Sipoel. Lelaki tua pada kisaran umur 65 tahun. Berdiri mematung dengan bertumpu pada tongkatnya di seberang wisma. Tepat benar ia berada di depan plakat, seolah mengeja nama wisma tersebut. Meski salah satu huruf—huruf "C"—pada nama wisma tersebut hilang, Lelaki yang berkerabat dengan kesendirian itu masih bisa mengeja nama wisma secara lengkap: CEMPAKA. Ia membaca sekaligus memanggil ingatannya saat beberapa bulan yang lalu sempat melewati wisma ini. Saat itu tulisan pada plakat tersebut masih utuh. Ia tertarik menghafal nama wisma ini karena sekilas ia menangkap sebuah lukisan yang sangat dikenal, menempel di ruang depannya.
Hampir tiga menit ia berada di sana. Tak hirau dengan lalu lalang kendaraan yang kadang sesekali berjalan sangat dekat sekali dengan tubuhnya. Pandangan matanya tak pernah berubah meski beberapa kali mobil besar yang lewat juga menghalangi pandangan ke arah plakat tersebut. Sebegitu khusyuk menatap agak ke atas, searas dengan tulisan Wisma Cempaka yang tanggal pada bagian huruf 'C'-nya.
Beruntung seorang perempuan yang ia ketahui berasal dari dalam wisma tersebut menghampiri dengan dandanan yang sedikit berlebihan baginya; pewarna bibir tebal dan garis alis melenting terlalu panjang ke atas. Seandainya perempuan berdandan aneh itu tidak cekatan menangkap kehadiran tamu pertamanya di seberang jalan ini, mungkin Sipoel akan semakin senang berlama-lama mematung, sepanjang malam hanya menatakkan kedua kakinya di sini.
"Mari saya bantu menyeberang," ucap perempuan yang mungkin usianya selisih 10 tahun dengannya.
"Emh, iya. terima kasih."
Sipoel segera memindahkan tongkat yang sebelumnya dipegangi dengan kedua tangan, ke tangan kiri, lantas memberikan lengan tangan kanannya untuk digandeng perempuan tersebut. Ia merasa terbantu dengan kehadiran perempuan tersebut. Karena pada dasarnya dia sendiri tidak memiliki keberanian untuk sekedar melangkahkan kaki. Memasuki wisma dan kemudian tidur dengan salah satu pelacurnya adalah pengalaman pertama kali. Sehingga sekedar membaca plakatnya saja dari seberang jalan, ia sudah merasa ganjil dan terpikir untuk kembali pulang.
Namun rasa penasaran dan perasaan bahwa umurnya tak panjang lagi, membuatnya tidak punya pilihan. Malam yang belum sebegitu malam pada malam ini, Sipoel harus bisa memastikan bahwa di dalam sana terdapat dua senyawa; Lalat dan Bulan Purnama.
Lelaki tua ini sangat bersyukur dengan ketanggapan pemilik wisma. Perempuan dengan beberapa gelang dan kalung emas yang menggantung. Dandanan berlebihan. Aroma minyak wangi yang tercium sangat aneh dan tua bagi Sipoel.
Sebenarnya ia sangat terganggu dengan segala hal pada perempuan yang pada umumnya orang-orang memanggilnya dengan sebuatan 'Mami'. Namun perasaan terbantu oleh jemputan yang baru saja hadir dari mami, membuatnya bisa menyisihkan perasaan tersebut. Meski diam-diam isi kepalanya terus berjalan dengan imajinasi yang buruk, di mana jika ia menutup mata dan lantas ada aroma yang hadir seperti aroma Mami ini, ia akan secara otomatis menolak kehadirannya.
Terbayang pada dirinya bahwa aroma itu akan menyampaikan bentuk tubuh pendek yang melebar ke samping, buah dada besar yang jatuh hingga tampaknya tumbuh di perut bagian atas, dan wajah penuh lukisan sureal—bibir yang lebih tebal dari aslinya, wajah yang lebih putih dari lehernya, serta goresan alis yang entah seharusnya melengkung ke atas atau ke bawah. Cantik bagi mereka, tapi menakutkan bagi lelaki tua yang merasa umurnya tak panjang lagi ini.