Kringg… Kringg…
Satu pesan masuk tampak memenuhi layar ponsel milik Kirara yang diletakkan tepat di atas meja. Namun, pesan itu diabaikan karena sang hawa masih saja memejamkan mata dan menikmati tidur di hari sibuknya.
Kringg… Kringg…
Nada dering itu kembali terulang beberapa kali hingga membuat Kirara merasa terusik dan akhirnya bangun dari mimpi indah yang sedang dialaminya. Ia sedikit bangkit, kemudian mendudukkan diri dan bersandar pelan pada bahu ranjang seraya membuka pesan dalam ponsel genggam miliknya.
Ia mengernyit heran kala kedua netra itu menatap aneh pada nomor masuk tidak dikenal yang muncul begitu saja tanpa seizinya. Pesan misterius yang membuat dirinya cukup tidak bersemangat di Senin pagi cerah kali ini.Â
"Selamat pagi, Kirara. Semoga harimu selalu cerah. Jangan lupa tersenyum karena itu akan membuatmu tampak ceria walau aku tahu sebenarnya kau tidak sedang baik-baik saja."
Kirara terdiam, ia masih menatap lamat pesan aneh yang membuatnya tak bersemangat. Kirara mendecih, kemudian segera menutup layar ponsel dan bergegas bangkit untuk segera bersiap pergi ke sekolah. Menyambar handuk dengan cepat tanpa mempedulikan pesan singkat yang baru saja ia baca.
Pesan aneh. Kirara terus membatin sambil berjalan malas, menuju ruang lembab yang biasa ia gunakan untuk sedikit bersantai dan melepas penat. Dari hari ke hari saat bangun tidur pikirnya selalu teringat akan bayangan Litta yang terus dan akan selalu menghantuinya. Terkadang pernah terpikir untuk Kirara bunuh diri dan meninggalkan dunia beserta isinya, tetapi ia sadar bahwa Litta yang melihatnya dari kejauhan sana pasti tidak suka dan akan membenci dirinya. Hatinya mendadak dingin. Sedingin embun pagi yang jatuh dan membasahi dedaunan pagi buta.
Sejujurnya Kirara sudah muak dan ingin sesekali menceritakan masalahnya pada Dikta, tapi Kirara masih terlalu ragu karena bagi Kirara, Dikta bukanlah seorang pria layak disebut kakak. Apalagi sampai mau mendengar keluh kesah yang dirasa oleh adiknya. Oh, atau jangan-jangan semua pikiran buruk itu hanya berasal dari hati Kirara? Entahlah, tapi yang jelas Kirara tidak terlalu menyukainya karena Dikta juga selalu memendam masalah yang ia punya tanpa bercerita pada siapa pun termasuk dirinya.
Kirara diam. Ia tidak ingin memberi tahu Dikta bahwa Litta telah mati dibunuhnya. Kirara tidak ingin Dikta terus menanggung beban yang disebabkan olehnya. Kali ini sudah cukup. Kirara merasa dirinya sudah dewasa dan ia ingin menghadapi semua masalahnya sendiri.
Apalagi tentang Litta.
Sekotor apa pun dunia yang telah dimasukinya, Seburuk apa pun hari yang telah dilalui, setidaknya Kirara masih memiliki hari esok untuk menebus segala yang telah ia perbuat dan mempertanggung jawabkannya.
***
Pagi hari selalu menjadi saat menyebalkan bagi Kirara karena ia tidak akan pernah tahu apa saja hal-hal dan kejadian kecil yang akan dilaluinya selain membuat onar, mencetak masalah, dan berakhir masuk ke ruang bimbingan dengan pak Dayat. Bukan Kirara, tetapi siswa sok tangguh itu dulu yang sebenarnya coba memulai dan mencari masalah dengannya. Tapi pada akhirnya mau seperti apa pun kegaduhan yang mereka sebabkan akan selalu berimbas pada Kirara dan ia juga tidak dapat menyangkalnya.
"Itu… Davin?" gumam Kirara bertanya-tanya, menatap figur di depan sana tengah berdiri gagah dengan seragam khas yang biasa dikenakan, memeriksa kelengkapan seragam setiap siswa-siswa dengan buku catatan di sebelah tangan. Merasa abai dan tidak mau tahu, Kirara terus melangkah tanpa memedulikan Dikta yang terus menatap ke arahnya. "Tck dasar, sok disiplin sekali."
Sebuah kejadian gila menyapa dirinya lagi dan lagi, tepat ketika ia baru ingin masuk gerbang sekolah, terdengar suara seseorang pria yang menyerukan nama kecilnya, "Kirara…"
Ya, Davin, lelaki itu berteriak lantang sambil menyebut namanya, kemudian berlari mendekati Kirara dengan langkah tegas tanpa goyah hingga membuat seluruh pandang mata tertuju padanya. Pasalnya Davin dengan seragam kedisiplinan bukanlah Dvin yang ramah seperti biasa, melainkan berubah menjadi lelaki dingin dalam sekejap mata. Tapi bagaimana bisa lelaki itu dengan santainya menyerukan nama Kirara lalu berlari mendekat ke arahnya.
Kirara mendecak sebal, menghentikan langkahnya dengan terpaksa.
"Kau sudah datang?" tanya Davin, berlari kecil sambil sedikit merapikan rompi yang dikenakan.
Merasa kesal, Kirara hanya diam dan menatap Davin dengan malas tanpa berbicara sepatah kata. Namun, hati kecilnya seolah berbicara, "Kenapa dia terus mendekatiku? Apa mungkin dia benar-benar menyukaiku?"
"Tumben sekali kau sudah datang sepagi ini? Upacara akan dimulai beberapa menit lagi. Jadi, cepat bersiap dan berbaris di halaman seperti biasa," ucap Davin, menjelaskan.
"Aku sudah tahu. Tidak perlu memperingatiku," jawab Kirara dingin. "Kalau begitu sampai jumpa."
Belum sempat Kirara melanjutkan langkah, pergelangan tangan kanannya sudah lebih dulu ditahan oleh Davin. "Tunggu dulu."
"Apa? Tidak usah sok baik padaku. Aku sudah berulang kali mengatakan hal itu padamu. Apa kau tidak bosan mendengarnya?!" Kirara membentak dengan perasaaan yang diliput rasa tidak nyaman.
"Maaf. Tapi aku harus tetap menjalankan tugasku sebagai dewan kedisiplinan. Oleh karena itu aku akan memberimu kartu peringatan," Dikta berucap, ia sibuk menuliskan sesuatu pada lembar kertas warna putih bergaris dengan stempel sekolah berada di ujung kanan kertas, kemudian merobek dan memberikannya pada Kirara.
Gadis itu semakin dingin saat rungunya mendengar kata yang diucapkan oleh Davin barusan. Ia datang lebih awal dari biasanya, tetapi kenapa masih juga dapat kartu peringatan untuk yang kesekian kalinya.
"Apa maksudmu hah?!"
Davin menoleh sesaat setelah ia selesai dengan pekerjaannya. "Aturan nomor lima adalah tidak boleh mengenakan rok di atas lutut."
Kirara diam, ia lantas dengan cepat menunduk dan menatap malas seragam abu-abu yang ia kenakan. Kedua matanya memutar malas lalu segera menatap Davin dengan pandangan menusuk seolah dirinya ingin membunuh Davin hanya melalui pandangan mata.
"Sialan."
"Peraturan nomor delapan, tidak boleh mengumpat saat ditegur," ucap Davin, sambil menuliskan sesuatu di atas lembar kertas yang sama seperti lembar sebelumnya. "Dan ini adalah peringatan kedua di hari senin ini."
Kirara kesal, ia mengacak surainya sampai berantakan dan tak lagi tertata rapi. "Sebenarnya apa yang kau mau hah? Kau ingin menghukum dan membawaku ke ruang bimbingan la—"
"Selamat pagi adikku sayang…"
Belum selesai Kirara melanjutkan acara protes pada Davin, suara menyebalkan itu sudah lebih dulu datang dan mengusik pendengarannya. Belum lagi Kirara merasakan kedua bahunya sedikit berat seperti ada beban yang dipikulnya. Kirara kemudian segera menoleh sesaat, ke arah Dikta berdiri dengan santai sambil merangkulnya.
"Lepaskan!" Kirara sedikit membentak lalu berdiri menjaga jarak dari kakaknya, membiarkan kedua lelaki itu saling berhadapan dan bertatap mata tanpa sopan.
"Kenapa?" tanya Davin ketus, membuat Dikta yang semula memasang raut tegang kini mulai menunduk dan sedikit tersenyum.
"Lo kalau suka sama adik gue nggak gini caranya," Dikta berkata, menatap lekat mata Davin tanpa dialihkan.
Davin menarik napas, kemudian menutup buku catatan yang semula dibawa dan menyelipkan bolpoin bertinta hitam itu di balik saku seragam.
"Kenapa diam? Lo beneran suka, ya?"
Davin menunduk dan berusaha menampilkan senyum seraya menatap Kirara yang saat ini masih berdiri tepat di sebelah Dikta. "Ya, kenapa? Aku memang menyukainya."
Kedua mata Dikta membola sempurna lalu tertawa tanpa dosa. "Ternyata benar, kau menyukainya. Tapi, apa kau pikir aku akan memberikan Kirara semudah itu? Tidak. Aku tidak akan pernah mengizinkan seorang lelaki mendekati dirinya. Meski hanya selangkah saja."