Tepat setelah Dhuhur Fathan mulai berkemas-kemas untuk berangkat ke Pesantren, terlihat Fathan mulai merasa bahagia tapi sedih, bahagia karena ingin menuntut ilmu di orang yang sangat alim, sedih harus berpisah dengan orang tua apalagi sebentar lagi Fathan mempunyai adek yang sudah lama dia idam-idamkan.
Begitulah seorang jika ingin menggapai derajat yang tinggi, berpisah dengan orang tua adalah hal biasa dalam dunia pesantren, namun tahulah justru itu yang akan membahagiakannya, hari itu Fathan yang ditemani oleh pamannya setelah bersiap-siap dia bersalaman dengan kedua orang tuanya, "Ibu ... Ayah, Fathan berangkat dulu ya doakan Fathan bisa berhasil seperti yang Ayah dan Ibu harapkan, juga Ayah dan Ibu jaga kesehatan, jangan lupa jenguk Fatahan, yang pastinya Fathan akan selalu rindu pada Ayah dan Ibu," Sambil jongkok di depan orang tuanya, menundukkan kepalanya sesekali dia menengadahkan pandangan kemudian mengembalikannya, tak terasa air mata putih bersih membasahi pipinya.
Seorang Ibu yang melihat anaknya menangis tak kuasa menahan air matanya juga, ditahan sekuat apapun akhirnya menetes juga sambil menangis dengan suara terbatah-batah, "Fat ... Fathan, Ibu dan Ayah sangat bahagia punya anak seperti Fathan ganteng, pintar, hormat sama orang tua, mengikuti arahan orang tua yang pastinya juga sangat ... sangat kangen, tapi inilah jalan yang harus kita tempuh agar kehidupan selanjutnya mendapat kebahagiaan."
"Benarkan Yah, kita sayang pada Fathan!" tanya Ibunya Fathan pada Ayahnya sambil memandang wajah Ayah.
"Iya, Fathan apa yang dikatan Ibumu benar, ini adalah air mata bahagia bukan kesedihan, jika sedih mengapa kami mengirim kamu ke Pesantren, iya pasti Ayah dan Ibumu ini akan selalu mendoakan kamu yang terbaik, kamu di sana juga baik-baik jangan bandel, cari teman yang baik biar kamu ikutan berbuat baik misal yang ahli jamaah, istiqomah, menuruti aturan dan lain sebagaianya." nasihat Ayah, Fatahan yang duduk merunduk di depannya hanya bisa mengangguk-nganggukkan kepala.
"Iya Ayah ... Ibu, Fathan akan selalu ingat nasihat Ayah dan Ibu, ya sudah kalau begitu Fathan berangkat dulu ya, kasihan paman sudah nunggu dari tadi." Sambil mengusab air mata yang membasahi pipinya dengan lengan bajunya Fathan bersalaman kepada kedua orang tuanya.
Selesai bersalaman Fathan siap berangkat bekal-bekal dan peralatan lainnya juga sudah dimasukkan mobil, lalu bertanya pada Pamannya, namanya Bahrudin.
"Bagaimana Paman apa sudah siap."
"Sudah Fathan, " sahut Fathan terlihat Ibunya yang tidak kuat melihat kepergiannya dia berlari masuk kamar, berbeda dengan Ayahnya, dengan tegar dia menunggu Fatahan hingga pergi tidak terlihat lagi.
Kini Fathan dan Pamannya berada satu mobil, wajah Fathan sudah mulai ceria karena melihat banyak gedung-gedung tinggi dan berbagaimacam kendaraan telah berpapasan dengannya.
"Paman! Katanya dulu kamu juga pernah menjadi santri di Pesantren Mambaul Huda bisa ceritakan kisah pesantren atau pengalaman Paman dulu ... ya ... siapa tahu dapat menambah senang saya," Fathan yang melihat ke kanan dan ke kiri, sambil memperhatikan cara menyetir mobil Pamannya.
"Hmm, Pesantren Mambaul Huda itu di asuh oleh seorang Kyai yang sangat Alim alamah, ahli fiqih, ahli tasawuf dan saya waktu di sana tidak pernah melihat satu kali saja beliau sholat tidak berjamaah, beliau selalu mengajarkan pada santrinya untuk selalu sholat berjamaah dimanapun berada, karena dengan itulah akan banyak keramat yang didapatnya.
"Siapa Paman nama pengasuhnya Pesantren itu," tanya Fathan terlihat penasaran sambil menggerakkan tubuhnya ke arah Pamannya yang sedang nyopir, tak lama lampu merah di perempatan menyala, Pamannya Fathan menghentikan mobilnya seraya menjawab, "KH. Syaid Alfadani, beliau juga terkenal dengan keramatnya, tidak sedikit para tamu yang sowan hanya ingin meminta doa lewat beliau dan alhamdulillah banyak yang terkabul, ya semoga kamu besok bisa sering bermushafahah (Bersalaman) dengan beliau, lebih-lebih kamu bisa mengabdi menjadi abdi ndalemnya."
"Mengapa harus seperti itu Paman, apa belum cukup saya belajar di pesantren Beliau?" tanya Fathan kembali yang semakin ingin tahu lebih jauh mengenai KH. Syaid Alfadani.
Lampu merah mati, kuning menyala tidak lama baru lampu hijau menyala mulailah mobil yang dikendarahi Fathan bergerak maju perlahan Pamannya menjalankannya seraya sambil berkata, "Ya ... sebenarnya sudah baik, baik sekali namun barokah itu terkadang bisa diraih dengan berkhidmah (membantu pekerjaan atau kegiatan sehari-hari beliau)."
"Oh ... Begitu ya," sahut Fathan dengan menganggukkan kepalanya hingga beberapa kali.
Tidak lama kemudian sampailah mereka di Pesantren Manbaul Huda yang berada di daerah Banyuasin, terlihat banyak para santri berpakaian putih-putih berjalan ke sana dan kesini karena terlalu banyaknya santri.
"Hei Fathan! Lihat itu mereka betapa bahagianya mempunyai banyak teman, banyak pengalaman dan pengetahuan, juga lihat wajah-wajah ceria itu tak nampak sedikitpun rasa sedih," sambil membuka pintu mobil mereka berdua keluar dan berjalan masuk area pesantren.
Fatha yang berjalan di dekat Pamannya berpapasan dengan sebagian santri seraya bertanya, "Assalamu'alaikum."
Mereka berempat serentak menjawab, "Wa'alaikumsalam, Santri baru ya kang,"
"Iya, Nih mau belajar bersama kalian," sahut Fathan dan Pamannya berdiri di sampingnya sambil tersenyum tipis.
"Oh ... Ya ... kamu dari mana saja asalnya?" imbuh Fathan bertanya sambil tangannya menggaruk rambut yang terlihat lurus.
"Kenalkan nama saya "Sabil Ashabi, sering dipanggil Sabil, rumahku asal Sumatra Barat" tutur salah satu keempat santri itu.
"Wah jauh ya," sahut Fathan yang kemudian dilanjut oleh lainnya, "Kalau nama saya Kang, yaitu Refaldo Adianyah, saya sering dipanggil Kang Adi, rumah saya kalimantan selatan"
"Kalau kamu?" tanya Fathan sambil menunjuk santri sebelahnya.
"Hmm, kalau nama saya Lutfi Hasdikin, sering dipanggil Kang Lutfi, saya dari dekat sini aja Banyuasin, salam kenal ya kang!"
"Iya, salam kenal juga," sahut Fathan.
"Kalau kamu Kang?" imbuhnya sambil tersenyum tipis dia menunjuk kearah santri yang berada paling kanan yang terlihat memakai kaca mata.
"Kalau saya Bro namanya Mashuri Alhadi sering dipanggil si Mut, katanya sih saya itu imut manis ... he he he ... sambil tertawa lepas hmm ... kalau rumah saya itu tidak saya bawa ya, karena berat,"
"Si Mut! Ada aja kamu ini, mana ada rumah dibawa kemana-mana, siput kali rumahnya yang selalu dibawa," sahut teman-temannya.
"Maafkan teman kami ini, ya dia memang suka becanda, dia berasal dari Sulawesi," kata Kang Lutfi yang terlihat dekat berdirinya di samping Fathan.
"Hmm, aku suka kok bencanda juga, tenang saja kalau saya perkenalkan namaku Fathan Alwi Syahit bisa dipanggil Fathan, saya dari desa sebrang daerah Pacemengan, mungkin ada yang pernah kesana."
"Ya belum Kang, itu juga daerah mana? Ya nanti malam kita kumpul bareng-bareng sambil ngopi biar saling tambah kenal." ungkap Kang Lutfi Kembali.
"Ya, sudah Kang, kita sambung nanti lagi ini mau ke kediaman Pengasuh, Adakah KH. Sayid Alfadani?" tanya Fathan terlihat dia mulai meraih tasnya dan kemudian siap untuk berangkat.
"Oh ... Ada Kang, ini tadi habis mengaji Kitab Ihya' Ulumiddin," tutur Kang Adi.
Kini mereka Fathan dan Pamannya beranjak pergi ke kediaman KH. Sayid Alfadani.