Pagi pun tiba, dan aku masih berada di dalam kamarku saat Bik Ijah mengetuk pintu kamar dan menyampaikan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu denganku. Aku hanya mengatakan agar bibik menyuruh orang itu untuk menunggu ku bersiap-siap. Setelah mimpi semalam, tidak sedetik pun mataku bisa terpejam. Pikiranku melayang jauh mencari sesuatu.
Hingga kini pun. Mengapa harus ada seseorang yang datang disaat aku sedang tidak berselera untuk bergerak sedikit pun. Padahal aku tidak berjanji dengan siapa pun hari ini. Namun, mungkinkah itu Derel? Kenapa aku tiba-tiba mengingatnya?
Hatiku merasakan bahwa itu memang dia. Namun, aku tidak mau berlarut-larut dalam kebingungan ku. Maka, aku segera bersiap dan bergegas keluar.
Ketika sedang menuruni tangga, dapat kusaksikan punggung seorang pemuda yang tengah sibuk melihat-lihat lukisan yang ada di ruang tamuku.
Aku pun mempercepat langkah, dan sedikit berdehem, "Ehem," membuatnya berbalik dan tersenyum ke arahku.
"Hai, pagi?" sapanya ramah.
"Pagi juga. Ngapain Loe ke sini? Mentang-mentang udah tau rumah Gue, bukan berarti Loe bisa datang seenaknya aja," ketusku.
Walau sebenarnya–entah sejak kapan, hatiku sedikit tenang bila bersamanya. Seakan bebanku hilang entah kemana.
"Gue mau masti-in aja gimana keadaan Loe sekarang. Dari pada ngomong panjang kali lebar di telpon, mending Gue datang langsung aja, kan ke rumah Loe?" ucap Derel santai. Sepertinya ia tidak sedikit pun terpengaruh oleh ucapan ketusku tadi.
"Ya, seperti yang Loe liat. Gue baik-baik aja, kan? Kalau gitu Loe bisa pergi sekarang!" usirku segera. Walau sebenarnya aku masih ingin ia tinggal lebih lama lagi.
"Yakin? Ntar, pas Gue pergi Loe nangis lagi, terus nyesal, deh. Terus rindu ..." tuturnya kembali 'sok'.
"Idih, siapa Loe yang bakal Gue tangis-in dan Gue rindu-in? Bukan siapa-siapa, kan? Jadi ..."
"Ada. Loe, kan pacar Gue. Lebih dari itu, Loe itu kekasih yang Tuhan cipta-in buat Gue seorang. Satu-satunya pasangan Gue, sekarang, nanti, dan selamanya."
"Anjay. PD amat Loe bakalan Gue anggap sebagai pacar Loe. Mimpi!"
"Lah, Ryan aja udah ngaku kalau kita itu couple. Masa Loe sendiri nggak, sih, Sayang?"
"Ryan? Ngaco Loe. Mending sekarang Loe pulang, minum obat, biar sakit jiwa Loe nggak kambuh lagi, okey? Gih, cepet!"
"Aduuh, Loe emang cewek yang perhatian sama cowoknya, ya. Bangga Gue punya pacar kayak Loe."
"Rel, serius. Gue udah gerah," ucapku yang sudah jengah.
"Mandi sono. Pasti belum mandi, makanya gerah, ya, kan?"
Aku pun tidak menjawab lagi, melainkan melayangkan pandangan tajamku ke arahnya. Namun, hal itu malah membuatnya semakin tertawa riang.
Melihatnya seperti itu, aku juga ikut bahagia. Ia seperti tidak memiliki beban sedikit pun. Bebas, lepas, dan damai. Apakah ia akan mengerti bila aku membagi dukaku bersamanya? Atau ia malah akan mengasihani ku?
Ia masih tertawa saat aku mulai memanggilnya,
"Rel?" lirihku.
"Derel!" ucapku agak meninggi karena ia tidak mendengarkan panggilan ku.
"Eh, maaf-maaf. Iya? Ada apa, De?" ucapnya mengerutkan dahi setelah melihat ekspresi wajahku yang berubah dan kepalaku yang sedikit tertunduk.
"Oh,iya. Dea, Loe mau denger cerita Gue, nggak? Soalnya Gue lagi butuh tempat buat cerita sekarang. Apa Loe mau jadi pendengar setia buat Gue?" tutur Derel penuh harap padaku.
Tiba-tiba, kepalaku terangkat mendengar kalimatnya itu, "Cerita apa? Selagi Gue bisa, Gue bakal dengerin cerita Loe, kok," entah mengapa aku pun mengeluarkan kalimat itu.
Ia tersenyum, dan memulai ceritanya.
"Gue itu anak pertama dari dua bersaudara. Gue punya adek perempuan, namanya Raya. Beberapa bulan yang lalu, dia lagi berjuang untuk dapetin nilai yang bagus di SMA-nya, biar dia bisa masuk PTN yang udah dia incar sejak SMP. Gue salut sama dia, dengan segala keterbatasannya, dia tetap gigih banget buat gapai mimpinya," mata Derel mulai berkaca-kaca membayangkan adiknya.
"Maaf, keterbatasan yang Loe maksud ..." potongku karena penasaran, yang langsung dijawab saat itu juga olehnya.
"Dia mengidap Kelainan Jantung dari bayi, dan selama itu, dia selalu bolak-balik rumah sakit buat kontrol dan berobat. Mama sama papa juga udah mati-matian cari dokter yang terbaik untuk nyembuhin Raya. Ke luar kota bahkan sampai ke luar negeri. Tapi, belum pernah ada yang cocok."
Dia berhenti sejenak, berusaha menghirup oksigen yang mulai menipis diantara kami.
"Tapi Gue udah lega sekarang, karena dia udah nggak sakit lagi. Dia udah bahagia," senyum Derel pilu.
"Syukurlah, berobat di mana jadinya? Sampai bisa pulih total begitu, Rel?" tanyaku penasaran.
Derel kembali tersenyum, tapi senyum yang hambar, "Raya udah tenang, De. Dia udah beristirahat untuk selama-lamanya. Dia udah di tidur nyenyak," ucap Derel berusaha kuat dengan kalimat yang diucapkannya itu.
Aku yang merasa bersalah pun ingin segera meminta maaf karena telah membuka luka lamanya. Namun, sebelum sempat aku berkata, ia sudah lebih dulu memotongnya.
"Nggak usah minta maaf, De. Bukan salah Loe, kok. Ini udah jalannya dari Tuhan. Setelah banyak berusaha, inilah hasil terindah dan terbaik yang Tuhan kasih buat Raya, biar dia nggak kesakitan lagi. Ya, kan?" ucap Derel berusaha tegar dan menahan air matanya.
Aku menepuk pundaknya dan mengangguk, mencoba memberi sedikit energi agar tenaganya sedikit terpulihkan.
"Loe bener. Sekarang Raya udah tenang di sana, dan dia pasti bangga banget punya kakak kayak Loe. Dia pasti beruntung banget punya Loe, Rel," lirihku yang tiba-tiba teringat akan sosok Vino.
"Lebih tepatnya Gue yang beruntung banget punya dia, De. Dia itu hidup Gue, cuma dia yang Gue punya di dunia ini. Jadi, pas tau kalau Raya udah nggak ada, jujur awalnya Gue nggak bisa terima kenyataan itu. Gue seakan kehilangan nyawa Gue sendiri, De. Apalagi setelah kepergian Raya, orang tua Gue mutus-in untuk jalanin hidup masing-masing. Mereka jadi sering bertengkar karena nyalahin diri masing-masing akibat kepergian Raya. Sampai akhirnya mereka milih jalan itu,"
Aku terus menyimak ceritanya dengan seksama. Hingga hatiku pun ikut hancur mendengar cerita Derel yang sama buruknya dengan ceritaku. Hanya saja, cara Tuhan mengambilnya dengan cara yang berbeda. Jika aku kehilangan sekaligus di waktu yang bersamaan, Derel malah kehilangan secara perlahan, dan itu pasti sangat menyakitkan. Layaknya anak panah yang menghunus jantung, dan dicabut secara perlahan. Menyisakan rasa ngilu yang berkepanjangan.
"Terus, sekarang Loe ikut siapa?"
"Gue ikut papa. Papa ada kerjaan di sini, makanya Gue juga ikut pindah ke sini. Sedangkan mama masih tetap di Bandung. Dan ..." ia mengakhiri kalimatnya dengan keraguan dan setetes air mata.
"Dan ... kenapa, Rel?" lirihku penasaran.
Lagi-lagi ia tersenyum pilu, "Mama pergi dihari saat Loe tiba-tiba cabut habis denger lagu Gue di kelas waktu itu. Beliau kena serangan jantung mendadak, mungkin karna masih stress atas kepergian Raya juga. Gue nyanyi-in lagu itu untuk menghibur diri aja, dan berharap Loe adalah sosok dalam lagu itu. Dada Gue sesak waktu itu, De, karna di saat orang yang Gue cinta, pergi untuk yang kedua kalinya, Gue nggak bisa berbuat apa-apa, dan ada di sana untuk melihat nya."
"Ma-maafin Gue, Rel. Gue nggak tau kalau ..."
"Kenapa Loe minta maaf? Bukan salah Loe juga kali, De."
Entah mengapa, aku begitu pilu mendengar cerita Derel. Seakan aku juga merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan. Ya, aku tau, aku juga mengalami hal serupa. Kehilangan orang yang kita sayangi memang berat. Kini aku sadar, yang dikatakan Bik Ijah benar, bukan hanya aku yang memiliki luka di dalam hidup, bahkan orang seceria Derel juga memiliki luka yang sedemikian parah.
"Eh, Gue mau denger cerita dari Loe juga, boleh nggak, De?" ucap Derel membubarkan lamunanku.
Aku menatap matanya dalam. Mencoba mencari kepastian akan sikapnya yang masih tidak kumengerti. Aku takut jika nanti tempat ku melabuhkan seluruh keluh kesah ku adalah orang yang salah. Aku takut jika nanti aku kembali kehilangan dan tersakiti. Namun, sama seperti yang sebelumnya, tak kutemukan sedikit pun cacat dari seorang Derellio Faturrahman.
Setelah diam beberapa saat, akhirnya aku pun memutuskan untuk membagi luka yang selama ini ku simpan utuh itu pada seseorang.
Tersadar dari lamunanku, aku terkejut melihat Derel yang tersenyum melihatku ke arahku.
"Eh, ngapain Loe ngeliatin Gue kayak gitu? Lagi mikirin hal kotor Loe, kan? Ngaku?" bentak ku dan langsung melemparkan sebuah banyak kursi padanya.
"Eh, apa-an. Nggak ada, ya. Yang ada Loe yang dari tadi ngeliatin Gue, Dea," ujar Derel membela diri.
"Nggak ada. Hapus pikiran kotor Loe sekarang juga. Cepet," paksa ku.
"Iya-iya, udah ayo, kalau mau cerita, biar Gue dengerin. Gue perhatiin, muka-muka kayak Loe ini banyak bebannya," celetuk Derel menahan tawa.
"Kelihatan banget, ya?" litihku tiba-tiba. Apa benar lukaku bisa terbaca hanya dari raut waiahku?
"Iya! Kelihatan banget, malah. Makanya Loe kayak beruang kutub. Dingin ...."
Ia kembali mengejekku. Tapi bukan itu yang kupikirkan. Melainkan hidupku selama ini, apakah aku sudah sangat menyusahkan Bik Ijah dan yang lainnya? Apakah aku sudah sangat terlalu menyakiti mereka? Hanya karena lukaku, tak seharusnya orang lain juga ikut merasakan pedihnya yang kurasakan, kan?
"Rel ...."
"Hm?"
"Waktu itu hari senin. Suasananya dingin banget, karna emang lagi hujan deras. Deras banget. Biasanya Gue dijemput sama Pak Adi, tapi hari itu Pak Adi lagi sakit, jadi Gue coba hubungin Kak Vino, tapi nggak diangkat. Gue coba telpon ayah, ternyata sama–nggak diangkat juga. Perasaan Gue mulai nggak enak, karna nggak biasanya mereka kayak gitu. Biasanya mereka fast respon banget kalau Gue telpon."
Sesaat aku terdiam, mencoba menghirup oksigen yang hilang entah kemana, sehingga membuat dadaku terasa sesak.
"Santai aja, De. Rileks. Kita ngobrol santai aja, ya. Biar nggak tegang," senyum Derel sambil menyentuh bahuku.
Aku pun hanya tersenyum simpul. Kemudian, ku lanjutkan mengulas luka yang menyesakkan itu.
"Terakhir, Gue coba nelpon ke rumah. Berharap Bik Ijah, atau siapa pun itu, bakalan jawab telpon Gue. Namun, sama seperti yang pertama, nggak ada jawaban. Akhirnya, Gue nebeng pulang sama temen Gue. Dalam perjalanan, Gue masih terus berusaha untuk menghubungi semua nomor yang udah Gue telpon tadi. Berharap, mungkin aja tadi mereka nggak denger atau semacamnya. Namun, sampai Gue berdiri di depan gerbang pun, telpon itu nggak pernah ada yang ngangkat," perlahan dadaku memanas, sesak.
Sebenarnya aku tidak ingin membahas itu lagi, tapi kuharap dengan menceritakannya pada Derel, sesak itu akan sedikit berkurang, dan teror mimpi itu akan hilang.
Derel kembali tersenyum dan menggenggam tanganku. Mengapa sepertinya semudah itu ia melalui semua ini, dan bahkan masih bisa tersenyum kepadaku? Aku menarik napas, dan kembali melanjutkan.
"Setelah itu, Gue langsung lari dan Gue dorong pintu depan sampai terbuka lebar," aku mulai terisak, "Loe tau? Pemandangan pertama yang Gue liat waktu itu? Di depan mata Gue, semua orang dibekap dan diikat. Ba-bahkan ayah dan Vino u-udah ber-berlumuran darah," dapat ku saksikan rekaman pahit itu kembali terputar dalam otakku. Semuanya masih tergambar jelas, walau sudah lima tahun berlalu.
"Te-terus, Gue liat ada banyak orang pakai topeng di sekeliling mereka semua. Mereka bawa senjata semua. Gue takut, tapi Gue juga marah dengan keadaan dimana Gue nggak bisa ngelakuin apa pun. Tiba-tiba tangan Gue dipegang sama dua orang bertopeng itu, kuat banget. Sampai tangan Gue mau copot saat itu juga rasanya. Mereka ngancam Gue."
'Kalau kamu masih mau liat keluarga kamu, maka kamu harus turuti perintah kami. Cepat ikut.'
'Cepat kamu nyayikan lagu ini. Sebagus mungkin, jangan sampai kamu permainkan kami. Ingat! Orang-orang yang kamu sayang adalah taruhannya.'
"Setelah lirik terakhir selesai Gue nyanyiin, Gue dengar ada keributan di bawah. Ada suara tembakan juga. Gue vari kesempatan untuk kabur, dan Gue berhasil. Gue panik. Darah berserakan dimana-mana. Ayah, ibu, Vino, mereka semua nutup mata, dan berdarah. Di sana, di sana tempat mereka tidur, di dekat guci itu. Sedangkan para pembantu disekap di gudang belakang. Gue dengar langkah kaki yang mendekat ke arah Gue. Gue panik dan mutusin untuk pergi secepatnya dari sana. Gue lari sekencang mungkin, sampai Gue tiba di pinggir jembatan dan berencana mau lompat,"
Tiba-tiba Derel kembali menggenggam tanganku erat, "Mulai sekarang, jangan pernah lagi Loe lakuin hal-hal konyol kayak gitu. Hidup Loe bukan punya Loe sendiri, De. Tapi juga punya Tuhan. Loe masih percaya kalau Tuhan itu ada, kan?" tutur Derel begitu lembut dan tulus. aku hanya mengangguk untuk menjawab kalimatnya itu.
"Gue takut, Rel. Orang itu masih ngincar Gue sampai hari ini. Gue marah sama diri Gue sendiri, Gue nggak berguna sama sekali, Gue udah dimanfaatin sama orang bertopeng itu, dan mereka malah menghianati Gue. Paginya, Gue coba untuk pulang. Gue lepasin Bik Ijah dan yang lainnya. Tapi, pas Gue liat ke tempat berdarah itu, semuanya bersih tnpa jejak. Ayah, ibu dan Vino udah nggak ada. Darah pun nggak tercecer barang setetes. Sampai sekarang, Gue masih percaya mereka hidup. Walau banyak yang bilang kalau mereka udah nggak ada, tapi feeling Gue percaya mereka masih ada. Gue tau, malam itu darahnya banyak banget, dan-dan mereka udah nggak sadarkan diri, tapi ..." Aku tidak bisa menahan gejolak amarah yang ada di dalam dadaku.
"Tenang, De. Tenangin diri Loe dulu," lirih Derek sambil menyodorkan segelas air minum untukku, "Gue akan bantu Loe. Loe nggak akan sendiri. Kita cari mereka sama-sama, ya. Kalau mereka masih hi-hidup, kita bersyukur. Tapi ka-kalau mereka udah nggak ada, kita coba makamkan dengn layak, ya, De," ucap Derel mencoba memilah kata-katanya.
Aku mengangguk setuju. Begitu bersyukurnya aku dipertemukan dengannya. Walau sesak itu masih ada, tapi aku sedikit lega karena telah berbagi dengan Derel.
"Makasih," ucapku singkat.