Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Incursion

geralt_rivia
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.5k
Views
Synopsis
Kematian tidak wajar terjadi dengan keadaan yang juga tidak wajar. Di mana sesuatu yang menyeramkan menghantui provinsi paling utara di Kekaisaran. Apa yang menyebabkan kematian ini? dan jika ada sihir hitam yang terlibat, apakah itu akan menghancurkan seluruh dunia?

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Incursion

Menjelang akhir tahun yang suram, seorang pembawa pesan datang dari provinsi paling utara. Penyihir muda itu berasumsi bahwa mereka telah membayar dengan harga yang pantas, karena dia menerima pesan lebih cepat dari yang seharusnya. Seorang kurir tua membawakan slip pesan dan menunggu hingga selesai dibaca.

"Dia tampak sangat bersikeras," Penyihir muda itu berkomentar. "Kau mengenalnya?"

"Hugo D'Anaur? Aku tidak tahu banyak. Dia tahu Anda adalah Magos terdekat dan berharap bisa membantunya."

"Aku belum menjadi Magos. Hanya penyihir muda."

"Apapun itu," kata sang kurir, mengangkat bahunya yang miring. "Terdengar sangat penting, apa itu masalah besar?"

"Bukan urusanmu."

Hugo D'Anaur, seorang Pendeta yang bertugas di ibukota Kratogen melaporkan kematian yang aneh. Dia mencurigai terdapat sesuatu yang salah, dan meminta bantuan dari Kekaisaran untuk masalah ini. Kekaisaran tentu saja akan menolak kecuali untuk dua hal. Pertama, Kratogen merupakan provinsi penghasil baja terbesar, dan dua, ini adalah kematian pejabat tinggi.

"Bagaimana aku pergi ke sana?" tanya penyihir muda. "Tempat itu sangat jauh?"

"Kau dapat menumpang kapal barang." Fabien tertawa. "Mungkin segel kekaisaran itu dapat membantu."

---

Perjalanan menuju Kratogen terbilang sangat rumit, hal ini dikarenakan hampit terdapat kapal yang berlabuh kecuali untuk keperluan pertambangan, perlengkapan hidup, dan pekerja yang tidak takut mati. Tentu saja, para kru kapal menolak untuk memberikan tumpangan tetapi segera diam ketika penyihir muda itu memberikan beberapa botol minuman terbaik. Mereka kemuian memperkenalkannya pada Kapten kapal yang sedari tadi berdiri di atas geladak

"Kau yakin ingin pergi ke sana?" tanya Kapten kapal. Dia melihat sebuah surat yang memiliki cap dari Kekaisaran. "Ini akan menjadi perjalanan yang panjang."

"Berapa lama?" tanya penyihir muda.

"Satu minggu yang terbaik," Kata kapten kapal melalui senyum muramnya. "Dan tiga bulan adalah yang terburuk."

Di kejauhan yang memudar, mereka bergerak dengan pelan. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh penyihir muda itu selain berbaring, dan bertukar cerita dengan kru kapal. Kebanyakan dari mereka adalah bekas pelaut yang mencoba peruntungan yang lebih baik. Mereka mengatakan bahwa sesuatu yang aneh dan tidak masuk akan selalu terjadi di Ölso. Setelah lima hari merangkak di sepanjang selat Øresund, mereka membawa penyihir muda itu melewati celah dan akhirnya masuk menuju Kratogen.

Kratogen tidak terlalu mengecewakan. Dingin, salju yang turun setiap hari, dan tanah beku yang abadi terlihat seperti berkah daripada kutukan.

Ibukota provinsi itu adalah Ölso, karena dari sanalah pemukiman pertama didirikan. Pertambangan dan ekstraksi mineral adalah satu-satunya pekerjaan menguntungkan yang dapat ditemukan. Tidak lama kemudian, penambang menjadi pekerjaan utama. Akibatnya, pertambangan dan peleburan bijih menjadi industri utama yang menghidupi Ölso. Deposit mineral sudah diketahui dua abad sebelum Ölso didirikan, tetapi pertambangan baru dimulai dua dekade sebelum Perang Besar Kekaisaran berakhir.

"Kota ini sering terjadi pembunuhan, kau tahu?" kata nahkoda, dalam percakapan.

"Aku telah mendengar sesuatu seperti itu."

Sang nahkoda mengangguk. "Kekaisaran mengutusmu?"

"Dalam beberapa hal, ya. Mengapa?"

"Telah banyak yang tewas."

"Berapa banyak?" Penyihir muda bertanya.

"Aku tidak tahu, tapi sangat banyak."

---

Mereka membutuhkan waktu dua hari lagi untuk tiba di Ölso, dan kota itu serupa dengan kota lain, kecuali lebih tercemar karena asap tebal di langit yang kotor. Melalui kaca bundar, Penyihir muda itu dapat melihat noda jelaga yang menempel menghadap pada menara sepanjang pelabuhan. Derek berat berdengung diantara struktur kota yang besar dan cahaya menyala dalam pabrik yang menyemburkan asap hitam pada musim dingin abadi.

Penyihir muda itu mulai mengemas beberapa barang ke dalam tas kulit berwarna gelap. Seseorang telah menunggunya dengan cemas, tetapi dalam benaknya hanya ada beberapa hal untuk dipikirkan: senjatanya, pakaiannya, dan sebuah buku yang terbungkus rapi. Dia tidak yakin itu perlu, tapi berharap kasus ini akan selesai dalam dua atau tiga hari. Lagipula, Ölso terlihat seperti telah dikutuk, dan penyihir muda itu tidak ingin berlama-lama.

"Magos Konrad," teriak seorang pria yang kemudian menghampiri. Pria itu mengenakan mantel tebal berwarna cerah, tidak sesuai dengan gaya pakaian di Ölso yang suram.

"Ya," jawabnya singkat.

"Hugo D'Anaur," katanya, berusaha untuk berjabat tangan. "Kepala pendeta dan dan satu-satunya dokter di kota terpencil ini."

"Haruskah aku memanggilmu dokter atau pendeta?"

"Apapun itu, tapi aku selalu dipanggil Pendeta Hugo."

Konrad mengangguk. "Bailah kalau begitu, Pendeta. Kau tahu kedai minum di sekitar sini? Aku butuh minuman untuk menghangatkan diri."

Hugo menatapnya. "Kau yakin?" katanya heran.

"Hanya bir ringan, Pendeta. Lagipula aku tidak ingin mabuk."

---

Mereka berjalan di antara sudut-sudut jalan yang bersalju, melewati kios-kios penjaga yang setengah tutup dan pendeta itu terus bercerita tentang adik perempuan yang tinggal di ibukota. Ada sesuatu keramaian yang janggal ketika Town sermon —seseorang yang mengabdikan diri untuk membuat menyebarkan kata-kata ilahi di publik— berteriak tentang juru selamat yang akan datang yang datang untuk membebaskan kota yang malang ini. Beberapa dari mereka berteriak, beberapa yang lain bergembira dan banyak dari mereka berdoa atas nama dewa-dewa lama.

"Ayo pergi," kata Hugo. "Tempat ini masih memiliki takhayul yang kuat." Dia menarik lengan Konrad, melepaskannya dari kerumunan yang ramai.

Mereka berhenti di depan kedai minum, berdiri untuk waktu yang lama dan Penyihir muda itu tidak mendengar sesuatu yang riuh. Merasa bahwa itu adalah tempat yang cocok dan tidak menarik perhatian, mereka masuk dan duduk di sudut terjauh di kedai minum.

Hugo berteriak.

"Dua gelas bir," dia memanggil. "Dan duduklah lebih dekat. Aku tidak ingin siapapun mendengar ini."

Bir kemudian datang, ketika tiba, dingin dan berbusa.

"Aku tidak tahu bagaimana," gumam Hugo, menatap gelasnya. "Tapi pembunuhan ini bukan disebabkan oleh manusia."

Penyihir muda itu mengangkat alisnnya. "Bukan disebabkan oleh manusia?"

"Sebuah binatang buas." Hugo menjawab dengan cepat. "Ya, binatang buas adalah kata yang tepat."

"Mengapa kau mengatakan itu?"

"Karena tidak ada manusia yang dapat melakukan hal keji seperti ini."

Konrad terdiam sejenak. "Jadi pembunuhan ini disebabkan oleh 'sesuatu' bukan manusia dan baru saja membunuh salah satu pejabat tinggi Kratogen?"

Hugo mengangguk.

"Aku rasa," dia mengatakan dengan pelan, "Kau selalu menangani masalah seperti ini, benar?"

"Tidak juga," jawab Konrad sambil menyesap bir.

Hugo mengangguk pelan. "Ini adalah kisah yang panjang," dia memulai. "Kematian adalah sesuatu yang wajar … tetapi tidak di tempat ini. Aku tidak hanya mengatakan pada kematian ini, melainkan pada seluruh hal. Kecelakaan yang selalu terjadi, penyakit yang datang tanpa sebab, dan itu bukanlah yang terburuk. Beberapa warga saling membunuh, memakan jantung yang tewas, lalu berhenti seperti tidak terjadi apapun.

"Meskipun begitu, 'kematian' ini adalah kasus yang yang menyita perhatian publik. Kematian Gubernur adalah sesatu yang tidak wajar menurutku, paling tidak untuk pejabat tinggi. Aku tidak ingin mengatakan ini tapi … sesuatu yang keji telah mengintai sejak dulu. Sesuatu yang membutuhkan bantuan dari Collegia Magika untuk mengakhiri kegilaan ini

"Tidak, tidak sama sekali. Gubernur merupakan seorang yang taat dan selalu berdoa atas keselamatan kota terbelakang ini. Dia adalah dan satu-satunya penduduk asli Ölso yang menghadiri misa. Aku lebih banyak bekerja sebagai dokter dibanding pendeta, kau tahu?

"Gubernur? Penduduk Ölso sangat menghormatinya, mereka menganggap Gubernur sebagai pelindung dan pemimpin kota malang ini. Dengan kematiannya, penduduk lokal mulai berasumsi bahwa hari akhir akan datang dan juru selamat akan segera tiba. Aku tidak tahu mengapa, tetapi dalam dua tahun terakhir ini … katakan saja mereka telah berpaling menuju Dewa-Dewa pagan.

"Aku yakin bahwa Gubernur telah tewas dengan cara yang tidak seharusnya, dan sangat disayangkan dia tewas dengan cara yang mengenaskan. Itu kematian yang mengerikan tentunya, dan aku berpikir bahwa kasus ini layak mendapat perhatian dari Collegia. Atau setidaknya itulah yang aku pikirkan, sesuatu yang keji selalu menghantui kota Ölso."

Peyihir muda itu memandang Hugo sejenak. Dia masih muda, seragam Medico berwarna putihnya terlihat sangat kontras dengan pengunjung lain. Kerahnya berwarna emas dengan lencana Caduceus, simbol dokter yang terkemuka.

"Sesuatu yang keji?" tanya Konrad. "Apakah mereka selalu mati dengan cara yang mengerikan?"

"Sayangnya, ya."

"Berapa banyak korban?"

"Ratusan."

"Itu." Konrad berhenti, menyesap gelasnya. "Itu sangat banyak."

"Karena dalam banyak kasus hanya anggota badan yang ditemukan ataupun laporan orang hilang sehingga—"

"Kau berasumsi bahwa mereka sudah tewas?"

Hugo menggeleng. "Sebenarnya tidak, tetapi akan lebih mudah untuk menulis laporan kematian daripada kehilangan, bukan?"

Penyihir muda itu setuju tanpa mengalihkan pandangannya. "Baiklah. Antar aku ke kamar mayat."

"Bukankah ini terlalu cepat?"

"Mungkin," jawabnya. "Lagipula aku tidak ingin tinggal lebih lama di kota terbelakang ini."

---

Hugo membawanya ke kamar mayat. Tempat itu dingin, sangat dingin dengan dinding baja yang telah membeku. Terdapat lubang sumbat kuningan pada setiap beberapa meter di lantai, dan dari kejauhan, Penyihir muda itu dapat mendengar derai air dari saluran pemanas yang bocor. Garis-garis cahaya yang berwarna putih memenuhi ruangan dengan cahaya mengembun.

Mayat itu tergeletak di atas brankar di samping lemari baja. Itu ditandai dan ditutupi kain putih yang kini telah berubah menjadi merah. Tidak tercium bau busuk sedikitpun.

"Suhu dingin telah mempertahankan bentuk mayat ini. Haruskah aku mengatakan seperti itu?"

"Mungkin," kata Hugo, ketika membuka kain kafan. "Begitulah ketika kami menemukannya."

Penyihir muda itu mengangguk.

Mayat itu telanjang, tubuhnya seperti dicincang dan diremukkan seperti telah dimakan oleh binatang buas. Hanya Tangan dan kaki kirinya yang tidak tersentuh, perutnya terbuka lebar dengan tulang rusuk yang patah dan seluruh organ dalam telah menghilang. Bulu-bulu di dadanya berwarna hitam dan tegak.

Dia pasti berusia sekitar enam puluh tahun, pikir penyihir muda itu. Tidak terdapat memar pada bagian tubuhnya dan dia menduga bahwa mayat ini tidak melakukan perlawanan sama sekali.

Bagian depan wajahnya hancur, dan rahangnya telah digigit. Kepala hampir terputus dengan hanya sedikit leher yang tersisa. Sebagian dari struktur tengkoraknya telah hilang, bersama dengan telinga kiri yang terputus rapi. Kedua matanya tercungkil.

Penyihir muda itu tersedak, dan melihat ke samping.

"Luka itu cukup besar." Hugo menunjuk sesuatu. "Lihatlah ini!"

"Tampak seperti cakaran yang kasar," Konrad bergumam. "Sangat dalam dan kuat. Dan seperti ... sesuatu telah merobeknya. Di sekitar wajah dan leher."

"Apakah Griffin yang melakukan ini?" Hugo menebak. "Atau manticore?"

Penyihir muda itu menggeleng. "Dimana kau menemukan mayat ini?"

"Di sekitar Hutan Hitam, sekitar tiga minggu yang lalu, mengapa?"

Konrad tidak menjawab. Dia kemudian melihat tubuh dan perut mayat yang terbuka, meraba dan merasakan organ apa yang hilang.

"Lima belas sentimeter," katanya. "Tidak ada yang tersisa. Ini bersih. Maksudku, mahluk itu menghabisi tubuhnya dari dalam."

"Lalu?" Hugo bertanya, tatapannya tidak terlepas dari mayat yang membeku.

"Ini lebih buruk dari yang aku kira."

"Maksudmu?"

"Ini adalah pertama kali aku melihat mayat seperti ini." Penyihir muda itu menarik jarinya, menyeka darah beku dari sarung tangan. "Ini sangat bersih, kau menemukan petunjuk apapun?"

Hugo perlahan mendekat. "Tidak terdapat menemukan residu bulu ataupun kotoran. Sesuatu yang sangat tajam telah menyebabkan luka ini."

"Aku pikir juga begitu, dan sangat tidak mungkin untuk manusia yang menyebabkan ini."

"Mengapa?"

"Ini adalah luka besar yang mungkin disebabkan oleh Fenrir."

"Fenrir?"

"Itu adalah kemungkinan terbesar." Konrad kemudian menggosokkan tangannya. "Sial, tempat ini terlalu dingin."

Hugo terdiam, menyimpan kata-kata untuk dirinya sendiri.

"Griffin dapat melakukan hal seperti ini, bukan?" dia memberi pendapat. "Atau Manticore?"

"Griffin tidak tinggal di gunung bersalju," jawab penyihir muda itu. "Dan aku tidak yakin jika ini disebabkan oleh Manticore, luka ini tidak membusuk ataupun menghitam."

"Jadi pembunuhan ini disebabkan oleh Fenrir?"

Konrad mengangguk. "Kemungkinan besar," Dia melanjutkan. "Berapa lama 'kasus kematian' ini terjadi?"

"Kira-kira lima belas atau dua puluh tahun."

"Kau menebak?"

"Ya," jawab Hugo ragu. Dia mencondongkan tubuh ke telinga penyihir muda itu, merendahkan suaranya hingga nyaris berbisik. "Aku tidak mengetahui banyak, meskipun telah tinggal di sini selama dua tahun."

"Bagaimana dengan pendeta sebelumnya?"

"Ditemukan tewas … Mungkin kata hilang lebih tepat, dan aku ditunjuk untuk bertugas di kota ini."

Konrad mengangguk. "Sekolah kedokteran Kekaisaran?"

"Maaf?"

"Lencana Caduceus. Itu sangat langka, bahkan untuk dokter di seluruh Kekaisaran"

"Oh, benar. Aku lulus lima tahun yang lalu dan menjadi asisten dokter selama tiga tahun."

"Dan bagaimana," tanya Konrad, kembali menggosokkan tangan. "Kau menjadi pendeta."

Hugo tersenyum. "Aku mempunyai keluarga yang menjadi Kardinal, dan sisanya adalah cerita yang panjang."

Penyihir muda itu mengangguk, wajahnya terlihat sangat gelisah dan tidak lepas dari mayat didepannya.

"Ini adalah kematian yang aneh," katanya.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Hugo bertanya.

"Aku butuh waktu," jawab penyihir muda itu, suaranya menjadi lebih pelan dari sebelumnya. "Aku harus mencari petunjuk lebih jauh."

"Berapa lama?"

"Mungkin satu atau dua minggu."

---

Dengan waktu yang terus terbuang, empat minggu telah berlalu. Pemeriksaan mayat pada hari-hari yang lalu telah menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, itu adalah hasil eksperimen kuno Collegia yang melarikan diri lalu berkeliaran di Kratogen, dan kedua, itu hanyalah kecelakaan murni karena Kratogen masih alam belantara yang liar. Meskipun demikian, terdapat petunjuk-petunjuk menyimpang yang menyeretnya dalam satu pertanyaan penting yang lain, dan semuanya kabur menjadi satu: pertanyaan yang sama, jawaban yang berbeda. Apa pun itu dan betapa anehnya itu, dia tidak tampak yakin dengan jawaban apapun.

Tapi sekarang, Konrad telah dipanggil untuk melakukan pengusiran iblis kepada salah satu keluarga bangsawan di Ölso, dan juga itu adalah tiketnya untuk pulang. Mereka menawarkan sejumlah uang yang besar dan bagaimana dia menolak? Lagi pula perjalanan dari Ölso ke Ibukota tidaklah murah.

"Kemana kita akan pergi?" Hugo bertanya, berjalan disamping Konrad dengan langkah pelan.

"Mengusir Iblis."

"Mengapa?" Hugo melambatkan langkahnya. "Dan mengapa membutuhkanku?"

Penyihir muda itu menghela nafas, dia berhenti dan menepuk pelan pundak Hugo. "Akan buruk jika seseorang ini mati setelah pengusiran iblis, jadi aku ingin kau memberikan pertolongan medis jika terdapat sesuatu yang salah."

"Siapa 'Seseorang' ini, Konrad?"

"Putri dari Gubernur Ölso."

---

Mereka memasuki sebuah ruangan yang sangat dingin dan menyedihkan. Cahaya dari lampu minyak yang redup menyinari ruangan. Penyihir muda itu tahu bahwa tempat ini telah dikutuk sejak awal, tetapi tidak jauh lebih buruk dari ini. Dia membuka jendela kayu lebar yang lapuk, membiarkan udara dingin dan sinar matahari untuk masuk.

Konrad sengaja berjalan lambat menuju gadis yang terikat di ranjang, melihat kondisinya yang menyedihkan dan bertanya bagaimana dia dapat bertahan selama satu minggu. Ada banyak jawaban, tetapi semuanya sangat tidak masuk akal, terutama jawaban kepala pelayan. Penyihir muda itu kemudian meminta apa yang dia butuhkan; garam, belerang, lemak beruang, tar, dan wewangian. Itu adalah permintaan yang aneh, dan dia mencampurkan semuanya.

"Keluarlah," kata Konrad. "Kau juga Hugo," lanjutnya.

"Aku akan tinggal."

"Tutup pintu itu dan jangan mendekat."

Di ruangan itu, dengan angin dingin liar yang mencoba masuk, Konrad kembali pada meja tempat dia bersiap, dengan tenang dan cermat. Di atas meja dekat jendela, dia memiliki sebuah buku yang terbungkus rapi. Dia membukanya. Halaman demi halaman. Lembar demi lembar hingga lembaran terakhir dan merapal pelan hingga cahaya kilat menyinari ruangan. Penyihir muda itu kemudian menutup bukunya kembali dan menyembunyikan dibalik jubah yang tebal, berbalik menghadap putri dari gubernur Ölso.

"Sebuah kutukan telah mengganggu gadis ini," katanya, menuangkan campuran, disebar seluruh ruangan hingga melingkari ranjang dengan simbol-simbol aneg. "Jenisnya tidak penting, yang perlu kau tahu bahwa tempat ini telah dikutuk."

"Kutukan?" tanya Hugo, yang berdiri tepat di depan jendela.

"Ya benar. Kutukan, ungkapan bentuk kemalangan dan sihir gelap yang seharusnya tidak diketahui oleh penduduk sipil, atau …."

"Atau?"

"Gadis ini adalah persembahan."

"Persembahan?"

Konrad mengangguk. "Terdapat banyak jenis persembahan yang tercatat," dia menjelaskan. "Persembahan memerlukkan korban untuk tindakan pemujaan. Beberapa mengorbankan hewan ternak dan beberapa adalah manusia."

"Apakah itu sangat buruk?"

"Buruk, dan sangat berbahaya."

"Berbahaya seperti?"

"Katakan saja seperti pemanggilan iblis."

Api hijau mulai muncul menyelimuti lingkaran dengan cahaya yang redup. Udara dingin di dalam ruangan berubah menjadi hangat yang membuat gadis yang dirantai itu menangis. Kegelapan yang tidak biasa datang mengisi seluruh ruangan dan itu membuat Hugo merasa tidak nyaman.

"Sigmund Yang Agung!" Hugo menunjuk, tangannya bergetar hebat. Dia tidak dapat menyelesaikan perkataannya. Ketakutan menggelegak dalam dirinya. Dia belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya.

Gadis itu meringkuk, dia meronta lebih keras. Matanya kini menyala dengan cahaya merah yang mengancam, raungan serak merobek suasana yang sunyi. Dia mencoba memberontak, didorong oleh kekuatan kebencian dan amarah yang terkumpul.

Sesuatu keluar dari mulutnya, melewati tenggorokan dan keluar dengan darah dan muntahan. Kekejian dan hal yang tidak suci dengan delapan kaki merangkak menunju dinding dan mencari celah untuk keluar. Sesuatu itu menjerit, bergerak menuju pintu lalu memuntahkan cairan hitam ke segala arah. Bau busuk yang kuat mengisi ruangan.

Mahluk itu merangkak cepat dari langit-langit menuju jendela yang terbuka, dia menjerit saat Konrad melempar rantai logam terang yang mengintari tubuhnya. Mahluk itu berteriak, tubuhnya telah terikat dan terbakar perlahan. Dengan moncong tengik, gigi bergetak lebar yang tajam. Moncong mahluk itu terbuka dan air liur hitam menetes. Bau busuk bayang-bayang hitam dari sesuatu yang berasal bukan dari dunia manusia.

Konrad melihat kengerian itu berusaha menerjangnya, berusaha melepaskan diri dari rantai perak dengan tantakel keluar dari tenggorokannya. Mahluk itu kembali berteriak, lebih keras dari sebelumnya.

"Tutup telingamu, pendeta," kata Konrad, menarik pistol dari ikat pinganggnya, menembak dengan kecepatan yang haya dapat dilakukan oleh prajurit paling terlatih.

Suara itu sangat memekakkan telinga, mengejutkan dan menakutkan. Itu sangat keras dan mereka dapat merasakan untuk sesaat menjadi tuli dan perlahan pendengarannya menjadi pulih selama beberapa detik. Konrad menembak untuk kali kedua, memastikan mahluk itu tidak dapat bangkit. Hugo yang berdiri tegak dan menutup telinganya, menyaksikan makhluk itu meleleh seperti tar yang menghitam. Tatapan pendeta itu tidak terlepas dari mutiara merah yang bersinar.

Hugo gemetar. Kemudian dia mulai cegukan. Dia terus menatap mutiara merah yang bersinar.

"Apa yang kau lihat?" tanya penyihir muda itu, mengguncang tubuh lawan bicaranya dengan keras.

"Damos Khaos c'l forh," jawab Hugo. "Damos Khaos c'l forh Arkh Kashur."

Hugo D'Anaur mengulangi apa yang dia katakan sebelumnya, kali ini memaksa suaranya untuk benar-benar mengeluarkan suara.

"Apa yang terjadi?" wajahnya terlihat bingung, dia tidak bisa mengatakan apa yang ada di pikirannya.

"Apa yang terjadi?" dia bertanya sekali lagi.

"Ini sangat buruk," jawab Konrad. Dia mengalihkan pandangannya pada gadis yang terbaring, wajahnya tidak berubah, dengan mata menyala kemerahan, dan dia berbicara dengan bahasa kuno yang keji.

"Damos Khaos c'l forh Arkh Kashur, Konrad," teriak gadis itu, memuntahkan darah hitam yang busuk. Garis hitam dengan delapan anak panah muncul di mengitari tubuhnya.

Konrad dan Hugo mendekat. Mereka telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak pernah muncul di tanah utara, dan Pendeta itu menanyakan apa yang telah dia lihat dan apa yang dia dengar.

"Simbol itu," kata Hugo dengan pelan, menunjuk pada kepala gadis yang malang. "Simbol itu, kau—"

"Simbol yang seharusnya tidak muncul dan merupakan pengetahuan terlarang." Konrad menarik nafas dengan pelan, berusaha untuk mengembalikan tenaga yang terkuras. "Kita harus keluar dari tempat ini."

Penyihir muda itu mengisi ulang pistolnya, ketika pintu kamar terbuka dengan paksa, mereka dapat melihat kepala pelayan dengan sayap kasar yang menyerupai kelelawar. Bagian bawahnya berakhir dengan kaki kambing yang tertutup oleh bulu hitam. Tangannya penuh dengan darah dan simbol yang sama terlihat pula. Dia berubah sekarang, tidak seperti manusia, melainkan seperti kekejian binatang buas yang telah tersentuh oleh sihir yang keji.

"Greetegal," Konrad bergumam pelan.

"Greetegal?"

Konrad tidak menjawab, dia menembak mahluk itu dengan cepat. Darah yang busuk menyembur, tetapi Greetegal tetap berdiri tegak. Konrad kemudian mengisi ulang senjatanya, dan menatap ke jendela. Gerhana matahari berwarna merah sedang terjadi di luar.

"Gerhana?" tanya Hugo. Ekspresi terkejutnya sekarang berubah menjadi takut. Dia dapat melihat bahwa sesuatu yang berbahaya sedang terjadi, entah itu di kota Ölso ataupun mahluk keji di depan mereka.

"Apa yang kau lakukan?" pendeta itu berteriak. Tubuhnya didorong kuat menjauh dari jendela.

Konrad tidak menjawab, penyihir muda mengisi ulang senjata miliknya dan membidik, tapi di terlambat. Iblis itu menerjang dengan kecepatan yang tinggi dan menghantamnya hingga keluar dari lantai atas. Konrad merangkak dengan pelan, merasakan ujung tulang rusuknya yang patah saling bergesekan. Dia menjerit kesakitan. Tanpa membuang waktu, penyihir muda itu merangkak untuk menjauh, instingnya berkata bahwa dia harus hidup bagaimanapun juga. Konrad merangkak dengan pelan menuju pohon pinus, dia memegang perutnya dengan lengan kiri. Konrad dia menjerit kesakitan dan bersumpah untuk hidup hingga hari esok

Mahluk itu mendarat dengan perlahan, sayap hitam jahat membentang bersama taring yang terkatup dengan darah yang mendesis. Greetegal itu berteriak liar keras, memekakkan telinga. Mahluk itu berlari seperti binatang buas yang lepas kendali dan Konrad menyapanya dengan kata-kata paling kotor yang pernah diucapkan siapa pun dan dia menutup mata dengan rasa takut akan kematian.

Tengkorak mahluk hina itu meledak. Konrad dapat melihat mahluk itu mengerang kesakitan dan memegang kepalanya yang kini telah tiada. Gerakan tubuhnya semakin liar dan tumbang dengan cepat.

Hugo yang telah berada diluar, dengan pistol berat yang masih mengeluarkan asap menghampiri penyihir muda itu dengan tatapan khawatir, terdapat banyak pertanyaan muncul di benaknya. Dia berusaha untuk bersikap tenang, tetapi bahasa tubuhnya mengatakan sebaliknya. Tanganya berkeringat dan bergetar. Suaranya terdengar pelan dan seperti berbisik.

"Mahluk itu … mahluk itu adalah iblis bukan?"

Konrad mengangguk. "Kita harus pergi dari sini."

---

Hugo membopong Konrad menuju pusat kota, atau apa yang tersisa ketika mereka berada lebih dekat. Bau terbakar dan bayangan kematian yang sangat pekat. Mereka dapat melihat ratusan kepala terpancang dan huru-hara kekejian menghiasi Ölso yang terbakar. Penyihir muda itu mengatakan bahwa gerhana matahari telah terjadi lebih lama dari yang seharusnya. Dia kemudian melihat ke atas, bersembunyi diantara bangunan dan Hugo bersamanya.

"Kau punya koneksi dengan kepausan?" tanya Konrad dengan pelan.

"Ya," jawab Hugo ragu.

"Bagus. Kau harus pergi dari kota ini."

"Bagaimana mungkin— "

"Sama seperti bagaimana aku kemari, Pendeta Hugo." Konrad menarik nafas dengan dalam, menyandarkan tubuhnya dan berusaha memulihkan tenaganya. "Pelabuhan Ölso."

"Tapi itu— "

"Tenanglah, Pendeta." Konrad berhenti, mengatur ritme pernafasannya. "Bergerak dengan perlahan dan jangan menarik perhatian."

Mereka, Hugo dan Konrad dapat mendengar itu semua, merasakan dan menghirupnya. Ratusan penduduk Ölso, orang dewasa dan anak-anak, ratsa takut dan cemas, kehancuran oleh kekuatan jahat yang seharusnya tidak pernah ada di Tanah Utara.

"Kau dapat berjalan?" tanya Hugo, melihat sekeliling ke kanan dan kiri

"Tidak."

Lalu mereka bergerak dengan perlahan, berusaha untuk menghindari kerumunan. Bau darah dan teriakan menghiasi Kota Ölso atas nama dewa-dewa kuno yang seharusnya telah lama hilang. Tanda-tanda penghujatan dari dewa pagan dipotong menjadi daging alis dan pipi di kepala yang terpancang. Hugo terus menahan mualnya yang tidak tertahankan, jantungnya berdetak pelan melihat kengerian.

"Tahanlah." Konrad menutup mulut Hugo, menahan agar pendeta itu tidak muntah. "Pelabuhan seharusnya tidak jauh dari tempat ini."

"Bagaimana jika …" hugo berhenti. "Mereka mengejar kita."

"Tenanglah. Berjalan dengan pelan dan kita akan baik-baik saja."

Mereka berajalan dengan pelan menyusuri jalan. Konrad, yang dibopong oleh Hugo berjalan dengan perlahan, seolah tidak terjadi apapun dan tidak peduli pada siapapun. Teriakan wanita dan anak-anak menghiasi jalan dan bau darah pekat menghiasi jalan.

Hugo menatap mereka, putus asa. Dia mencoba untuk menahan nafas, bau busuk yang tidak terkira dari mayat dengan luka terbuka. Hanya suara-suara tanpa kata yang keluar dan Konrad memberikan isyarat untuk tetap diam. Mereka kemudian berhenti, membeku.

Badai kerumunan datang, dan itu sangat tidak diharapkan. Mereka berhenti di rumah yang telah terbakar, dan bergerak dengan sangat pelan melewati mayat tanpa kepala dan singkapan darah yang kental. Di kejahuan, sirine kapal terakhir berbunyi dan mereka dapat melihat kapal terakhir yang belum berangkat.

Teriakan dewa-dewa kegelapan menjadi raungan, bunyi nyaring, bayang-bayang massa yang mengalahkan hiruk pikuk pembunuhan secara sukarela melintas. Konrad kembali menarik pistolnya, bersiap untuk menembak walaupun tangan kanannya bergetar hebat.

Bergerak secara perlahan bukanlah sebuah pilihan, itu adalah keharusan. Mereka gelisah, menatap kearah pelabuhan, dan seolah-olah dilanda rasa takut yang hebat. Hugo merasa keraguan akan selamat menimpa dirinya. Dia berhenti sebentar, dan tidak dapat melangkah lebih jauh. Terlambat, tapi terlambat lebih buruk dari tidak sama sekali, Konrad menjelaskan, sehingga mereka menyelinap dengan pelan hingga sampai di antara dermaga dan tumpukan mayat.

Waktu tidak berpihak pada mereka, pelabuhan kini menjadi medan pertempuran kecil dengan puluhan prajurit terlatih menahan ratusan kerumunan yang mengincar darah. Konrad mendecakkan lidah, dan meminta Hugo untuk menurunkan dirinya.

"Perhatikan dengan baik, Pendeta. Ini akan menjadi sangat berdarah."

Hugo mendengar suara perintah. Dia melihat penyihir muda itu menegakkan tubuhnya, meringis pelan, dan mengangkat tangan kanannya ke arah kerumunan, seperti bersiap untuk melakukan sesuatu yang buruk. Tapi wajah Konrad mengatakan itu semua, seolah-olah dia sudah terlalu sering melakukan itu. Simbol yang rumit tergambar di lengan, dan ledakan yang besar terjadi, begitu keras sehingga menghancurkan kerumunan massa berkeping-keping dengan darah dan organ tubuh yang tersebar. Penyihir muda itu dapat melihat mereka, para prajurit yang terkejut dan dipenuhi darah kental yang tidak manusiawi dan beberapa dari mereka tidak dapat menahan diri untuk muntah.

Konrad kemudian tersenyum kecil, dia berusaha untuk mempertahankan pandangannya, tetapi gagal, matannya terpejam. Selurub tubuhnya bergetar. Dia terlihat pucat.

Dia kini menghadap ke bawah.

Dia mencoba mengangkat dirinya, batuk dan mulutnya mengeluarkan darah, mencoba untuk berdiri, tetapi dia terlalu lemah untuk melakukan itu.

"Bertahanlah, Konrad," kata suara yang memanggilnya. "Kita akan selamat."

"K-kita?" Konrad hampir tidak bisa berbicara.

"Ya, kita akan pergi dari tempat ini." Kata suara itu. "Itu benar bukan?"

"Tidak, Hugo. Kau harus selamat."

"Aku tidak mengerti."

Konrad mendongak. Hugo terus menatapnya heran.

"Bersaksilah di ibukota," kata Konrad dan melepas lencana salib hitam yang terkalung di leher. "Ambilah benda ini dan bersaksi atas apa yang terjadi."

"Tidak. Kita akan pergi dari kota ini," kata Hugo.

"Apa?" tanya Konrad. "Dengar, sialan. Kau harus—"

"Kita akan selamat," kata Hugo.

Konrad mencoba berdiri. Hugo mengulurkan tangan dan membantunya.

"Nyawaku tidak penting!"

Hugo tampak sedih.

"Tapi … kau harus tetap hidup," katanya. "Kau akan mendapat bayaran yang pantas, Konrad. Aku akan menjamin hal itu, dan yang paling penting adalah kau harus hidup."

"Simpan omong kosong itu," kata Konrad. Dia berdiri, berjalan pelan bersama Hugo menuju kapal yang menunggu. Beberapa tentara berlari menuju ke arah mereka. "Kau hanyalah pendeta pemula,"

"Oh, tapi kau tahu bahwa kau mempunyai koneksi dengan Kardinal," kata Hugo. Pendeta itu membopong Konrad, seragam Medico putihnya kini memiliki beberapa noda darah segar. "Aku akan merawatmu nanti."

"Semoga saja."

"Tentu, Konrad,' kata Hugo. "Aku adalah seorang dokter, kau tahu. Merangkap sebagai pendeta adalah pekerjaan sampingan agar dapat diterima di kota ini."

"Aku merasa." penyihir muda itu berhenti, meringis pelan dan memegang perutnya.

"Kau adalah seorang yang penting."

"Mungkin," Hugo menyeringai. "Seorang dokter sangat penting di seluruh tempat."

---

Konrad menggelengkan kepalanya. Rasa sakit itu telah berkurang. Dia dapat membuka matanya, merasakan angin bertiup ke wajahnya. Sirine kapal yang panjang terdengar, disusul oleh Sorakan dan tawa yang mengisi udara. Konrad bertanya apa yang terjadi, apa mereka berhasil meninggalkan Ölso yang terkutuk?

Hugo tertawa kecil. "Aku tidak menyangka ini, sebenarnya. Kita hampir saja mati, kau dan aku. Tapi kita berhasil dan selamat dari kota ini. Kau dapat memanggilku kapanpun di ibu kota nanti, dan aku akan membantumu. Begitulah, aku bahkan tidak bisa menolak apapun permintaan darimu."

Konrad menatapnya.

"Semua ini terasa tidak nyata," katanya pada Hugo. "Sialan, aku hampir saja mati."

"Tidak, kau tidak akan mati," kata Hugo. "Sejujurnya tidak ada manusia yang dapat melakukan hal magis seperti yang kau lakukan dan aku sangat terkesan. Apa itu rahasia dari Collegia?"

Konrad tidak menjawab, dia hanya mengangguk pelan.

"Tunggu," kata Hugo. "Kau dapat melakukan hal magis yang lain?"

"Kenapa tidak," kata Konrad.

---

Tiga minggu kemudian, Konrad dan seluruh Magos dari Collegia Magika beserta seribu prajurit bersenjara lengkap diutus atas restu Kekaisaran untuk membersihkan apa yang tersisa dari Kota Ölso. Membersihkan dari pendosa dan simbol-simbol pagan. Sungai yang mengalir dari Gunung utara pada provinsi Kratogen tidak pernah membeku untuk dua tahun kedepan dikarenakan banyaknya darah yang tumpah.

Konrad merasakan sesuatu yang berbeda dari Ölso, sesuatu yang seharusnya tidak ada ketika dia meninggalkan kota ini tiga minggu sebelumnya. Dia berjalan terus, pedangnya bersiap, bergerak menuju lebih dalam menuju kediaman keluarga gubernur Ölso.

Seperti anjing liar, para pendosa bergegas membunuhnya, melontarkan penyergapan dengan senjata liar mereka dan mendengus menggunaan bahasa hitam mereka yang hina. Penghinaan. Amarah Konrad membakar nadinya. Mereka berada di depannya, dua puluh dari mereka, dan seluruhnya tewas dengan cepat.

Konrad menghabiskan banyak waktu memeriksa ruangan putri gubernur, melihat tubuhnya yang membusuk menyisakan rangka menghitam. Simbol panah berujung delapan terukir pada tengkoraknya. Menghancurkannya membuat rasa penderitaan itu hilang dengan apa yang diangkat dengan segera.

Tidak ada cara yang tepat untuk menentukan kapan atau secara pasti siapa yang memulai semua ini. Bahkan sangat diragukan. Diperlukan pengorbanan yang sangat banyak untuk memunculkan kegilaan ini bahkan diperlukan lebih dari … kematian yang aneh sekitar lima belas tahun.

Saat mereka dia melihat mutiara merah yang bersinar diantara puing-puing, terdapat dorongan yang kuat, sebuah hasrat yang tidak dapat dijelaskan. Angin mulai bertiup kencang, mengguncang jendela kayu dan tanaman merambat yang menempel.

"Kau sudah puas?" ucap seseorang pria yang berdiri bersamanya. Dia mengenakan mantel hitam yang sama dengan Konrad, tetapi memiliki dekorasi salib berwana emas dan perak.

Pria itu menambahkan. "Aku tidak menyangka jika Keluarga Kekaisaran mendukung pembersihan ini, kau tahu?"

"Mengapa?"

"Kau sangat muda, Konrad. Muda dan tidak bepengalaman."

"Itu tidak menjawab pertanyaanku?"

"Pembersihan adalah tindakan yang memerlukan biaya yang besar. Lebih mudahnya, Kollegia dan Keluarga Kekaisaran sedang tidak dalam kondisi baik, tetapi mendapat dukungan dari Putra Mahkota adalah keuntungan yang besar."

"Bukankah kau juga adalah Bangsawan, Heinrich? Aku merasa kau punya hubungan dengan Keluarga Kekaisaran."

Heinrich mengangguk, "tentu, aku adalah salah satu keluarga kekaisaran, tetapi itu adalah cerita lama, kau tahu?"

"Ah, bersikap dingin dan keras seperti biasa, Heinrich? Aku rasa kau—"

"Jangan berbicara lagi, Penyihir Muda Konrad. Diamlah."

Pada waktu yang sama, pergumulan terjadi di Ölso. Pembersihan yang dilakukan oleh Magos Kollegia dan Kekaisaran telah mencegah sungai-sungai di Kratogen untuk membeku. Di atas tanah yang terkutuk itu, pada tanah yang berdarah, dimana bau mayat yang terbakar tercium hingga akhir tahun, terdapat banyak dari mereka yang telah menjual jiwa pada sesuatu yang keji. Tidak ada yang tahu mengapa dan kenapa, tidak seseorang kecuali Magos dar Kollegia dan Konrad sendiri.