7. Why
Setelah berhari-hari Kanaya tidak bisa juga menggunakan kartu ajaib yang dahulu menjadi pahlawan dan penolong saat di butuhkan.
Dengan segala niat dan penasaran, Kanaya menghampiri Pak Gilang yang sedang menikmati kopi di waktu senja.
"Pa, kenapa kartu kredit yang papa kasih, nggak ada yang bisa aku pergunakan lagi?" Kanaya menyilangkan kedua tangan nya, dan menghadap Pak Gilang.
Nada bicara Kanaya yang sangat tidak baik, sehingga membuat Pak Gilang males merespon ucapan Kanaya.
Pak Gilang hanya menatap Kanaya beberapa detik, wajahnya datar, lalu menolehkan pandangan nya ke luasnya langit.
"Papa!"
"Kalau nggak penting penting amat, aku juga males ngomong sama papa. Jadi kalau Papa juga malas ngomong sama aku, tinggal jelasin aja sebentar, setelah itu aku pergi.
"Kenapa Papa nggak bayar kartu kredit aku. Itu kan tanggung jawab Papa sebagai orang tua aku." Ocehan Kanaya panjang lebar dengan pandangan penuh kebencian, seolah Pak Gilang musuh terbesar bagi dirinya.
"Owh, ternyata kalau ada butuh nya kamu baru anggap saya sebagai orang tua kamu ya?" Sahut Pak gilang, santai dan tanpa emosi sedikit pun saat membalas tatapan Kanaya.
"Maksud Papa gimana?" Tanya Kanaya, mata nya menyipit tajam dan wajah yang merengut kesal, ia pun terpancing emosi.
"Saya blokir semua kartu kredit itu, karna saya merasakan bahwa kamu tidak menganggap saya sebagai papa kamu lagi. Jauh dari sikap sopan, jauh dari kata hormat. Semua yang kamu lakukan ke saya, hanya untuk memenuhi kebutuhan kamu saja kan?" Jelas Pak Gilang, seraya bangkit dari duduk nya.
"Kalau kamu merasa hebat tanpa saya, coba tunjukan saja dulu bagaimana cara kamu memberi makan untuk mulut kamu sendiri, Naya!" Mata Pak Gilang pun menyala, dan memperlihatkan amarah nya juga terhadap sang anak tunggal nya itu.
Dalam sekejab, otak Kanaya merasa mendidih, ia sudah tak mampu menahan semua sikap aneh Pak Gilang, yang mana papa kandung nya sendiri.
"Kalau anda sedang gila dengan perempuan muda, setidaknya anda tau cara mengasihi putri anda! Cara anda seperti ini seperti sedang memukul genderang perang! Dan sejujurnya saya tidak takut pergi dari sini, karna saya juga sudah muak melihat sikap anda di balik topeng busuk anda!" Tegas Kanaya, ia mendekatkan kepala nya dengan wajah Pak Gilang, seolah menantang.
Dari wajah Pak Gilang nampak sekali emosi ketika kata demi kata yang menyakitkan keluar dari mulut anak semata wayang nya.
Sebenarnya rencana Pak gilang memblokir semua kartu kredit Kanaya, agar supaya Kanaya mau membaikan Pak gilang lagi, dan bisa memiliki hubungan baik selayaknya Papa dan Anak yang harmonis.
Namun, kenyataan berkata sebaliknya, Kanaya tak bisa menerima cara Pak Gilanh memblokir kartu kredit tanpa penjelasan apa-apa.
Dalam beberapa detik, kedua nya sempat terdiam dan saling menatap tajam.
Lalu, Kanaya lah yang lebih dahulu pergi meninggalkan Pak Gilang.
Kanaya berlari ke kamar nya, dan dengan gerakan secepat kilat alias grasak grusuk, ia memasukan beberapa pakaian penting kedalam tas ransel berukuran large milik nya itu.
Meskipun berukuran large, tas ransel itu tidak akan mungkin bisa menampung semua pakaian milik Kanaya yang sangat banyak dan tebal.
***
"Bi, aku pergi dulu."
Bi Endang terkejut dengan suara Kanaya pun langsung menengok ke arah datang nya suara.
Lebih kaget lagi, saat melihat Kanaya dengan tas besar nya serta beberapa tentengan lain nya.
"Ya ampun, Non. Mau kemana?" Tanya Bi Endang, seraya menghampiri Kanaya.
"Mau pergi Bi, saya udah nggak sanggup lagi tinggal bersama iblis yang menjelma sebagai manusia, lebih memalukan nya lagi dia menjelmas sebagai orang tua aku." Kata Kanaya, tangis nya pecah saat Bi Endang memegang kedua pipi nya.
"Non, jangan pergi, Non! Mungkin ini hanya salah paham aja. Non, kan anak Bapak, nggak mungkin Pak Gilang jahat sama Non." Rayu Bi Endang sambil menangis tersedu-sedu, memegangi kedua tangan Kanaya.
"Sudah bi, ini sudah fatal menurut aku. Aku mau pamit aja sama bibi." Pungkas Kanaya, ia mencoba menegarkan diri nya dari rasa keterpurukan nya.
Dari balik jendela, mata Kanaya menangkap bayangan Pak Gilang sedang memperhatikan diri nya berbicara dengan Bi Endang.
Namun sayangnya, sang Papa tak menghampiri diri nya, untuk sekedar melarang nya pergi dari rumah ini.
Kanaya memeluk Bi Endang, sambil mengusap kan air mata mata dengan lengan baju nya.
Rasa gengsi menyerang dirinya, saat Pak Gilang masih terus memandangi Kanaya tanpa kata dan tanpa action
"Sudah Bi, saya harus pergi sekarang juga." Ucap nya untuk mengakhiri pelukan itu.
Dengan sedikit paksaan, Kanaya pun melepaskan pelukan Bi Endang yang sangat erat.
"Tapi non akan sering-sering datang kesini kan?" Tanya Bi Endang sambil tersedu.
"Nggak Bi, aku nggak akan menginjak kan kaki ku kesini lagi, sekali dia sudah berada di dalam kain kafan." Dengan tegas Kanaya berkata dalam tangis dan amarahnya.
"Jangan begitu Non, kasian Ba-" ucapan bi endang terhenti
"Sudah lah Bi, aku kesini cuma mau pamit sama bibi aja. Jangan bibi nasehati aku dengan ucapan yang sia-sia."
Kemudian ia membenarkan gendongan ransel nya, dan mulai melangkah tanpa mendengar jawaban dari bi endang lagi.
"Hati-hati ya non." Suara nya lemas, Bi endang melambaikan tangan, pun ia terpaksa harus merelakan kepergian Kanaya dari rumah besar itu.
***
Dengan hati dingin dan kepala yang memanas, Pak gilang membiarkan Kanaya pergi begitu saja.
Seolah rasa iba sudah pergi dari lubuk hati yang paling dalam.
Kanaya dengan kesal, melangkah lebar.
Meskipun ia tidak punya arah dan tujuan, kaki nya tetap melangkah dengan yakin untuk pergi dari rumah nya.
Baru pergi beberapa langkah dari rumah, tangisan Kanaya pun memecah dan ia duduk menunduk di pinggir selokan.
"Mama, aku kangen mama. Aku kangen banget sama mama!" Ucap Kanaya dalam tangisan.
Tak lama setelah itu, ia melanjutkan lagi perjalanan nya menuju tempat favorit nya.
Yaitu, gedung parkir kosong tempat yang setelah sekian lama menjadi saksi bisu segala kesedihan Kanaya.
"Bajingan, dasar bajingan. Tua bangka nggak tahu diri!!!" Umpat Kanaya, di sepanjang pelarian nya menuju gedung yang ia tuju hanya bisa menangis dan tertunduk malu.
***
Sesampai nya di gedung itu, Kanaya malahan melihat sosok yang pernah ia kenali sebelum nya.
Tapi ia belum yakin bahwa itu adalah laki-laki yang pernah menemani dirinya tempo hari.
Kanaya pun melangkah maju ke depan, mendekat dan semakin dekat dengan sosok yang sedang tiduran serta menutup setengah wajah nya dengan jaket jeans biru.
***