Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Dialog Rasa

Asyifa_Suryani_
--
chs / week
--
NOT RATINGS
9.2k
Views
Synopsis
Ann dan Pram. Bertemu atas dasar lukanya masing-masing. Mereka satu kampus, dan memiliki kedekatan yang erat. Ann, merasa nyaman dan terjaga karena kondisi keluarganya yang berantakan. Pram hadir menjadi warna bagi Ann. Namun, setelah berjalannya waktu Ann dan Pram banyak menuai konflik. Kondisi Ann yang menurun secara psikis membuat Pram merasa gagal menjaga Ann.
VIEW MORE

Chapter 1 - Dialog Rasa

Menjadi satu ikatan berupa pasangan adalah pilihan. Termasuk, menjadikanmu sebagai pilihanku untuk berpasangan. Yahh, pada akhirnya kita menjadi satu, walaupun kita belum tahu takdir mana yang akan kita jalani, entah hidup menjalin bahtera rumah tangga bersamamu atau bahkan bersama orang lain.

Pramestya Nugraha. Biasa dipanggil Pram. Tinggi badan nya ideal, badannya berisi rambutnya ikal gondrong. Ia menyukai musik dan seni. Di usianya yang menginjak dewasa, Pram bertemu denganku. Keeana, yang biasa dipanggil Ann. Banyak orang bilang, aku adalah periang juga sosok yang menyenangkan. Tapi aku pun belum mengakuinya secara sempurna, aku manusia biasa yang kerap kali juga menangis dan bersedih.

"Ann, bulan dan matahari tak pernah sama. Tapi ia rela menjadikannya sebuah alunan, bahkan kesempurnaan".

"Maksudmu, aku nggak faham deh Pram".

"Yah memang, akupun nggak minta kamu untuk memahami. Hihihi".

Pram memiliki kebiasaan yang bagiku sangat menyebalkan. Ia seringkali mengeluarkan pembicaraan yang sulit untuk difahami, memberi kiasan-kiasan apa saja yang ia fikirkan. Mengungkapkannya dalam sebuah kalimat, namun maknanya selalu tersirat.

Aku menemuinya dalam kondisi Pram menginjak dewasa. Kami satu kampus, satu organisasi, dan bisa dikatakan satu frekuensi. Dari mulai musik dan seni yang kami sukai, sampai kebiasaan-kebiasaan yang sama. Berawal dari banyak hal yang mendekatkan kami, termasuk juga, berawal dari dua orang yang sedang patah hati. Yaahh, saat itu Pram patah hati karena sempat menyayangi wanita, namun hanya dipandang sebelah mata. Hahaaaa... sedangkan aku ada di fase dekat, lalu menghilang entah kemana. Mungkin banyak orang bilang "Korban Ghosting".

"Sudahlah Pram. Nggak perlu dikejar terus. Toh perempuan masih banyak kan. Bukan hanya si dia"

"Bener katamu Ann. Termasuk kamu yaaa"

"Lohhh, yaa nggak gitu juga".

Pram masih normal seperti pria pada umumnya. Ia masih bisa menikmati kegalauannya. Namun, sebagai seorang yang melihatnya larut dalam kegalauan, aku berusaha untuk menumbuhkan semangat dan senyumnya kembali.

Pram menjadikan aku sebagai ruang untuknya. Termasuk ruang untuknya pulang. Banyak hari-hari yang kami lalui. Banyak pula hal yang akhirnya terjadi.

"Ann. Aku belum bisa tidur malam ini. Aku telfon kamu yah".

Tak hanya satu atau dua malam saja, namun hampir setiap malam. Pesan masuk dari Pram, yang mengeluhkan ia tidak bisa tidur dan butuh untuk ditemani. Kebetulan, kami seperti manusia upnormal, sulit sekali untuk tidur malam, dan selalu bangun kesiangan.

"Yahhh, bolehh. Tapi jangan berisik. Takut dimarahin mamah".

Usahaku untuk menyembuhkan Pram dari kegalauannya membutuhkan banyak cara. Ya, termasuk menemaninya di waktu malam.

Malam hari adalah waktu yang panjang dan tenang bagi kami. Di waktu itu, aku dan Pram banyak bercerita tentang kehidupan. Menceritakan banyak masa lalu dari aku dan dia, menceritakan pengalaman yang sudah kita lalui, sampai akhirnya kami tertidur dengan kondisi telfon yang masih menyala.

"Pagi Ann. Terimakasih waktunya semalam. Semangat untuk hari ini, sampai jumpa di kampus".

Meski terkesan biasa-biasa saja, namun Pram menjadikannya sebagai rutinitas. Memberikan energi pagi dengan ucapan terimakasih dan memberikan semangat, walaupun bagiku ucapan atau quotes tidak banyak mempengaruhi diri. Hihihi.

"Pagi Pramm. Sama-sama. Semangat untukmu juga".

Aku membalas pesan dari Pram. Sama halnya dengan ia, akupun akhirnya menjadikan hal itu sebagai rutinitas. Mungkin, energi positif yang kita miliki, akan memunculkan energi positif pula untuk orang lain.

"Ann tau nggak sih. Ada cafe baru di sekitar kampus. Pengen nggak maen kesitu?"

"Gaaaakkkk"

"Kenapa Ann?"

"Ga punya duit Praaaammm. Hahaa".

Aku sebenarnya memiliki sifat cuek dan pemalu. Namun, berbeda halnya saat aku bersama Pram. Seakan, cuek dan malu hilang begitu saja. Aku sama sekali tidak pernah merasa gengsi, minder, atau malu dihadapan Pram. Semuanya terbuka begitu saja. Termasuk menceritakan apa saja yang aku alami.

"Udahlah ayo gas aja. Nanti biar aku yang tlaktir".

"Hokee kalo begitu".

Entah apa yang ada di dalam diri Pram. Namun, Pram selalu berhasil membuatku tertawa. Sekalipun aku bersedih, Pram lah yang menjadikan semuanya obat. Pram pun demikian, ia seringkali membicarakan hadirnya aku dalam dirinya. Bahwa aku bisa membuatnya tersenyum, merubah lukanya menjadi suka.

"Kamu ini lucu loh Ann. Tingkahnya nyebelin banget, tapi aku kok gemes".

"Loh Pram. Wong aku emang gitu, dimana-mana ya nggemesin, nyenengin pula".

"Halah, jadi geer gitu".

"Eh Praamm. Kamu tau nggak sih, sebenarnya aku pengen banget deh bisa kaya mereka. Cantik, mulus, bersih, badan berisi. Ngga kaya aku gini, kucel, jerawatan, kurus".

"Untuk apa kamu berfikir semacam itu Ann. Nggak ada gunanya juga. Apa adanya, dan yang paling penting kamu bisa menikmati apa yang ada di dirimu itu. Sudahlah, nggak perlu berfikir semacam itu. Nggak harus kamu jadi orang lain".

Sejak saat itu, aku mengenal Pram sebagai seseorang yang sangat menghargai diri sendiri. Menerima dan ikhlas atas apa yang ada dalam dirinya. Setiap kali aku berbicara tentang kondisi diri, Pram menjadikan semua asumsi negatifku menjadi hal yang positif.

"Ann. Bawakan sisir dan vitamin rambut yaa. Aku tiba-tiba pengen perawatan rambut deh. Hihi".

Sama halnya seperti biasanya, Pram selalu mengeluarkan tingkah konyolnya. Dari mulai perawatan rambut, sampai ia tiba-tiba pengen membuat makanan. Ada-ada saja memang. Tapi, ketidakjelasan tingkahnya bisa kami nikmati bersama.

"Pram. Kamu tuh enak banget loh, minta vitamin rambut aku bawain, minta disisir aku sisirin. Kurang apalagi aku?"

"Yah kok malah ngomel-ngomel gitu. Kamu mau apa Ann, ngomong aja deh. Kaya aku gini, kalo mau apa-apa ngomong kan enak".

Pram selalu mengajariku untuk berterus terang. Entah berterus terang atas apa yang dibutuhkan, atau berterus terang dalam menyampaikan sesuatu. Termasuk "Kamu harus berterus terang, to the point kalo mau apa-apa Ann".

Ia bukan tipe pria yang pandai memahami kode. Ia bukan manusia yang faham dari tangkapan suasana maupun kondisi dari orang lain. Dari sini, aku belajar bahwa dalam diri Pram mengandung banyak kejujuran. Akupun sering melihat ia memberi keterbukaan tanpa banyak hal yang ia tutupi.

Pram, dan Keeana. Dua insan yang memutuskan sebuah pilihan. Memilih untuk bersama, dalam satu hubungan. Berawal dari kedekatan kecil, sampai merasakan banyak hal besar. Pram berjalan dengan menggenggam tangan Keeana, merajut kisah dalam kasih bersama. Berdialog memberi ruang kebersamaan, menguntai rasa yang dimilikinya.

"Ann, jangan cepat bosan dan jangan pernah lelah untuk berdialog denganku. Iyaa. Dialog rasa bersamaku".

Saat itu pula, dialog dan kebiasaan-kebiasaan dari kami terus terjalin dengan baik. Hingga, dialog mengiringi perjalanan kami dalam menjalani kehidupan. Aku dan Pram, menjadikan sebuah pilihan. Pilihan yang dapat dikatakan tidak sempurna, namun diyakini mampu menyempurnakan.