Pagi yang indah–karena hari ini aku akan masuk kuliah lagi. Tunggu, sebenarnya bukan itu yang terlalu ku inginkan, melainkan bertemu dengan Dea. Walaupun kemarin baru bertemu, tapi rasanya aku sudah sangat rindu padanya.
Aku pun bergegas mempersiapkan segalanya dan langsung pergi tanpa sarapan lebih dulu. Lagi pula, tidak ada teman ku untuk sarapan pagi ini, karena papa sedang dinas keluar kota. Jadi, tidak akan ada yang meneriaki ku jika aku tidak sarapan.
Ku nyalakan mobil jazz hitamku, yang baru ku cuci kemarin sebelum pergi bersama Dea. Lalu aku pun melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya yang masih sepi itu. Hatiku begitu menggebu, aku sangat tidak sabar untuk bertemu dengan Dea. Jika bisa, mungkin aku sudah meminjam 'pintu kemana saja' milik doraemon. Namun, sayangnya di abad ini alat itu belum diciptakan.
Setelah sampai di depan rumah Dea, aku meng-klakson dua kali, dan pak satpam pun segera menghampiriku.
"Pagi, Derel. Wah! Cepat sekali kamu berangkat kuliahnya? Memang anak rajin, ya. Salut saya," puji Pak Bambang padaku. Membuat dadaku seakan ingin meledak karena rasa bangga dan bahagia.
"Hehe, iya, Pak. Lagi semangat. Dea nya ada, Pak?"
"Ada. Mungkin masih siap-siap, Rel. Masuk aja dulu, dari pada nunggu di sini."
"Hehe, boleh, deh, Pak."
"Sebentar, Tak bukain gerbangnya."
"Hehe, iya, makasih banyak, Pak. Maaf merepotkan," cengirku yang merasa tidak enak karena membukakan gerbang untukku.
Kemudian beliau hanya sedikit membungkuk saat aku melewatinya.
Setelah memarkirkan mobil–aku langsung masuk ke dalam rumah Dea.
"Assalamu'alaikum, any body home?" teriakku agar seluruh penghuni rumah ini mendengar kedatangan ku.
"Wa'alaikumsalam, duduk dulu, Rel," jawab Bik Ijah dari dapur.
"Bibik lagi apa? Derel bantu, ya, Bik?" aku pun berjalan ke arah dapur, walau bibik sudah melarangnya.
"Nggak usah. Tinggal dikit lagi, kok. Kamu duduk aja sana. Nanti bajunya bau, lagi," larang bibik lagi.
"Nggak papa, Bik. Biar Derel tambah pinter masaknya, hehe," aku pun membantu Bik Ijah menyiapkan sarapan pagi itu–yaitu nasi goreng seafood ala rumahan yang dijamin enak banget.
"Oya, Bik. Dea mana, Bik? Kok lama amat siap-siap nya?" tanyaku penasaran karena sudah lama Dea belum turun juga.
"Hm. Mungkin masih tidur, Rel. Tadi habis salat subuh dia langsung tidur lagi. Katanya badannya sakit semua. Mungkin kecape-an."
"Parah! Anak gadis jam segini belum bangun? Harus disiram ini, Bik. Derel izin ke atas, ya, Bik," Ucapmu yang langsung pergi tanpa mendapat jawaban terlebih dahulu dari bibik.
Sesampainya di depan kamar Dea, aku pun perlahan membuka pintu dan benar saja, aku mendapati Dea yang masih lelap dalam mimpinya ditemani oleh selimut berwarna birunya.
Keinginanku untuk segera membangunkannya tertunda karena melihat kepolosan wajahnya ketika tidur. Ia begitu manis dan indah ketika tidur, rambut panjangnya tergerai indah menutupi sebagian wajahnya yang tidur dalam posisi miring. Aku melihat ia sedikit terganggu akibat rambut itu. Akhirnya aku pun mencoba menyibak rambutnya ke belakang telinganya.
Hingga tiba-tiba dua buah bola mata itu terbuka dan manatapku tajam dan terkejut.
"Aaaaaargggh!!! Iblis! Di kamar Dea ada Iblis Bik! Tolong!!" pekiknya hampir membuat gendang telingaku pecah lantaran jarakku dengan dia begitu dekat.
Aku pun menutup mulutnya spontan, "Heh! Diam Loe. Heboh aja. Nanti orang pada ngira Gue ngapain Loe, lagi."
"Hmhm ... Hmhmmm."
"Loe ngomong apa, sih, De? Kagak ngarti Gue," Ucapmu bingung dengan bahasa baru Dea.
"Hmmm ...." ucapnya menunjuk ke arah mulutnya yang masih ku bekap.
"Oh, iya. Lupa Gue. Makanya jangan teriak lagi. Oke?"
Aku pun perlahan melepaskan tanganku dari wajahnya.
"Ngapain Loe di kamar Gue? Sejak kapan Loe ada di sini? Siapa yang ngizinin Loe buat masuk ke kamar Gue? Terus, rencana busuk apa yang mau Loe lakuin sama Gue barusan? Haa?? Jawab Gue, Dereel!!!" serbu Dea dengan sederet pertanyaan parno nya.
"Oke, Gue jawab satu-satu, ya. Pertama, Gue mau bangunin Loe, karna hari ini kita masuk kuliah. Kedua, Gue di sini sejak lima belas menit yang lalu, lah. Ketiga, Gue udah minta izin sama Bik Ijah. Keempat, Gue nggak punya rencana busuk apapun, Gue cuma mau ngawasin rambut Loe dari muka Loe. Karna kayaknya Loe jadi risih, eh, tau-taunya Loe bangun, deh. Selesai cerita," jelasku dengan rinci dan santai.
"Yakin, Loe?" selidik Dea yang masih mencurigai ku.
"Iya, Dea, Sayang. Apa lagi yang harus Gue bilang biar Loe percaya? Seumur hidup Gue juga belum pernah ngerusak anak orang, kali, De."
"Apa? Jadi Loe punya rencana untuk ngerusak Gue?"
"Eh, kuping Loe taruh mana? Gue bilang apa malah dia bilang apa. Untung Gue sayang sama Loe. Kalau nggak," lirih ku yang ternyata didengar oleh Dea.
"Kalau nggak apa?"
"Kalau nggak, Gue bakal eksekusi Loe saat ini juga. Buruan mandi, siap-siap, trus kita cabut ke kampus. Daa, Gue turun dulu," ucapku melenggang keluar kamar dan kembali menutup pintu yang sedari dari terbuka lebar.
***
Lima belas menit berlalu, akhirnya Dea pun turun dan bergabung bersama kami di meja makan. Walau kami semua berasal dari keluarga yang berbeda, tapi kehangatan yang tercipta diantara orang-orang ini begitu kental dan inilah suasana yang sudah lama kurindukan. Dea masih beruntung dikelilingi oleh orang-orang baik yang masih mau mengabdi untuknya. Sedangkan aku hanya tinggal seorang diri jika papa pergi keluar kota. Jika pun dia ada, kami hanya makan di dalam keheningan.
"Apa lagi rencana busuk Loe, haa?" ucap Dea yang tiba-tiba melihat ke arahku.
Aku sendiri tidak sadar, sejak kapan aku melihat gadis itu, "Ee-eh, nggak. Gue salut aja sama Loe," ucapku berbohong dengan seulas senyum.
"Jangan gitu, dong, Dea," bela Bik Ijah padaku.
"Ih, bibik, kok malah belain dia, sih?"
"Ya, habis kamu emosian nggak jelas."
"Gimana nggak emosi, Bik. Masak bangun tidur udah liat penampakan devil. Siapa yang nggak takut."
"Devil apaan, Neng?" celetuk Pak Bambang.
Sontak suasana pun jadi diam beberapa detik, dan beberapa saat kemudian aku dan Dea kompak tertawa. Sedangkan yang lainnya hanya diam mematung dengan segudang tanda tanya.
"Ehem. Derel kasih tau artinya, ya, Pak. Devil itu artinya 'iblis'." ucapku dengan memberi sedikit penekanan pada kata iblisnya.
"Ooo," ucap mereka serempak.
"Lah, iblis mana yang gangguin Neng Dea? Biar Pak Bambang hadapin," tegas Pak Bambang penuh gaya.
"Nih, iblisnya ada di depan Dea, Pak," tunjuk Dea sambil melihat ke arahku.
"Maksudnya Nak Derel, kah?" tanya Pak Bambang ragu.
"Nggak lah, Pak. Derel, kan anak rajin, baik hati, rajin menabung. Mana mungkin jadi devil. Paling Dea lagi mimpi buruk, terus nggak sadar kalau Derel ada di sana untuk bangunin dia. Jadi dia sangka Derel itu devil yang tadi ada di dalam mimpinya," ucapku mereka adengan yang kubuat sendiri.
"Oo, wes toh. Mimpi ternyata. Besok-besok kalau mau tidur jangan lupa baca doa, ya Dea? Biar nggak nampak 'iblis' lagi. Oke? Lanjutin makannya. Bapak lanjut bertugas dulu," nasehat Pak Bambang yang kemudian pamit untuk kembali ke poskonya. Diikuti oleh Pak Adi.
Aku hanya senyum-senyum sendiri menyaksikan raut wajah Dea yang manyun akibat Pak Bambang yang mempercayai ceritaku dan berlalu pergi begitu saja serta tidak membelanya. Kemudian ia malah balik menatapku tajam, seakan lewat pandangan itu ia sedang mengibarkan bendera peperangan padaku. Membuatku takut dan mengalihkan pandanganku pada nasi goreng di hadapanku.
Beberapa saat kemudian, kami pun pamit dan berangkat ke kampus.
Di mobil, suasana hening. Tidak ada tanda-tanda Dea akan memulai pembicaraan. Akhirnya aku memutuskan untuk memulainya lebih dulu.
"Ehem! Loe marah, ya sama Gue? Gara-gara tadi?"
"Ehem, nggak juga tuh," jawabnya jutek.
"Kalau nggak marah, kok jutek, sih?"
"Terus? Gue harus ng-alay, gitu?"
"Ya, enggak juga. Eh, tapi makasih, ya untuk pagi ini, De."
"Makasih? Buat apa? Oo! Gue tau. Buat udah ngizinin Loe masuk rumah Gue dan ngancurin pagi indah Gue, kan? Fix, Gue benci Loe."
"Eeeh, bukan! Gue bilang makasih untuk ..., untuk suasana pagi ini. Udah lama banget Gue nggak ngerasain makan bareng sambil diselingi canda tawa gitu. Rindu aja," tuturku sambil mengenang masa-masa indah itu.
"Yaudah. Kalau gitu Loe boleh makan kapan aja yang Loe mau di rumah Gue. Udah, jangan sedih lagi. Kita, kan nggak sendiri lagi sekarang. Kita berdua ada untuk saling menguatkan, kan?" tutur Dea santai namun tersirat sebuah ketulusan.
"Makasih untuk pengertiannya, De."
"Sama-sama," akhirnya dia pun kembali tersenyum.
"Kalau gitu, hari ini Gue mau makan lagi, deh di rumah Loe. Gue lagi males di rumah. Sepi. Cuma ada Gue sendiri."
"Lah, papa Loe kamana?"
"Biasa.Dinas."
"Ooo. Oke, datang aja."
"Kalau gitu kita harus rencanain mau masak apa dari sekarang. Biar kita berdua yang masak. Kasihan Bik Ijah terus yang masak, beliau pasti juga capek."
"Iya, ya. Apa yang enak aja, deh. Gue ngikut. Gue juga kurang pandai dalam hal memasak."
"Aman. Nanti Gue ajarin. Oke?"
"Oke."
Kami pun kembali melanjutkan pembahasan itu sampai ke kampus. Akhirnya, aku menemukan kembali kehangatan itu. Terima kasih, Deandra Ozahwa.