Malam pukul 22.00
Malam itu terjadi kebakaran disalah satu gedung yang cukup besar.
Pria paruh baya itu panik, beberapa kobaran Api mulai membakar dinding dan jendela, ia tidak bisa keluar dari ruangan penuh asap itu.
Sementara Haikal dan Ayahnya tiba di tempat kejadian, sudah ada Andhika, Ayahnya dan Ibunya yang terlihat panik sembari menatap tempat kebakaran tersebut.
"Jep!" panggil Ayah Haikal, lalu pria yang dipanggil Jep itu menengok langsung mendekati Ayah Haikal, dengan muka memohon.
"Ayah di dalem, pemadam belum dateng, tolong saya Jay, tolong!" ujarnya panik.
"Kakek!!" itu suara Andhika yang berteriak memanggil sang kakek yang masih belum kelihatan.
"Haikal kamu diem disini ya, Ayah kedalam," ujar Ayahnya.
"Ayah! nggak! bahaya, Haikal gak mau!" cegah Haikal.
"Tapi kakek temen kamu didalam nak! Ayah harus selamatkan!"
"Ayah gila! itu bahaya Ayah!" geram Haikal meringis pelan.
"Ayah pasti kembali nak, kamu disini ya.. temenin Andhika!"
Haikal hendak menarik tapi Ayahnya sudah berlari memasuki ruangan penuh api itu.
"Nggak! Ayah!" Haikal berteriak histeris, ingin berlari juga namun Bundanya datang dan mencegahnya.
"Lepasin Nda! Ayah didalam, Haikal gak mungkin biarin Ayah mati!" Haikal memberontak, lalu Bundanya memeluk Haikal yang tengah menangis histeris.
"Ayah pasti baik baik aja Haikal, Bunda janji itu... Ayah kamu mau menyelamatkan Kakek Andhika.." ujar sang Bunda menenangkan Haikal.
Sementara Keluarga Andhika tidak tau harus berbuat apa melihat apa yang Ayah Haikal lakukan barusan.
...
"Kenapa kalian lelet!"
Haikal berteriak histeris dikala kobaran api sudah mulai padam, Haikal menggenggam tangannya menatap pria paruh baya dihadapannya yang terbaring lemah.
Ayahnya.
"Ayah.." lirih Haikal pelan.
Bukan hanya ia yang berduka tapi Andhika, kakeknya juga sudah tidur terlelap.
"Mas... bangun.." lirih Bundanya pelan.
Haikal berdiri menatap sekelilingnya, Bundanya yan menangis histeris setelah kehilangan suaminya, dan Keluarga Andhika pun sama kehilangan Kakeknya.
Pria itu menunduk, bahu nya bergemetar hebat, berharap yang ia saksikan barusan hanyalah mimpi.
...
Proses pemakaman.
Haikal dan Bundanya berada di pemakaman, mereka masih menetap dan tak ada niatan beranjak pulang, dengan pakaian serba putih, Haikal menangis, dia masih menangis semenjak memandikan Ayahnya, sampai tiba proses pemakaman.
"Nak.."
Bundanya masih bersuara, Haikal dapat mendengar suaranya, tapi Haikal masih merasa menyesal.
Andai saja dia bisa mencegah Ayahnya waktu itu, Andai saja pemadam dateng lebih cepat, dan andai saja Ayahnya tidak ikut masuk, pasti semua tidak akan terjadi, dan hari ini pasti masih bersama Ayahnya.
Dia tidak menyimpan dendam sama sekali, tapi Haikal hanya tidak habis pikir, bagaimana keluarga itu bisa diam saja saat Ayahnya masuk.
"Kenapa Nda... kenapa Ayah harus masuk kedalam?" lirih Haikal pelan.
"Nak.."
"Harusnya Ayah masih disini Nda.."
"Harusnya Ayah temenin Haikal wisuda.."
Lalu Bundanya mengelus pundak putranya pelan, dan memeluknya, masih dalam tangis.
"Masih ada Bunda nak... ikhlasin yaa... biar Ayah bahagia..." ujar Bunda menenangkan Haikal.
"Yang Ayah kamu lakuin itu bener, Insha Allah surga buat Ayah nak.."
Bunda menatap putra satu satunya itu dengan sendu, lalu mengusap pipinya, membenarkan peci yang Haikal pakai, lalu berusaha tersenyum.
"Janji sama Bunda.. Ikhlasin Ayah ya.." ujar Bunda pelan, menatap Haikal.
Haikal mengangguk, "Iya Nda..."
"Anak Bunda udah dewasa... kamu jangan sampe benci sama Andhika ya nak.." ujar lagi, kali ini mengelus pundak Haikal pelan.
"Nggak kok Nda.. Haikal nggak dendam sama sekali."
"Sekarang.. kita ke makam kakeknya Andhika ya, mau?" ajak Sang Bunda lalu di angguki Haikal sebagai jawaban.
...
Haikal dan Bunda nya sudah tiba di makam kakeknya Andhika yang barusaja berlangsung.
"Diyah... turut berduka cita ya.." ujar Bunda Haikal pelan pada Ibunya Andhika.
"Ini semua gara gara bokap lo Haikal! lo liat kan! coba kalo bokap lo berhasil, kakek gue masih hidup!" sarkas Andhika pada Haikal, hal itu membuat para orangtua menatap sinis pada Andhika.
Plakk!!
Tamparan itu mendarat di pipi Andhika, ibunya menampar putranya.
"Jaga bicara kamu Andhika! Kamu gak sadar! mereka juga berduka!" sarkas Diyah ibu Andhika.
"Siapa yang ajarin kamu kayak gini?" kali ini Ayah Andhika mulai bersuara.
"Udah udah... gak baik berantem disini, apalagi kita lagi berduka.. Andhika.. Tanten minta maaf atas Suami tante yang gagal menyelamatkan kakek kamu, tapi kamu juga tolong jangan salahin suami tante.. karna dia juga berusaha selamatkan kakek kamu.." ujar Bunda Haikal pelan.
Andhika tak menggubris, ia lalu bergegas meninggalkan mereka yang masih mematung menatap Andhika.
"Maafin Andhika ya nak.." ujar Diyah.
"Nggak apa apa tante," Haikal tersenyum sedikit padanya, lalu kembali menatap kepergian Andhika yang mulai menjauh.
Haikal mengerti, Andhika sangat kehilangan, pasalnya semenjak kecil dia selalu bersama kakeknya, dan sekarang, kakeknya sudah tidak bisa bersamanya lagi.
Sama halnya seperti dirinya, Haikal bisa saja menyalahi keluarga Andhika, tapi tidak.. Haikal tidak mau membuat masalah, dan memang sudah takdir seperti ini, dan Haikal pun tak bisa berbuat apapun, yang harus ia lakukan adalah menerima keadaan.