Kesempatan penerbanganmu dibajak oleh grup teroris memang kecil, tapi tidak nol.
"Semuanya jangan bergerak kalau sayang nyawa!"
Itu adalah kejadian yang aku alami.
Terkadang, hidup tidak berjalan sesuai rencana. Aku masih belum merencanakan kencan dengan kematian. Mungkin aku harus mulai memikirkan itu dari sekarang. Tentang bagaimana aku akan mati sama sekali belum terpikir olehku. Mati dengan damai tidak terdengar buruk.
Apa saja mungkin terjadi, kan?
"Jangan sakiti aku! Apa kau mau uang—"
Bang!
Bang!
Bang!
Tiga peluru melesat dengan sangat cepat, membunuh pria itu dengan instan. Kepalanya berlubang dan mengeluarkan darah segar. Pemandangan yang sangat mengerikan bagi siapa pun. Anggota teroris yang mengenakan kepala maskot monyet itu tidak main-main. Dia sama sekali tidak ragu untuk menembak. Pistol yang ada di tangannya bukan pistol mainan. Itu adalah pistol kaliber .45 yang dahsyat. Desain pistol itu adalah standar Liga Segala Bangsa (LSB), tapi siapa tahu kalau pistol itu sudah dimodifikasi atau semacamnya.
"Ah!"
"Diam! Aku juga sudah bilang agar tidak berisik! Apa kau juga mau mati sepertinya?"
Dengan deklarasi itu, semua orang menahan rasa takut mereka. Beberapa sampai menekap mulut mereka sendiri sambil menangis. Tubuh mereka gemetar di hadapan situasi hidup dan mati ini.
"Kau!"
Hmm? Bukannya dia menunjuk ke arahku?
"Aku...?"
Aku bertanya sambil menunjuk ke arah diriku sendiri.
"Benar! Ke sini kau! Cepat!"
"Haah..."
Hari ini semakin bertambah buruk.
Aku berdiri dari kursi VIP yang empuk itu dan berjalan dengan santai ke arahnya. Semoga saja dia tidak menyadari wajahku yang cemberut. Aku berjalan melalui dua orang rekannya. Mereka juga memakai pakaian semi-pelindung dan topeng monyet yang sama. Bedanya, mereka membawa senapan serbu seri AQ. Senapan serbu itu mampu menembakkan peluru sebanyak 100 butir hanya dalam waktu satu detik. Tiap peluru dapat melesat dengan kecepatan Mach delapan. Bagaimana aku tahu tentang itu? Aku adalah seorang antusias senjata perang. Sejak bocah, aku sudah suka dengan senjata dan armor.
"Kau! Siapa namamu?"
Waduh, gawat.
Apa aku harus memberi nama asliku? Kalau memberi nama palsu, kemungkinan besar ketahuan karena dia memegang tablet daftar penumpang di tangan kirinya.
"... Cero Black."
"Cero Black. Apakah kau adalah seorang penyihir?"
Penyihir adalah sebuah profesi yang bisa dibuktikan dengan sertifikat. Sebagai seorang murid baru, sudah jelas kalau aku tidak layak disebut penyihir secara formal.
"Bukan."
"Oke. Kalau begitu kau ambil plastik sampah di gudang dan singkirkan jasad itu. Aku tidak mau melihatnya. Temanku akan mengawasimu dengan baik."
"..."
Entah mengapa ini seperti bermain peran.
Aku pergi ke gudang pesawat jumbo ini untuk mengambil kantong sampah. Biar dibilang gudang, tempat itu hanya berada di belakang kabin, kecil dan penuh dengan barang yang tersusun rapi. Tanpa memerlukan banyak waktu, aku sudah menemukan tumpukan kantong sampah hitam yang besar. Aku mengambil satu dan meniupnya agar terbuka lebar. Sepertinya muat untuk tubuh orang dewasa.
Saat aku kembali, dia berjalan ke kursiku. Dia memanggil seorang pemuda yang duduk di sebelahku. Dia bahkan masih membaca majalah fashion itu sampai sekarang. Anggota teroris itu sudah mengarahkan pistolnya ke arah kepala pemuda itu.
"Kau! Siapa namamu?"
"Gregorius Deva. Apa kau mau minta tanda tangan?"
"Apakah kau adalah seorang penyihir?"
Pertanyaan yang sama lagi.
"Bodoh, tentu saja! Aku berasal dari keluarga besar Deva. Diriku yang hebat ini hanya naik pesawat ini agar bisa merasakan rasanya menjadi orang miskin."
"Ku-hahaha! Semuanya, dengarkan aku!" Dia berteriak setelah tertawa layaknya orang gila. Semua orang penasaran dengan apa yang akan dia lakukan. Beberapa rekannya juga mengarahkan senjata mereka ke arah pemuda yang sedang tersenyum itu. "Kalian penyihir adalah racun bagi dunia ini! Penyihir hanya bisa membuat kehancuran saja! Kalian semua pantas mati. Kalian dan semua sponsor kalian! Bocah keluarga Deva ini akan menjadi bukti kalau penyihir tidak dibutuhkan di dunia ini. Makan senjata modern ini!"
Bang!
... Pria itu terjatuh ke lantai dengan kepala berlubang.
"Senjata modern, ya? Sihir adalah senjata paling canggih yang bisa kalian temui."
Tubuhnya dilapisi oleh sebuah perisai yang kesat mata. Non-penyihir tidak akan bisa melihat perisai itu. Mengapa? Karena perisai itu secara harafiah adalah data dan informasi murni bagaikan sistem komputer. Data dapat mengubah fenomena fisik tanpa harus menyentuh dunia fisik karena pada dasarnya seluruh dunia dan segala isinya terbuat dari data dan informasi murni. Biarpun begitu, hanya penyihir yang spesialisasinya perisai atau penyihir yang serba ahli saja yang bisa membuat perisai fisik dengan perintah spesifik. Perisai yang dia gunakan hanya diprogram untuk memantulkan objek fisik dengan daya hancur tertentu.
"Beraninya kau membunuh saudara kami!"
"Valhalla akan membalas perbuatanmu!"
Du! Du! Du!
Semua orang bodoh itu menembak pemuda itu. Tentu saja hasilnya sama. Semua peluru mereka dipantulkan dengan presisi hebat. Komputasi sihir itu pasti memakan banyak tenaga pikirannya. Benar saja, pemuda itu mulai berkeringat dan wajahnya terlihat pucat. Apakah dia hanya mau pamer keahlian kontrol sihirnya?
"Cero, sepertinya kau perlu plastik sampah lebih banyak."
Dia menyebut namaku dengan bersahabat.
"Aku membawa delapan."
"Oh, malah kelebihan satu, ya? Hahaha!"
Tiba-tiba!
"Brother, apa kau sudah—"
Saat anggota teroris itu datang, seorang perempuan yang duduk di kursi depan menggunakan sihir angin untuk menembak kepalanya, melubangi kepalanya dan ruangan kargo.
Darah mengalir ke mana-mana.
Mereka berdua sangat hebat bisa menggunakan sihir dengan keahlian dan presisi tinggi tanpa sebuah drive—perangkat keras sihir. Aku hampir tidak bisa membayangkan kemampuan mereka jika ditambah drive.
"Kau adalah orang yang menarik, Cero Black."
"Hmm?"
Apa maksudnya?
Agak lama kemudian—
Kami berhasil mendarat darurat di tempat tujuan kami.