"Bu, kau bangun? Lihatlah siapa yang datang!" Ucap Bai Lian dengan perasaan haru dan juga bahagia ketika mata tua milik istrinya itu terbuka dengan perlahan. Suara sang ayah membuyarkan lamunan Zi Hua. Ia segera meraih tangan keriput itu dan menggenggamnya erat.
"Bu, ini aku! Aku sudah kembali!"
Bola mata yang sudah terbuka lebar itu mulai menitikkan air mata begitu menyadari sosok putranya telah duduk di sampingnya dengan tangan erat menggenggam tangannya.
"Kau pulang, nak?" Tanya Huang Xian dengan lirih. Karena saking lemahnya, ia tak mampu beranjak, padahal ia sangat ingin memeluk putra kesayangannya itu. Ia benar-benar sangat merindukan Zi Hua. Terlihat jelas di matanya bahwa wanita tua itu sangat bahagia karena bisa melihat lagi putra yang ia pikir tak akan kembali lagi mengingat rumor di luar sana bahwa tidak ada yang pernah kembali hidup-hidup setelah pergi ke hutan gunung hantu.
"Iya, ini aku, Bu! Kenapa kau sakit? Kau tak mendengarkanku, kan?" Zi Hua menghela nafas panjang, mencoba untuk tidak menangis di depan ibunya, agar tak menambah beban sang ibu karena air matanya.
"Bukankah sudah ku katakan, jangan khawatirkan aku! Aku akan baik-baik saja. Yang paling penting adalah kesehatan ibu!" Ibu mengerti, kan?" Imbuhnya lirih, hampir terdengar seperti keluhan namun menyimpan kepedulian yang mendalam.
"Ibu baik-baik saja! Ibu hanya takut kau tak makan dengan baik! Kau sungguh tak apa-apa?" Tanyanya dengan sisa tenaga yang ia punya. Wanita tua itu terlihat sangat lemah. Selain karena memang sudah tua, juga karena sakit yang di deritanya cukup membuat tubuhnya melemah.
"Sungguh! Lihatlah! Aku sangat sehat!" Zi Hua memaksakan senyumnya.
"Oh ya, Yah! Apa sudah memanggil tabib?"
"Ibumu bersikeras tak mau! Selain itu, kau juga tahu, kan? Kami tak punya cukup uang!" Lirih Bai Lian.
Zi Hua menatap ibunya, kemudian berbisik, "Bu, sekarang dengarkan aku! Kita panggil tabib dan obati sakit ibu, akan ku masakkan sesuatu yang enak untuk ibu, tunggu aku!" Ucapnya tak menerima bantahan.
Zi Hua beranjak hendak pergi ke dapur, sebelum itu, ia mengatakan pada sang ayah agar segera memanggilkan tabib untuk ibunya. Karena keadaannya yang lemah, Huang Xian hanya bisa pasrah. Saat ini, hanya satu yang ia rasakan, yaitu kebahagiaan karena putranya telah kembali dengan selamat. Ia tak peduli dengan hasil yang di bawa Zi Hua. Bagi seorang ibu, keselamatan anak lah yang paling berharga. Rasa sakit yang ia rasakan selama berhari-hari ini, mendadak tak ia rasakan lagi begitu melihat senyum dan wajah ceria sang putra.
Setelah di periksa oleh tabib dan di beri obat, keadaan Huang Xian terasa jauh lebih baik. Dengan kehadiran sang putra semakin membuatnya cepat pulih dari sakitnya.
Malam itu, Zi Hua menikmati bulan di depan rumah kecilnya. Rumah kayu yang sudah cukup tua itu terasa hangat setelah ia mengalami peristiwa aneh beberapa hari yang lalu yang ia kira ia tak akan kembali lagi ke rumah ini dan berkumpul bersama dengan kedua orang tuanya.
Dalam keheningan dan kesendirian, Zi Hua teringat kembali sosok wanita yang telah mengisi hatinya. Sudut matanya terlihat berair, bayangan Yue Mi saat menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukannya, membuat hatinya kembali terasa nyeri. Wanita yang sangat ia cintai mati di depan matanya dengan sangat memilukan.
"Sedang memikirkan apa?" Suara berat Bai Lian membuyarkan lamunannya. Zi Hua mengusap sudut matanya.
"Tidak apa-apa."
"Kau menangis?" Bai Lian menyentuh pundak putranya.
"Tidak."
"Kau menangis!" Sang ayah membenarkan ucapannya.
"Sudah ku bilang, tidak! Kau sok tahu!" Zi Hua mendengkus.
"Kenapa? Kau lebih seperti orang yang baru putus cinta." Bai Lian mencibir.
"Diamlah! Jangan asal bicara!"
"Sudah ku duga. Mana mungkin orang sepertimu mengerti tentang cinta." Bai Lian terkekeh sendiri. Sementara itu, Zi Hua hanya melirik ayahnya dengan kesal. Lebih tepatnya, ia malas berbicara pada laki-laki paruh baya itu jika itu tidak penting.
Hubungan Bai Lian dengan Zi Hua memang sangat dekat. Namun, kedekatan mereka lebih sering di ekspresikan melalui pertengkaran atau konflik ringan. Namun, meski sering bertengkar dan berbeda jalan, keduanya tetap saling peduli dan memahami. Rasa sayang antara ayah dan anak itu tidak bisa di lihat dari kaca mata orang biasa.
Zi Hua melirik ayahnya dengan malas. Namun, seketika wajahnya berubah berbinar.
"Yah, apa ayah percaya ada alam selain alam manusia di dunia ini?" Tanya nya serius.
"Percaya!"
"Nah…" Zi Hua menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Bai Lian.
"Aku baru saja masuk ke dalam dunia itu, Yah!" Imbuhnya dengan mata berbinar karena ia bisa berbagi dengan sang ayah yang juga mempercayai adanya dunia selain dunia manusia.
Bai Lian memicingkan matanya, "Kau ngelindur?"
"Tidak! Aku sungguhan! Kemarin waktu aku ada di hutan gunung hantu, aku terperangkap ke dunia iblis, juga ke dunia dewa." Zi Hua mulai menjelaskan apa yang ia alami.
Mendengar penuturan putranya, Bai Lian sontak menyentuh kening Zi Hua menggunakan punggung tangannya.
"Kau juga tidak demam, tapi kenapa bicaramu ngawur begitu?"
"Aaahhh… Ayah! Aku serius!" Zi Hua mendengkus kesal karena ayahnya tidak mempercayainya. Bai Lian menatap putranya dengan seksama, ia memang menemukan kejujuran di matanya. Tidak ada yang terkesan di buat-buat.
"Sudahlah, kalau kau tak percaya percuma saja aku mengatakannya." Zi Hua mendesah.
"Apa yang kau dapatkan dari kepergianmu ke gunung hantu? Apa di sana memang seperti yang di rumorkan?" Tanya Bai Lian menyadari sesuatu yang penting yang lupa ia tanyakan pada putranya sejak dia kembali.
"Ya. Memang rumor itu benar!" Jawab Zi Hua malas.
"Sungguh? Benar-benar ada monster di sana?"
"Aku malas berbicara padamu! Meski ku beritahu kau juga tak akan percaya padaku, kan?" Zi Hua mencibir. Ia masih kesal karena beberapa detik yang lalu, ayahnya mengabaikan perkataannya. Sampai mengira dirinya demam juga ngelindur. Padahal saat ini, ia sangat membutuhkan seorang teman untuk berbagi pengalaman dan keluh kesah serta duka yang sudah ia alami beberapa hari yang lalu saat ia berada di dunia yang berbeda.
"Ayah hanya bercanda!" Ucapnya tersenyum lebar. Zi Hua masih tak bergeming. Sementara itu, Bai Lian semakin merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya di alami oleh sang putra, apakah benar seperti yang di rumorkan bahwa hutan itu berhantu?
"Cepat ceritakan tentang perjalananmu!" Desaknya.
Pandangan Zi Hua menerawang. Ia masih teringat betul apa yang ia alami selama berada di hutan itu. Bai Lian tampak menunggu putranya berbicara. Namun, belum sempat Zi Hua mengucapkan sepatah kata, ada sebuah suara yang mengejutkan keduanya.
Gubbraaakkkk….
Keduanya saling bertatapan. Mencoba menebak sendiri-sendiri suara apa yang baru saja mereka dengar.
"Ibu!"
Tanpa menunggu lama, mereka langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Mencari sosok sang ibu yang seharusnya berbaring di tempat tidurnya.
Namun, Huang Xian masih terbaring dan terlelap dengan pulas. Melihat itu, mereka baru menyadari bahwa suara itu berasal dari kamar Zi Hua.
Begitu masuk ke dalam kamarnya, Zi Hua melihat seseorang terpental dari ranjangnya, hingga membuat meja kayu itu roboh karena tertimpa tubuh orang itu. Anehnya, tidak ada siapapun yang menyerangnya. Tapi, kenapa dia seperti baru berperang?
"Siapa kamu?" Hardik Zi Hua begitu orang itu bangun. Sambil memegang pinggangnya, dia berjalan ke arah Zi Hua. Melihat kembali ke kanan kiri, memastikan keselamatannya karena serangan yang tiba-tiba tanpa terlihat siapa penyerangnya.
Tanpa persiapan, wajah Zi Hua di hantam oleh orang yang berpakaian serba hitam itu yang di tutupi kain cadar di bagian wajahnya. Seketika, pandangannya kabur, Zi Hua pingsan.