Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Obsesi Duda Flamboyan

🇮🇩Author_teratai
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.7k
Views
Synopsis
Dendamnya pada masa lalu ketika Adam Permana tidak direstui oleh calon mertuanya padahal saat itu kekasihnya Sinta PujiAstuti tengah mengandung buah cintanya. Sinta PujiAstuti tidak punya cara lain ketika orang tuanya menjodohkan dia dengan seorang pria pilihan mereka sekaligus memaksanya untuk menggugurkan benih Adam. Waktu pun bergulir sangat cepat, takdir harus mempertenukan kembali Adam dan Sinta dalam situasi yang membuat mereka harus saling membenci lantaran Adam berhasil menaklukkan kehormatan Irna Maharani yang merupakan puteri dari hasil pernikahannya Sinta dengan Romi. Apakah dendam Adam terpuaskan? Bagaimana pula Sinta harus menerima kenyataan jika puterinya harus jatuh cinta pada Adam pria yang dulu sangat dicintainya. Baca kisah selengkapnya hanya di Web novel Platform kesayangan kalian. Happy reading

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Menahan Asal

Setelah menanti kurang lebih dua minggu, Rio segera melenggangkan kakinya menuju rumah Iklima dengan memanfaatkan kondisi Agnes yang masih tertidur pulas.

Kala itu ba'da shalat subuh Rio menuju garasi mengambil motor gedenya lalu melajukannya pelan, hanya ART saja yang tahu jika Rio pergi itu pun tidak ada tanya jawab sehingga sang ART tidak tahu sama sekali ke mana Rio sebenarnya.

"Tidurlah yang pulas Nes! Aku mau mengunjungi istri yang paling aku cintai dulu, setelah itu aku akan langsung pergi ke kantor!" monolog Rio dalam batinnya.

Tak hanya Agnes, Yuda juga Siska pun tak tahu dengan kepergian Rio sehingga langkah Rio begitu dimudahkan menuju rumah Kyai Anwar.

"Assalamualaikum!" sapa Rio.

Kebetulan sekali yang membuka pintu adalah Iklima sendiri, sedangkan sang Kyai dan istri juga Husein masih berada di mesjid bahkan mereka kembali ke rumah agak siang dikarenakan langsung mengajar santri.

"Waalaikum salam, Abang kok subuh banget ke sininya? Memangnya Abang nggak shalat subuh apa?" tanya Iklima.

Karena kaget Iklima sampai lama berdiri di depan pintu tanpa mempersilakan Rio masuk, Iklima yang masih mengenakan kain mukena membuat hati Rio begitu teduh.

"Kok nanya terus? Ajak masuk dong! Nanti kalau sudah masuk baru aku jawab pertanyaan kamu ini cantik," Rio balik bertanya sembari mencubit dagu Iklima yang seperti dibelah dua itu.

Sontak badan Iklima langsung merinding, sentuhan tangan Rio yang cukup lama tidak dia rasakan kini seperti mimpi lantaran tidak ada kabar sebelumnya jika Rio akan datang ke sana.

"Oh iya aku lupa, ayo Bang masuk! Tapi di rumah ini cuma ada aku saja. Tadi aku pulang terlebih dahulu dari mesjid setelah beres shalat berjamaah subuh," jelas Iklima.

"Bagus dong," sahut Rio.

Sepasang bola mata Iklima makin membulat pasca mendengar tanggapan dari Rio tersebut, dia pun berkacak pinggang karena kesal. Namun segera Rio memberikan alasan dengan memegang ke dua tangan Iklima sambil duduk bersebelahan di sofa ruang tamu sekaligus celingukan ke semua ruangan rumah Iklima tersebut.

"Maksud aku, sebelum Abi, Ummi dan Kak Husein ke sini. Kita kan bisa ngobrol bebas berdua, aku akan tetap menunggu mereka pulang dan setelah itu aku akan pamit untuk kerja!"

Kepolosan Iklima membuat Rio tak perlu menjelaskan sampai sedetail-detailnya, kepalanya mengangguk patuh dan diam tanpa melawan tatkala tangan Rio perlahan membuka kain mukena yang menutupi tubuh serta kepala Iklima.

"Apa boleh kita bicaranya di kamar saja sayang? Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, kalau di sini nanti ada Bi N ur lagi yang menguping. Nggak enak kan?" bujuk Rio.

Lagi dan lagi Iklima mengangguk patuh dan lekas berdiri lalu sama-sama berjalan menuju kamar sembari berpegangan tangan dengan Rio.

"Wah, kamar penuh kenangan. Pagi ini rasanya aku ingin meninggalkan kenangan yang lebih manis lagi!" ujar Rio sambil menyapu pandangannnya ke seluruh ruangan kamar Iklima.

Matanya tiba-tiba terfokus ke arah nakas yang ada di samping ranjang tidur Iklima, di sana terpampang foto Rio dan Iklima tatkala di rumah sakit. Tentu saja Rio bahagia sekaligus bangga karena diam-diam Iklima begitu perhatian dengan dirinya.

"Kamu cetak foto kita ya sayang? Nanti kalau sudah memungkinkan kita ke foto studio ya! Buat foto berdua yang lebih bagus dari ini," ajak Rio sambil memegang foto berdua yang dipasang pigura kecil.

Wajah Iklima memerah, dia sangat malu jika apa yang sudah dia lakukan ketahuan Rio secara tiba-tiba.

"Oh ya sayang, bagaimana ujian nasionalnya? Kamu bisa semua? Ketika mengerjakan soal-soal pikiran kamu nggak terganggu kan dengan mikirin aku?" Iklima dicecar pertanyaan.

Iklima yang duduk di tepi ranjang masih diam membisu tidak menjawab satu pun pertanyaan dari Rio, namun di detik kemudian Rio segera merapatkan tubuhnya lalu memeluk tubuh Iklima sekaligus membelai rambut hitam panjangnya seraya mencium pipi dan membisikkan sesuatu.

"Sekarang, giliran suamimu ingin melaksanakan ujian pernikahan yang pertama! Apa kamu sudah siap? "

Untuk pertanyaan tersebut, tubuh Iklima langsung terperanjat. Segera berdiri dan menjauh dari posisi Rio.

"Maksud Abang apa sih?" Iklima balik bertanya.

Tangan Rio menarik tangan Iklima supaya kembali duduk berdampingan seperti semula, lalu menjelaskan perlahan tentang apa maksud dari pernyataannya.

"Sayang! Yang harus kamu ingat aku adalah suami kamu! Yang ke dua sekarang kamu sudah suci dari hadast besar dan ujian nasional kamu kan sudah kelar, jadi boleh dong aku minta hak aku?"

Kepala Iklima pun tertunduk namun tak berselang lama kembali mengangkatnya lagi seraya mengutarakan beberapa kalimat.

"Tapi apa harus sepagi ini? Bagaimana jika Umi dan Abi pulang?"

Alih-alih Rio akan paham dengan keluhan Iklima, dia malah menarik tubuh Iklima bahkan menguncinya di pelukan dia sambil menenggelankan kepala Iklima ke dadanya.

Ke dua kaki Rio melingkar ke tubuh Iklima supaya tidak ada pemberontakan lagi yang membuat waktu singkat Rio menjadi sia-sia.

"Jika sudah halal, mau kapanpun dan bagaimanapun keadaannya tidak akan ada yang berani menghentikan termasuk Ummi dan Abi. Kamu paham?"

Dengan posisi wajah menempel ke dada Rio yang harum dengan parfum khas maskulinnya, Rio hanya melihat kepala Iklima kembali mengangguk. Bibir Rio pun senyum merekah karena apa yang dia dambakan selama ini akan segera dia nikmati.

Nahas, baru saja setengah permainan. Hal buruk pun kembali harus membuat Rio menahan kembali rasa rindunya pada Iklima. Sebuah ketukan pintu yang keras juga kasar sekaligus panggilan yang membuat Rio dan Iklima sangat panik.

"Rio! Keluar kamu!" teriak seorang perempuan.

Kyai Anwar dan Ummi Zainab pun beringsut menghampiri rumahnya lantaran suara lantang tersebut sampai ke telinga mereka yang sedang berada di madrasah.

Para santripun seolah penasaran dengan segera melihatnya lewat jendela madrasah bahkan sebagian melihatnya dari teras madrasah supaya bisa terlihat jelas.

"Ya ampun, itu kan kalau tidak salah Agnes yang aku temui di ruang inap Bu Mira tempo hari. Lagi ngapain dia ke sini?" tanya Zainab dalam benaknya.

Setelah mendekat, mata Zainab juga Kyai Anwar menajamkan mata merwka pada motor gede yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Lalu berpindah pada perempuan yang hanya mengenakan rok mini selutut serta kemeja tanpa lengan.

"Kamu ini nggak sopan amat sih di rumah orang teriak-teriak," Rio mengomel.

Perempuan tersebut ternyata Agnes, dia terbangun saat Bi Murni mengetuk pintu kamarnya yang diperintah oleh Yuda untuk membangunkan Agnes.

" Apa kamu bilang? Aku nggak sopan? Menurut kamu pergi diam-diam dari rumah apa itu termasuk sikap yang sopan?" ujar Rio sambil berkacak pinggang.