak bisa membedakan antara kedua rasa itu. Termasuk gue sendiri. Jadi gue harap, jangan sampai lo melakukan hal di luar akal!" jelas Claira agar sahabatnya itu tidak salah mengartikan maksud ucapannya.
"Tenang saja. Gue yakin akan perasaan ini," sahut Andrea tersenyum.
Andrea sangat yakin akan perasaannya. Mengejar Andrew bukan sekedar obsesinya semata atau pun ambisi. Perasaan cinta yang mendorongnya. Andai suatu hari Andrew mencintai perempuan lain, ia akan mundur. Namun untuk saat ini, biarlah ia mencoba berusaha mendapatkan cintanya.
"Eh tapi kok ada yang aneh deh," sambungnya.
"Apanya yang aneh?" Claira mengernyitkan dahinya tapi tetap fokus menyetir.
"Tumben sekali seorang Claira menasihati gue soal perasaan. Secara kan selama ini, lo gak pernah peduli soal perasaan. Pacaran saja cuma buat hiburan. Tanpa melibatkan perasaan," celetuk Andrea bernada julid.
"Ck gue kaya gini cuma buat lo. Gue mana mau liat lo nantinya melakukan hal konyol hanya karena perasaan," decak Claira membuat sang sahabat terkekeh geli.
"Lo gak ngaca ya? Orang yang berpacaran tanpa perasaan aja, bisa melakukan hal konyol. Contohnya lo sendiri. Demi bisa berpacaran dengan Nicho, lo sampai menyebarkan gosip murahan. Lo gak mungkin lupa soal itu kan?" sindir Andrea di sela terkekeh pelan.
Ucapannya benar, tidak salah sedikit pun. Demi bisa berpacaran dengan Nicho, Claira sampai menyebarkan gosip murahan. Dimana gosip itu menyatakan kalau Nicho penyuka sesama jenis. Awalnya para perempuan yang mendekati Nicho tidak percaya. Tetapi entah bagaimana caranya, Claira berhasil meyakinkan mereka. Hasilnya para perempuan itu menjauhi Nicho dan sekarang Claira bisa berpacaran dengannya. Yah Nicho memang menjadi salah satu laki-laki yang ingin Claira jadikan hiburan di hidupnya.
"Ya mana mungkin gue lupa. Gosip itu berhasil membuat gue mendapatkan Nicho, hebat bukan?" bukannya merasa bersalah, Claira justru tersenyum bangga.
Andrea tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terserah lo deh. Sulit buat menghadapi lo,"
"Hahaha begitulah. Claira di lawan," suara tawa Claira terdengar di dalam mobil. Seperti itulah dirinya yang tidak pernah mudah di kalahkan dalam urusan berbicara.
Andrea tidak menggubris ucapan sahabatnya lagi dan memilih mendengarkan musik di ponselnya menggunakan headphone. Matanya beralih menatap ke arah luar jendela, seolah tak bosan melihat keindahan jalanan serta bangunan kota di malam hari.
Claira sempat melirik sekilas ke arah sahabatnya itu. Ia mengulum senyum sebab Andrea selalu begitu, di saat kalah berbicara dengannya.
'Dasar Andrea... Lo memang lebih suka mendengarkan musik daripada terus berdebat dengan gue,' batin Claira
Tidak ingin mengganggu Andrea, Claira memfokuskan mengemudikan mobil. Ia mengemudi cukup sedang di jalanan yang tidak sepadat saat berangkat tadi. Sekitar 30 menit berlalu, barulah mobilnya berhenti tepat di depan apartemen Andrea.
"Thanks. Gue masuk dulu!" seru Andrea membuka pintu mobil.
"Lo gak ngajak gue masuk juga?" tanya Claira menghentikan Andrea yang sudah berhasil membuka pintu.
"Gue ajak pun, lo gak bakal bisa juga kan?" tanya balik Andrea sedikit menyindir, sontak Claira terkekeh kecil.
"Iya sih hehehe," kekeh Claira, sudut bibirnya melengkung sempurna. Memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Tampak Andrea menatap malas sahabatnya itu. Mintanya di ajak tapi giliran di ajak, pasti tidak bisa. Claira terlalu sibuk dengan dunia bebasnya di setiap saat.
"Ya sudah, lo hati-hati! Kalau mau keluyuran lagi, ingat waktu. Kasihan orang tua lo," seru Andrea mengingatkan.
"Siap laksanakan, sahabatku!" sahut Claira bernada formal.
Selepas mendengar jawaban Claira, Andrea turun dari mobil. Ia tidak langsung masuk ke dalam apartemennya. Melainkan menunggu sahabatnya pergi.
"Dah!" Claira melambaikan tangannya dari dalam mobil, Andrea membalasnya.
Kemudian barulah Claira melajukan mobilnya, pergi dari sana. Andrea pun segera masuk ke dalam apartemennya dan mengistirahatkan dirinya.