Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Lentera Rindu

Ksatria_Harabu
--
chs / week
--
NOT RATINGS
13.8k
Views
Synopsis
"Kenapa kamu tidak mau tidur dengan saya, padahal sekarang saya sudah resmi menjadi istri kamu? Apakah kamu tidak mencintai saya?" "Maaf, saya tidak bisa ...." Bary menolak keinginan Rima yang notabene adalah istrinya, kenapa? Temukan jawabannya dalam Lentera Rindu ini. Dear insan, kelak, rindu itu akan menjelma syair tanpa kata yang duduk bersebelahan dengan kesunyian batinmu. Lalu, ia akan memaksa untuk dininabobokan bersama bintang-bintang di langit-langit ingatanmu. 'Pabila ia menjelma jelaga, engkau butuh Lentera agar Rindu tersebut tetap akan ada dan sederhana. Ketahuilah, mayapada ini fana, kitalah yang baka. Yang sementara pertemuan, kerinduanlah yang abadi. *** Pict by Canva (free)
VIEW MORE

Chapter 1 - Muasal Dera

Setibanya mereka dari KUA, Rima langsung memberondong Bary. "Kamu mau tidur dengan saya?"

Perlahan Bary memutar wajah, mengunci tatap, lalu balas bertanya, "Kenapa Kakak bicara begitu?"

"Kenapa? Bukankah siang tadi di depan Penghulu, kamu sudah berikrar menjadikan saya sebagai istri kamu?"

Meskipun Rima cukup lugas dalam menyampaikan argumennya, tetapi pada saat yang bersamaan, Bary masih bisa menangkap dengan jelas ada lara dalam gaung suara Rima.

"Iya, Kakak memang betul," sahut Bary juga pada akhirnya. "Tapi sampai kapan pun, Kakak tetaplah kakakku. Kakak yang saya hormati dengan sepenuh hati."

"Apakah kamu tidak mencintai saya?" Kembali Rima melaungkan sendunya. Bary semakin mudah membaca, Rima hanya coba berkamuflase tentang rasanya.

"Sangat, Kak, sangat," timpal Bary, remaja pria lima belas tahun ini dengan penuh keyakinan. "Sumpah demi Allah, saya sangat mencintai Kakak. Apakah Kakak mulai meragukan saya?"

"Lalu, kenapa kamu tidak mau tidur dengan saya?" Rima masih bersikeras, tetapi nada bicaranya semakin landai.

"Karena Kakak adalah kakakku. Mana mungkin saya berani kurang ajar sama Kakak? Saya ini adik kamu, Kak! Kenapa Kakak memaksa saya untuk melakukan itu? Apakah Kakak sudah tidak menginginkan saya untuk menemani hidup Kakak lagi? Kenapa, Kak? Apa salah saya ... ?"

Bary sudah berusaha, tetapi pada akhirnya ia mulai kesulitan meredam rasa perih. Matanya mulai berkaca-kaca.

Mendapati itu, sedetik kemudian, Rima yang tengah hamil dengan usia kandungan jelang enam bulanan ini, sigap menabrakkan tubuhnya ke tubuh Bary, lalu memeluk Bary dengan begitu eratnya.

"Maafkan kakak, Dek," desis Rima dengan tidak kalah lirihnya.

Sampai di sini, bak dam jebol, Rima yang sejak tadi juga memperjuangkan tangisnya agar tidak sampai tumpah, pada akhirnya tak terbendungkan lagi.

"Maafkan Kakak, Dek. Karena Kakak, kamu juga ikut terlunta-lunta," tambah Rima di antara derai isak tangisnya.

"Tidak, Kak, tidak!" balas Bary cepat. "Kakak tidak boleh bicara seperti itu. Ini mungkin sudah takdir kita. Saya ikhlas, Kak, sangat ikhlas. Kakak tidak perlu meragukan saya. Bisa hidup bersama Kakak saja, itu sudah lebih dari segalanya bagi saya. Percaya sama saya, Kak!"

Rima tak mampu lagi berkata-kata. Rima tahu, keikhlasan Bary tak mungkin dapat ia pungkiri. Akan tetapi, karena keikhlasan itu jugalah Rima semakin sukar menyembunyikan perih pada lahir dan batinnya.

Tiga bulanan hidup bersama di 'pembuangan' ini, Rima semakin letih berpura-pura tegar di hadapan Bary, adik angkatnya yang hanya dilabeli 'anak pungut' oleh Bu Lija, ibu Rima.

Sedangkan Bary, semakin ke sini, dia semakin hapal dengan sikap Rima, wanita yang menjadi korban dari kebejatan orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung bagi Rima sendiri.

Selain rela pasang badan, Bary juga ikhlas mengorbankan banyak hal. Semua itu tidak lebih hanya demi mengembalikan senyum yang terenggut dari wajah Rima.

Padahal, Bary tidak punya hubungan apa pun dengan Rima kecuali sebatas kakak angkat tersebut.

Empat bulan kemudian.

"Mana bidannya?" Rima menyambut Bary dengan mimik resah.

"Dia tidak mau datang, Kak!" sahut Bary dengan nada yang sangat terukur.

"Ya Tuhan ...," lirih Rima. "Kenapa, Dek?" tambah Rima.

"Mama Yohana minta lima ratus untuk uang muka. Uang kita tidak cukup," terang Bary.

"Mama Yohana bilang begitu?" tanya Rima lagi.

"Iya, Kak," sahut Bary.

"Ya, Allah," lirih Rima pelan seolah-olah mengucap untuk dirinya sendiri.

Bary terdiam. Bary yang baru saja kembali dari rumah Mama Yohana, meminta Bidan Kampung tersebut untuk membantu persalinan Rima, tetapi ditolak mentah-mentah dikarenakan Bary tidak punya cukup uang untuk membayar uang muka persalinan, kian terpuruk saat mendapati mimik perih di wajah Rima.

Ingin rasanya Bary saja yang menangis menggantikan Rima. Rima yang malang ini, semenjak dia dibuang oleh ibu kandungnya sendiri, ia sudah terlalu letih menangis. 

"Tolong, Dek! Cepat cepat! Uh ... uh!" Rima membuyarkan lamunan Bary sesaat barusan.

"Iya, iya, Kak," sahut Bary dengan begitu paniknya. "Bantu apa, Kak?" tambahnya sembari menghampiri Rima.

"Cepat ambilkan sarung!" seru Rima dengan nada yang memburu.

"Iya, iya!" sahut Bary dan langsung meraih sarung yang tersusun rapi di atas tikar. "Mau diapakan sarungnya, Kak?" tanya Bary kemudian.

"Cepat lipat tiga baru taruh di bawah paha kakak!" Nada Rima semakin melaju.

Secepat itu juga Bary melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Rima. Sesaat kemudian, Bary sudah melipat kain sarungnya menjadi tiga bagian sebagaimana yang diinginkan oleh Rima. Akan tetapi, untuk menaruh kain sarung tersebut di bawah paha Rima, yang tengah rebahan terlentang dengan kedua lutut ditegakkan, Bary sungkan, Bary tidak berani.

Apalagi, Rima tengah dalam kondisi hendak bersalin, yang mana, otomatis dia tidak mengenakan pakaian dalam.

Bary sangat menghormati Rima. Meskipun dalam keadaan darurat seperti saat ini, tetap saja Bary merasa risih jika harus menatap bagian-bagian privat di tubuh Rima.

"Sudah?" tanya Rima.

"I-iya, Kak, sudah," sahut Bary sambil menyodorkan kain tersebut kepada Rima, tanpa menolehinya.

Rima menyambutnya, tetapi jika hanya satu helai kain sarung, Rima merasa belum cukup. "Masih ada sarung kita, 'kan? Tambah satu lagi!" seru Rima.

Rima semakin panik, begitupula dengan Bary. Bersamaan dengan itu, tanpa menunggu diperintah dua kali, secepat itu juga Bary melakukan seperti apa yang Rima minta. Kini Bary sudah memegang kain sarung yang lain.

"Taruh di mana ini?" tanya Bary.

"Pegang, pegang!" seru Rima. "Pegang! Taruh di bawah 'anu' kakak. Sambut bayinya pakai itu!"

"Ta-tapi, Kak?" Kondisinya semakin darurat, tetapi Bary belum bisa melakukan begitu saja apa yang diperintahkan oleh Rima.

"Tidak apa-apa, Dek, tidak apa-apa! Tolong bantu, kakak! Aduh, Ma ... tolo-ng!" lirih Rima dengan napas yang kian memburu.

Rima menyebut 'Ma', Ma yang mana? Bary merasa Rima tidak punya Ma lagi. Ma-nya sudah membuang Rima. Sedih, Bary benar-benar pilu.

Bary risih, Bary sungkan, Bary cemas. Akan tetapi, Bary harus melakukannya. Meskipun Bary tidak tahu kenapa Rima memintanya untuk melakukan hal tersebut, tetapi ia lakukan saja seperti apa yang Rima perintahkan. 

Lalu, dengan kain sarung di genggaman, ragu-ragu Bary menengadahkan tangan di 'jalan keluar', di bawah pangkal paha Rima.

"Kak," desis Bary. Bary sudah melihat adanya separuh kehidupan baru yang tersembul dari sesuatu Rima.

"Uh ... ! Uh ... !" Deru napas Rima. Ia tengah mengejan sekuat tenaga.

Pada saat yang bersamaan, Rima yang kesulitan bernapas, Bary yang ketakutan. Rima yang bertarung melawan hidup atau mati, separuh nyawa Bary yang serasa telah lebih dulu melayang.

"Sudah keliatan? Uh ... ! Uh ... !" Kembali terdengar napas memburu dari Rima.

"Apa, Kak?" jawab Bary balas bertanya.

"Bayinya!" imbuh Rima.

"O, iya iya! Kepalanya sudah keliatan!" Jawab Bary.

Samar-samar, memang Bary sudah melihat kepala bayi Rima sejak beberapa saat barusan tadi. Itulah kenapa Bary sampai keringat dingin.

"Pasang tangan! Sambut kalau dia keluar! Jangan sampai dia jatuh ke lantai! Uh ... ! Uh ... !" Kali ini napas Rima lebih berat, dan lebih panjang. 

Sesaat kemudian.

"Uh ... ! Ah ... !"

Bayi Rima pada akhirnya terlahir ke dunia. Tangkas pula sepasang tangan Bary yang beralaskan kain sarung terlipat menyambut bayi tersebut. 

"Ngek ... !"

Ada jeda sekian saat lamanya barulah bayi berjenis kelamin laki-laki ini mengeluarkan suara tangisan pertamanya.

"Cepat, cepat!" Kembali nada bicara Rima menderu.

"Iya, iya, kenapa?" Bary pun kembali pada kepanikan semula.

"Kasi tengkurap!" seru Rima.

"Apa, Kak?" Bary tidak mengerti.

"Kasi tiarap dia supaya ari-arinya tidak kembali dalam perutnya," ucap Rima lagi.

"O ...." Bary membolakan bibirnya.

Lalu, meskipun bimbang, tetapi Bary tidak berani membantah. Hati-hati ia telungkupkan bayi tersebut di atas lipatan kain sarung yang yang lain. Bary menaruhnya di samping Rima.

"Lepas! Biar kakak yang tekan!" seru Rima. "Tolong ambilkan pisau biar kakak yang potong!"

"Ya, Tuhan? Jangan, Kak, jangan! Kasian, salah dia, apa? Biarkan saja dia tetap hidup! Ada saya yang nanti bantuin Kakak!"