Mata bulat kecoklatan itu terperanjat ketika memasuki halaman rumah Pak Sartimin. Terlihat di lantai mengalir darah begitu deras.
Pria berusia 45 tahun dengan postur tubuh gemuk itu berlari memasuki teras rumah sederhana itu. Mengintip dari jendela, Pak Imam pun berteriak histeris ketika melihat sepasang suami istri itu tergeletak di lantai bersimbah darah dengan bagian perut yang terbelah dan nampak jelas bagian dalam.
"Astagfirullah. Siapa yang tega melakukan ini?" ucap Pak Imam beristigfar.
Pak Imam pun bergegas berlari meminta bantuan sekitar hingga warga dalam waktu singkat pun berdatangan hingga tidak berselang lama RT serta perangkat desa datang.
"Astagfirullahaladzhim. Imam, bagaimana kejadiannya?" tanya Pak Miska.
"Saya kurang tahu, Pak. Tadi sebenarnya saya datang mau memberikan titipan uang dari masjid buat Pak Sartimin, tapi ada banyak darah dan ...."
"Di mana anak-anaknya? Apa kalian ada yang melihat?" tanya ketua RT itu pada beberapa warga.
"Saya ke sini tidak ada siapapun. Hanya ...." jawab Imam yang langsung terpotong ketika ada seorang warga berteriak.
"Aruna sama adiknya sedang bermalam di rumah Kakeknya di kampung sebelah. Apa sebaiknya diberitahu?" celetuk seorang warga.
Atas perintah perangkat desa, beberapa warga yang mengetahui kediaman Kakek Barra pun menyusul Aruna.
Sedangkan sebagian warga melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat untuk menindaklanjuti kejadian pembunuhan tragis ini. Sedangkan Imam dan warga lainnya diminta menjaga rumah Pak Sartimin sampai polisi datang.
--------
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, beberapa warga pun sampai di teras rumah Kakek Barra. Nampak rumah sederhana itu cukup gelap, nampaknya penghuni rumah sudah tertidur.
"Kek, Kakek Barra. Hallo. Selamat malam. Kakek Barra. Tolong buka pintunya," teriak Roni, seorang warga.
Berulangkali para tetangga Pak Sartimin itu mengetuk pintu rumah Kakek Barra tapi tidak juga membuahkan hasil. Saat hendak pergi, tiba-tiba pintu terbuka dan seketika para warga itu berbalik arah.
"Akhirnya ...." celetuk seorang warga.
"Kek, tolong segera ikut kami. Aruna sama Sisi ke mana? Orang tua mereka ditemukan meninggal di rumahnya. Segera ikut kami ya, Kek ...." ucap seorang warga.
"Meninggal? Kalian jangan bercanda. Mereka mengantar cucuku ke sini. Semuanya sehat-sehat saja kok," jawab Kakek Barra tidak percaya.
"Mereka jadi korban pembunuhan," sahut warga yang lain.
"Pembunuhan?"
Kakek Barra yang sudah lanjut usia pun jatuh pingsan. Sepertinya ia syok kehilangan anak dan menantunya secara mendadak.
Teriakan beberapa warga itu membuat Aruna dan juga Sisi keluar dari kamarnya. Mereka terkejut melihat pingsannya Kakek Barra dan beberapa tetangga yang datang di waktu yang tidak biasa itu.
"Pak, ini Kakek saya kenapa?" tanya Aruna terisak.
Warga pun dengan sigap menggotong tubuh pria berusia lanjut itu ke dalam rumah dan merebahkannya di sebuah sofa yang berada di ruang tamu.
Sisi dan Aruna terus menangis melihat Kakek Barra yang belum juga tersadar. Hingga beberapa menit berlalu, sang kakek akhirnya terbangun.
"Kakek ...." teriak Aruna sambil memeluk pria lansia itu.
Kakek Barra pun memeluk erat kedua cucunya itu. Tangisnya pun pecah membayangkan nasib keduanya yang kini harus menjadi yatim piatu karena kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.
"Kita pulang ya, Nak," ajak Kakek Barra sambil menahan tangis.
"Ada apa, Kek?" tanya Aruna.
"Orang tua kalian ...."
Wajah Aruna seketika berpandangan dengan Sisi. Ada kecemasan melandanya. Tanpa membuang waktu, Aruna dan Sisi bersama Kakek Barra pun pergi menuju kediaman orang tua Aruna.
---------
Akhirnya mobil yang membawa Aruna, Sisi dan Kakek Barra sampai di teras rumah Pak Sartimin. Aruna pun berlari memasuki rumahnya dan saat melihat kedua orang tuanya sudah terbujur kaku, Aruna pun histeris. Disusul Sisi dan Kakek Barra yang nampak syok.
"Siapa yang sudah kejam membunuh anak dan menantuku? Apa salah mereka?" pekik Kakek Barra.
"Siapa pelakunya?" jerit Kakek Barra histeris.
Kakek Barra pun bersimpuh di dekat mayat kedua anaknya itu. Tubuh ringkihnya mencium kening Ratna. Putri kesayangannya.
"Kenapa kamu harus pergi dengan cara seperti ini, Ratna?" isak Kakek Barra.
Malam itu Desa Beringin mencekam. Warga dihinggapi rasa takut akan pembunuhan yang menimpa keluarga Aruna. Ada kekhawatiran jika akan terjadi pembunuhan berantai di desa mereka yang selalu damai.
Tidak berselang lama, tim penyidik pun datang ke lokasi. Pemeriksaan pun dilakukan. police line sudah terpasang di area rumah Pak Sartimin hingga warga tidak lagi diperkenankan melihat keadaan Pak Sartimin dan Ibu Ratna.
Setelah selesai, jenazah korban pun dimasukkan ke dalam kantong mayat berwarna kuning dan dibawa menuju ambulance untuk dilakukan otopsi lebih lanjut.
Isak tangis Aruna dan Sisi pun semakin histeris dengan perlahan menghilangnya mobil ambulance dari pekarangan rumah orang tuanya.
Kakek Barra pun bergegas mendekati kedua cucunya itu. Mencoba membujuk, tetapi tangisnya keduanya pun semakin pecah.
"Kak, sekarang kita udah enggak ada orang tua lagi," ucap Sisi terisak.
Aruna yang baru berusia 17 tahun pun tidak bisa berbuat banyak. Hanya memeluk Sisi dan berharap adiknya itu bisa tenang. Sedangkan jauh di lubuk hatinya Aruna pun cemas memikirkan nasibnya dan sang adik tanpa orang tuanya.
"Apa yang harus kulakukan setelah ini ya Allah?" batin Aruna.
-------
Keesokan hari
Hari pemakaman pun tiba. Aruna dan Sisi pun ditemani para warga serta Kakek Barra dan beberapa anggota keluarga saudara dari Ibunya pun turut mengantarkan Pak Sartimin dan Bu Ratna ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
"Aruna, Sisi, kita sebaiknya kembali ke rumah. Biarkan Bapak dan Ibumu tenang. Ikhlaskan mereka, Nak," bujuk Kakek Barra.
Dengan hati pilu Aruna dan Sisi akhirnya melangkah pergi meninggalkan area pemakaman. Karena jarak yang tidak terlalu jauh, Aruna dan Sisi akhirnya sampai di area rumahnya.
Saat melangkah masuk, di teras rumah sudah ada beberapa anak buah Tuan Baron menghadang masuk. Aruna dan Sisi tidak diperkenankan masuk sebelum sang majikan mengijinkannya.
"Tuan Barra, saya harus bicara dengan anda. Ini menyangkut masa depan kedua cucumu," tekan Tuan Barra.
Aruna dan Sisi bersama Kakek Barra akhirnya masuk ke dalam rumah mereka. Aruna pun mengajak Sisi ke dalam kamarnya agar tidak mendengar pembicaraan sang kakek dengan Tuan Baron.
"Tuan Barra, saya tidak perlu berbasa-basi lagi.To the point saja. Saya berniat menikahi Aruna. Saya anggap utang orang tuanya lunas dan rumah ini akan ku kembalikan pada kalian. Bagaimana, apa anda setuju?!" tanya Tuan Baron.
"Menikahi Aruna?" tanya Kakek Barra.
"Iya. Aku ingin menjadikan Aruna sebagai istri keempat. Dia dan Sisi akan hidup senang dan menjadi wanita paling beruntung di desa ini," kata Tuan Baron tertawa lepas.
"Tidak! Aku tidak mau menikah dengan anda Tuan Baron!" teriak Aruna yang melangkah mendekati Kakek Barra dan Tuan Baron.
"Hey! Lancang sekali kamu menolak tawaranku?!" bentak Tuan Baron. Ia murka seketika saat lamarannya ditolak Aruna.
"Kamu bisa hidup senang, Aruna. Kamu juga tidak akan susah membayar utang orang tuamu. Rumah kumuh ini akan tetap menjadi milikmu," tegas Tuan Baron.
"Tidak!" jawab Aruna tegas.
"Kamu berani melawanku?" hardik Tuan Baron.
"Saya tidak takut dengan anda, Tuan Baron!" hardik Aruna.
Tuan Baron meradang
"Berani kamu melawanku?" tantang Tuan Baron.
"Aku hanya takut sama Allah!" jawab Aruna lantang.
"Baik. Silakan kamu bereskan barangmu, detik ini juga kamu angkat kaki dari rumah ini. Rumah ini akan menjadi milikku seutuhnya!" jawab Tuan Baron murka.
"Tidak! Ini rumahku. Aku yang berhak, bukan anda Tuan Baron!" ujar Aruna dengan tatapan bengisnya.
"Ka-mu ....."
bersambung ....