Chereads / PACAR PSIKOPAT / Chapter 3 - PACAR PSIKOPAT (3)

Chapter 3 - PACAR PSIKOPAT (3)

Malam ini Maira tidak bisa tidur nyenyak, ia terlalu takut membayangkan bial sewaktu-waktu Ridho bisa menghampirinya kesini dan muncul sesekali perasaan kekhawatirannya pada penghuni dirumah ini yang mungkin saja akan menjadi korban Ridho selanjutnya.

Hingga suara sesuatu benda yang dilemparkan dari balkon membuatnya tak bergeming dari sofa yang kini ditidurinya.

Ia tak perlu repot-repot untuk menyadari kalau itu adalah isyarat dari Ridho, meski ia sama sekali tidak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya ataupun segala hal tentang Ridho namun ia bisa menyadari kalau saat ini Ridho sedang bermain-main dengan nyawa seseorang seperti yang tadi siang dikatakannya.

Dengan paksa Maira memejamkan kedua matanya, ia berusaha tetap tenang selayaknya orang yang tidak mengetahui apapun.

Hingga suara pintu kamar Angga yang terbuka membuatnya bangkit karena terkejut.

Saat itu Angga sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Maira, ia hanya berjalan ke dapur dan mengambil botol dingin dari kulkas.

Awalnya tak ada yang aneh, tetapi makin lama Angga malah terlihat seperti orang yang sedang mencoba menahan amarah saja bahkan ia lampiaskan kekesalannya itu dengan terus-menerus meneguk air putih secara berulang-ulang sampai membuat Maira gelisah dan berlari mendekatinya.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Maira yang kini sudah berdiri disebelah Angga.

"Gue baru aja kehilangan adik gue gegara loe dan seenaknya loe bilang gue gak apa-apa?" gumam Angga yang sama sekali tak mendongak kearah Maira, ia tampak tak sudi melihat Maira.

"Maaf..." lirih Maira yang juga gak tahu tahu mau bersikap bagaimana lagi, ia juga tak mempunyai hak untuk membela dirinya karena baginya semua ini gak akan terjadi bila ia tidak menghampirinya Nadia.

"Gue minta sama loe, tolong berhenti ngomong apalagi sok perduli sama gue deh. Gue juga gak kenal sama loe yang udah kayak benalu aja tinggal dirumah gue." sindirnya tajam, lalu ia meletakkan botol itu ke wastafel dan kembali berjalan masuk kedalam kamar.

Namun sebelum ia benar-benar memasuki kamar, mendadak mereka keduanya mendengar suara telepon yang berdering dan memaksakan Angga untuk mengangkat telepon rumahnya tersebut .

"Jangan diangkat!" cegat Maira, ia tahu kalau itu adalah Ridho tetapi Angga sama sekali tidak menghiraukan perkataan Maira dan langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Kenapa kau gak melihat kebalkon, Maira? Kau telah membuatku terpaksa membunuh 2 keluarga." ucapnya penuh bangga selayaknya seorang psikopat saja.

"Ini siapa?" tanya Angga yang begitu polosnya dan tak menyadari kalau ia sedang memancing sesuatu yang berbahaya.

"Oh jadi begitu, suara laki-laki dilantai berapakah itu? Bisakah kau mendongak kebalkon? Aku harus tahu dimana Maira tinggal!" tukasnya yang seakan-akan tak memiliki beban Apapun padahal baru saja ia habis membunuh orang lain.

"Dasar orang gila!!!" bentak Angga yang langsung memutuskan panggilan tersebut secara sepihak.

"Dasar orang gila, awas aja kalau gak ada apapun kulihat dari balkon!!!" gumamnya , tetapi buru-buru Maira mengegngam erat tangan Angga saat itu juga.

"Lepasin!" ucap Angga pelan.

"Gue gak ada niat bersikap kasar sama loe, jadi lepasin tangan kotor loe dari gue!" Peringatnya lagi pada Maira, tetapi bukannya melepaskan genggamannya itu Maira malah semakin erat menggenggam tangan Angga .

"Aku mohon!" Lirihnya yang tetap menunduk sambil tetap memegang tangan Angga.

"Udah gue bilang-" seketika Angga langsung menghentikan ucapannya saat merasakan kedua tangan Maira yang saat ini sedang menggenggamnya tengah gemetaran hebat, siapapun pasti bakal tahu kalau saat itu maira sedang ketakutan termasuk juga Angga yang menjadi tak tega dan mengurungkan niatnya untuk tetap membiarkan tangannya dicengkeram keras oleh Maira.

"Hufftt..." Ia menghela nafas panjang dan membiarkan gadis iru tetap disebelahnya sampai ia rasa gemetar hebat ditangan maira mulai mereda, lalu ia mengangkat dagu gadis itu dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.

"Bisa lepasin gue sekarang? Gue mau balek ke kamar!"

Maira mengangguk setuju dan melepaskan genggamannya dari Angga, lalu ia sedikit menyingkir untuk membiarkan Angga lewat .

"Aishhh...Loe bahkan bukan adek gue, ngapain juga gue bersimpati sama loe." gumamnya pelan saat akan memasuki kamar.

Sedangkan Maira mencoba kembali membaringkan kembali dirinya disofa setelah melihat pintu kamar Angga tertutup rapat meskipun ia tetap terjaga sepanjang malam.

Hingga esok pagi, ia mendengarkan suara jeritan dari para kerumunan orang-orang dibawah rumah susun .

Tentu saja Maira cukup tertarik dan langsung turun kelantai dasar saat itu juga meninggalkan Rumah pak Lukman begitu saja yang kebetulan saat itu si ibu dan Angga belum bangun karena masih terlalu pagi juga .

Dengan bantuan lift, ia tak perlu capek-capek untuk turun kelantai dasar dan melihat beberapa orang sibuk menonton jasad-jasad dari dua rumah susun yang dibawa kedalam ambulance.

Maira cukup beruntung saat itu masih sempat menyaksikan jasad tersebut dimasukkan kedalam ambulance, tetapi ia tak cukup kaget untuk sekedar berteriak histeris seakan ia sudah sangat terbiasa menyaksikan momen mengerikan itu.Ya, meskipun ia agak sedikit kesal melihat para kerumunan penghuni rumah susun dan beberapa orang asing yang malah menggunakan kesempatan ini untuk membuat video viral diiringi oleh suara backsound musik sedih disosial medianya masing-masing.

"Dek ngapain disini? Kamu masih remaja loh jadi jangan dekat-dekat arena ini nanti bisa muntah!" nasihat seorang ibu paruh baya yang usianya sekitaran kepala empat sebelum akhirnya ibu itu beranjak pergi kedalam kerumunan sembari mengeluarkan handphonenya.

Jelas saja ucapan ibu itu barusan membuat Maira hanya bisa tersenyum saja, ia bahkan tak lagi tahu rasanya mual ataupun jijik saat melihat para korban yang dihabisin oleh sang pacar dan malahan hal yang lebih menakutkan baginya Ialah bila sewaktu-waktu Ridho bersiap menerkamnya layaknya harimau yang siap memangsa.

Hingga dalam ke khawatirannya itu ia teringat akan sesuatu yang bodohnya malah ia lupakan.

"Ridho sudah tahu nomor rumah pak Lukman, tapi ia gak tahu rumah pak Lukman karena malam itu bukan Ridho." gumamnya seperti orang yang sedang berbicara sendirian tanpa menyadari kedatangan Raisa dan Pak Lukman yang langsung menegurnya.

"Kamu ngapain disini?" tanya Raisa yang terlebih dahulu menegur Maira.

"Kamu seharusnya gak keluar dari rumah sendirian kayak gini." ucap Pak Lukman dengan lembut seakan-akan ia sedang menasehati putri kandungnya sendiri.

"Mereka dibunuh semalam..." beritahu Maira, lalu ia memperhatikan sekitar untuk beberapa saat sebelum berbisik pelan kepada kedua detektif itu tetapi belum sempat Maira mengatakan sesuatu kepada keduanya mendadak Raisa dan Malik dipanggil oleh para rekannya.

"Kau lebih baik kembali kerumah saja nak, nanti kita bicarakan lagi." ucap Lukman yang langsung berlari memasuki rumah korban disusul juga oleh Raisa.

Maira cuman bisa mengangguk saja dan berjalan pergi dari sana, langkahnya sedikit dipercepat olehnya karena ia juga masih takut untuk berkeliaran sendirian di muka umum hingga saat dilantai dua koridor ia melihat Ridho yang sedang berdiri dipos penjaga sambil menatap langsung kearahnya.

Ia tak tahu saat itu bagaimana ekspresi wajah Ridho yang kala itu mengenakan masker dan topi hitam, tetapi yang jelas ia bisa lihat adalah tangan kanan Ridho menunjuk kearahnya tetapi lebih spesifiknya bukan menunjuk kearah Maira melainkan sedang mengayunkan tangannya seperti orang yang sedang menghitung lantai Rumah susun yang terdiri dari tujuh tingkat.

Lalu setelah usai menghitung lantai, dari kejauhan ia melepaskan maskernya sampai memperlihatkan wajah tampannya dengan sorotan mata tajam kearah Maira.

"Ah, jadi apakah kau ada dilantai dua?" tanya Ridho yang menunjukan gerak bibir yang sangat jelas sekali sampai bisa dimengerti oleh Maira , ia terlihat penuh percaya diri seraya memperlihatkan dua jari ditangannya.

Tentu saja hal itu membuat Maira merinding hebat, ia langsung berlari ke anak tangga dan terduduk lemas disana.

Gadis itu benar-benar tak berani melangkahkan kakinya kembali kerumah yang berada dilantai tiga, ia takut nantinya Ridho akan mengetahui keberadaannya sehingga ia memutuskan untuk tetap berdiam diri ditangga sejenak sampai memastikan Ridho pergi dari sana setelah selesai memastikan TKP para korban yang saat ini sedang dikerumuni banyak orang.