Haikal kembali berjalan keluar rumahnya, setelah berdiam lama di kamarnya.
Sudah pukul 22.30, yang seharusnya dia sudah tidur, malam ini Haikal tidak bisa tidur, dan kebetulan, Willy mengajaknya bertemu, dan Haikal mengiyakan ajakan Willy, lagi pula Haikal perlu menjernihkan pikirannya.
Haikal tiba di restoran yang tak jauh dari rumahnya, tempatnya lumayan sepi mungkin karna sudah larut. Haikal berjalan memasuki restoran itu, lalu manik hitamnya mencari cari sang empu yang tadi mengajaknya ke tempat yang ia masuk sekarang.
Haikal tersenyum simpul setelah mendapati Willy yang ternyata tak jauh duduk di samping jendela, ia berjalan mendekati Willy.
"Pak Willy.." sapa Haikal pelan.
Willy tersenyum senang setelah Haikal datang mengiyakan ajakannya, lalu ia mempersilahkan Haikal duduk.
"Tau nomor saya dari siapa?" tanya Haikal.
"Om kamu.. nggak apa-apa kan saya minta?" jawab Willy yang lalu berbalik tanya.
"Boleh pak, untuk urusan bisnis," ujar Haikal terkekeh pelan.
"Kamu udah makan?" tanya Willy.
"Saya lagi nggak nafsu makan pak."
"Kenapa gitu?"
Haikal hanya menjawab dengan senyuman yang simpul, dan Willy pun dapat menebak, mungkin karna kejadian pagi dikampus tadi.
"Saya pesenin ya.. kamu mesti makan, ini udah mau jam 12 malem," tutur Willy yang lalu hanya dibalas anggukan oleh Haikal.
Willy memanggil pelayan, lalu memilah milih makanan yang akan ia santap bersama Haikal, sembari membayar.
Setelah itu keduanya hanya saling terdiam, Willy yang sepertinya agak canggung, sementara Haikal yang mungkin masih dalam mood buruk.
"Eumm.." Willy mulai bersuara untuk mencairkan suasana, sementara pria yang mirip adiknya itu hanya menatapnya.
"Maaf saya lancang, ajak kamu kesini, padahal kita baru ketemu.." ujar Willy.
"Nggak apa apa," jawab Haikal singkat.
Willy mengerutkan keningnya, merasa sangat tua setiap kali Haikal memanggilnya 'Pak'.
"Kayaknya kamu nggak perlu panggil saya pak, saya ngerasa canggung," ujar Willy.
Haikal terkekeh lalu menjawab, "Pak Willy partner bisnis, nggak enak saya pak."
"Justru saya ngerasa tua, hehee.."
"Ah gitu.."
"Lagian kita cuma beda 2 tahun," jelas Willy lagi.
"Bang Willy?" ujar Haikal sembari mengangkat alisnya.
"Boleh, saya seneng kalo kamu panggil saya gitu," kata Willy senang.
"Berarti saya nggak perlu bicara formal sama bapak? ah maaf, bang willy!"
"Itu lebih baik," Willy tersenyum, lalu Haikal pun tersenyum.
Lagi, keduanya terdiam.
Willy benar benar berada di situasi yang tak pernah ia rasakan, senang, canggung sekaligus haru.
Mungkin ada sekita 7 menit mereka saling diam, Haikal yang sibuk mengetik ponselnya, sementara Willy sibuk menatap Haikal, sampai akhirnya makanan tiba.
"Gue tau Kevin," ujar Haikal.
Willy mendongak menatap Haikal ketika mendengar nama Kevin ia sebut.
"Sepupu temen Gue satu sekolah sama dia, katanya Kevin pinter ya Bang," ujar Haikal.
Willy tersenyum, menggangguk.
"Adik saya pinter dan penurut," jawab Willy.
"Gue gak bisa gantiin Kevin kalo Bang Willy minta itu, tapi Bang Willy bisa temui Gue kalo lagi kangen Kevin," kata Haikal pelan.
"Saya nggak mau libatin kamu, Kevin ya Kevin, Haikal ya Haikal, saya nggak bisa maksa kamu buat sepenuhnya jadi adik saya cuma karna mirip," jawab Willy pelan.
"Andhika bilang kalo Ayah pembunuh, makanya Gue pukulin Andhika," Haikal mulai bercerita kejadian di kampus tadi.
Sementara Willy menaruh sendoknya, mendengarkan Haikal bercerita.
"Ayah meninggal 5 tahun lalu, saat kejadian kebakaran di rumah Kakeknya Andhika.."
"Gue sama Andhika temen deket, kita kemana mana sering bareng.."
"Tapi Andhika berubah setelah kejadian kebakaran, apalagi setelah Gue jadi ketua geng, dia paling nggak suka liat Gue bahagia.."
"Dia selalu bilang, kalau dia menderita karna Ayah gagal menyelamatkan Kakeknya.."
"Ckk.. padahal Gue lebih menderita setelah kehilangan Ayah.."
"Dari dulu Andhika selalu cari gara gara.. dia suka mancing Gue, dan Bunda juga..."
"Nggak pernah nanya, Gue kenapa, dan sebenarnya apa yang terjadi.."
Haikal terdiam sejenak, sorot matanya terlihat berkaca, dan Willy bisa tebak, pemuda dihadapannya ingin menangis.
"Gue nggak tau kenapa tiba tiba rasanya pengen cerita ke Bang willy.."
"Bang Willy ingetin Gue sama Ayah," ujar Haikal menatap Willy haru.
"Kamu bisa anggap saya sebagai Ayah kamu kok, kita seimbang kan?"
Haikal mengangguk tersenyum, begitupun Willy. Setelahnya mereka mulai menyantap makanan bersama sembari mengobrol banyak hal.