Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

12 Cerita Afif Van Pieter

Fukay22
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.5k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - 1- Pertemuan Pertama

Tringgg

Lonceng berbunyi, seorang pembeli masuk ke dalam cafe. Kali ini tidak membuat semua pasang mata refleks melihat kearah pintu. Namun hanya ada satu orang cowok yang tidak sengaja memperlihatkan pintu cafe tersebut. Dahi cowok itu berkerut, seolah mengenali pembeli yang baru datang tersebut.

"Itu Widia gak sih?" tanya Fadhil menghentikan pembicaraan Arya dan Afif.

Arya dan Afif menoleh, mengikuti arah tangan Fadhil. Kedua mata mereka menemukan gadis berambut panjang dengan wajah pucat tengah duduk dan menunggu pesanan di salah satu kursi.

"Iya." Sahut Arya.

"Kok dia udah balik ke Indonesia ya? Bukannya dia kuliah di Perancis?" Tanya Fadhil lagi.

"Setau gue di Perancis sekarang bukan waktu liburan." Tambah Arya.

Fadhil sangat kenal dengan gadis itu. mungkin bukan hanya Fadhil tapi juga teman teman sebayanya yang juga kuliah di tempat yang sama dengan gadis tersebut. menjadi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) sekaligus menjadi BEM perempuan pertama di Université d'Etat de Paris. Gadis itu terkenal dengan kedisiplinan dan kepintarannya. Bahkan setelah lulus dari SMA di Surabaya ia mendapat beasiswa di salah satu universitas ternama di Perancis.

Afif masih menatap kedua temannya dengan bingung, keningnya berkerut. Otaknya dipenuhi rasa penasaran.

"Widia yang mana sih?" Tanya Afif.

Kini pandangan kedua temannya itu mengarah ke Afif. Fadhil memberi tatapan licik.

"Lo seriusan gak kenal Widia?" sinis Fadhil.

Afif menggelengkan kepalanya.

"Lo lupa ingatan?" Tanya Fadhil lagi.

"Gue beneran gak tau." Jawab Afif.

"Dia itu ketua BEM di Université d'Etat de Paris yang sering minta tolong ke gw." Jelas Fadhil.

Afif membuka mulutnya lebar-lebar. Kali ini otaknya mencerna dengan cepat. Afif langsung mengingat dengan jelas.

"OHH, CEWEK YANG SERING PLINTIR KUPING GUE WAKTU PENELITIAN ITU KAN? YANG SOK GALAK ITU KAN?"

Arya dengan cepat pergi. Pura pura pergi dari kursinya untuk pergi ke toilet, sementara Fadhil menutupi wajahnya dengan jaket yang ia bawa.

Mereka berdua sangat malu karena, suara kencang Afif yang menggelegar di seluruh penjuru Cafe. Saat ini semua pengunjung cafe dan barista melihat kearah meja mereka bertiga.

"Dil.. oi Dil," panggil Afif sambil berusaha menarik jaket milik Fadhil.

"Pergi! Gak usah sok kenal!" Tepis Fadhil.

"Dil..." Rengek Afif.

"Mulut lo bisa gak sih gak usah ngegas?" Cibir Fadhil.

"Maklum bensinnya dah keisi penuh." Jawab Afif bangga.

"Kenapa ya gue ikhlas punya temen kayak Lo? Tanya Fadhil sambil menatap Afif dengan prihatin.

"Karena gue kaya, anak konglomerat yang bisa Lo manfaatin kapan aja." Jawab Afif sambil tersenyum sumringah.

"Terserah lo deh."

Percakapan mereka berdua berhenti ketika seorang gadis tiba tiba mengambil duduk di tempat yang tadinya diduduki oleh Arya. Mereka berdua sangat kaget.

Gadis tersebut adalah yang dibicarakan oleh mereka beberapa menit yang lalu; Widia.

Afif dan Fadhil saling bertatapan bingung. Widia tiba tiba mengeluarkan bungkus lilin dari saku celananya.

"Ada yang punya korek?" Tanya Widia kepada mereka berdua.

"Sorry gue gak ngerokok." Jawab Fadhil.

"Ini lilin bukan rokok." Jawab Widia ketus.

"Ohh sorry."

Widia beralih melihat Afif. Mereka saling bertatapan. "Lo punya gak?" Tanya Widia dingin.

"Pe-perlu gue bawain kompor?" Tawar Afif.

Widia mendesis pelan. Ia membuang lilinnya, ia terlihat sedikit kesal. Berkali kali gadis itu menghela napas seperti memiliki banyak masalah.

Widia kembali menatap Afif dan Fadhil yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Widia memperlihatkan mereka berdua lebih lekat, mulai dari pakaian bermerek dari atas sampai bawah, jam tangan mewah, dan dua kunci mobil mahal.

Widia bisa menyimpulkan mereka adalah anak orang kaya. Pertanyaannya, siapa yang paling kaya dari mereka berdua?

"Gue boleh tanya nggak?" Widia mulai bertanya lagi.

"A- apa." Jawab mereka berdua hampir bersamaan.

"Dari kalian berdua siapa yang paling kaya?" Tanya Widia.

Mereka berdua saling bertatapan sebentar.

"Seriusan lo tanya itu?" Bingung Fadhil.

"Iya."

Fadhil dengan cepat menunjuk Afif, begitu pula Afif yang langsung menunjuk dirinya sendiri.

"Lo yang paling kaya dari kalian berdua?" Tanya Widia sekali lagi.

"Iya." Jawab Afif.

"Berapa uang jajan lo sebulan?"

Afif diam, tak langsung menjawab. Ia mulai sedikit takut dengan gadis didepannya itu. Auranya terasa semakin mengerikan. "Kenapa lo tanya itu?"

"Gue pengen tau."

"Kenapa gue harus kasih tau lo be----"

"Cepetan jawab." Tajam Widia.

"Gak tentu. Berapapun gue minta pasti dikasih." Jawab Afif dengan pasrah.

Widia kembali berlagak kepalanya. Kali ini bibirnya sedikit mengembang.

"Kalau gitu lo bisa jadi pacar gue." Ungkap Widia santai.

"HAH." Afif dan Fadhil sama sama terkejut. Keduanya menatap Widia tak percaya.

"Lo kena kanker otak?" Tanya Afif.

"Nggak, Otak gue normal." Jawab Widia

"Kenapa gue harus jadi pacar lo?"

"Karena Lo akan jadi cowok yang beruntung kalau pacaran sama gue." Terang Widia tanpa ada ekspresi sedikit pun.

Afif mulai geram. Ia menahan untuk tidak emosi.

"Beruntung dari mana?"

"Lo gak bisa lihat ciptaan Tuhan yang hampir sempurna ini?"

Afif melongo. Bagaimana bisa ada cewek yang begitu percaya diri di hadapan orang yang tidak begitu dikenalnya. Menurut Afif gadis ini bukan gadis pemberani, melainkan gadis yang tidak punya akal.

Fadhil yang juga tidak kalah terkejutnya dengan Afif menahan tawa. Melihat temannya yang biasanya periang kini raut wajah temannya itu panik.

"Gue gak tertarik sama lo, dan gue gak mau jadi pacar lo!" Jawab Afif tegas. Meskipun terkadang ia suka bercanda, namun, hal seperti ini ia tidak bisa bercanda.

"Kenapa? Gue kalah cantik sama cewek cewek luar negeri?" tanya Widia dingin.

"Nggak, Lo cukup cantik." Jujur Afif.

"Terus kenapa?"

"Otak Lo yang kurang beres." Jawab Afif cepat tanpa Basa-basi.

Widia berlagak kepalanya berkali kali. "Lo baru aja kehilangan jadi cowok paling baik di dunia ini."

"Gue bisa jadi orang baik tanpa harus pacaran sama lo. Balas Afif.

Widia menghela napas pelan. Kemudian meninggalkan cafe tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Afif dan Fadhil mengikuti kepergian Widia. Mereka berdua masih syok dengan kejadian barusan. Mereka berdua tidak mengerti apa yang dipikirkan gadis itu.

Afif mengelus dadanya, bersyukur berkali-kali.

"Wahh... Gue kira orang paling gak waras didunia cuma gue, ternyata gue ada saingannya."