Chereads / DEODOFA (Antara Nada dan Rasa) / Chapter 2 - Membuka Hati

Chapter 2 - Membuka Hati

(Deandra POV)

Libur semester telah tiba, dan semester depan aku harus lebih giat lagi, karena semester lima, merupakan semester yang seharusnya judul skripsi ku sudah ada, agar aku bisa lulus dengan cepat nantinya.

Awal liburan semester ini merupakan awal yang cukup menyedihkan bagiku, karena tubuhku masih belum pulih sepenuhnya, apalagi bekas hunusan beling di tapak kakiku masih terasa ngilu hingga kini. Ya, mungkin karena akhir-akhir ini aku sedikit terguncang akibat kehadiran anak baru itu. Tapi, mulai saat ini dan seterusnya, aku harus bisa mengontrol diriku agar tidak mudah terguncang lagi.

Berkat nasehat dari Bik Ijah, akhirnya aku pun sadar diri dan mencoba menahan ego ku untuk mengucapkan kata maaf pada Derel. Ku harap, setelah ini ia tidak akan mengusik hidupku lagi, karena mungkin saja selama ini ia terluka dan sakit hati dengan semua sikapku padanya.

Namun, aku tidak mengira reaksinya akan sesederhana itu. Membuatku terngiang-ngiang akan jawaban santai darinya, 'It's okey, Dea. Gue nggak pernah ngerasa sakit, kok dengan semua yang Loe lakuin. Mungkin emang salah Gue juga yang terlalu berani untuk cari masalah sama Loe. Dan ... Kalau Loe mau, Gue siap jadi pendengar setia Loe kapanpun Loe mau cerita. Nggak usah sungkan. Anggap aja, itu sebagai bentuk permintaan maaf Gue karna udah bikin Loe ngamuk terus tiap ketemu Gue.'

Tiba-tiba aku tersenyum mengingat kalimat yang dia ucapkan itu. Terdengar begitu tulus dan ikhlas. Tidak sedikitpun terlihat kepura-puraan di sana. Kemudian, kata-kata Bik Ijah yang melintas di pikiranku, 'Bismillah, jika kamu coba untuk buka hati kamu, dan ikhlas dengan semua yang udah terjadi, InsyaAllah, pasti hal-hal baik akan datang sama kamu, dan kamu akan bisa melihat seseorang dari sisi baiknya. Manusia itu memang nggak ada yang sempurna, Dea. Mereka semua punya sisi baik dan buruknya. Namun, itulah gunanya mata hati kita, bagaimana kita menilai seseorang itu dengan baik dan benar,' itulah nasehat bibik beberapa hari lalu.

Tapi aku takut. Aku takut kalau dia adalah orang yang salah dan kembali menyakitiku seperti mereka dulu. Dunia ini kejam, dan aku tidak boleh semudah itu untuk percaya dengan orang asing. Ya, aku tetap harus berhati-hati.

Ketika otakku sudah ingin beristirahat dari memikirkan 'iblis' itu, tiba-tiba ponselku berdering, sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak kukenal.

"Halo, assalamu'alaikum. Ini siapa, ya? Ada perlu apa telpon malam-malam gini?" serbuku memulai pembicaraan.

"Wa'alaikumsalam. Save, ya. Ini Gue, Derellio Faturrahman," cengir seseorang di seberang sana.

"Ganggu aja, Loe. Nggak ada kerjaan lain apa? Selain gangguin Gue mulu?" celetukku.

"Eh, ini baru jam setengah sembilan, masa udah mau tidur aja Loe?"

"Gue nggak enak badan. Gue mau tidur, bye."

"Ee-eeh, ntar dulu. Loe masih sakit, ya? Kakinya gimana? Masih perih?"

Hening ....

Entah mengapa, sudah sengat lama sekali rasanya aku tidak mendapatkan pertanyaan tentang diriku. Walaupun selama ini ada Bik Ijah dan yang lainnya, tapi rasanya berbeda. Seseorang yang memoet tanyaa keadaanku, apakah aku baik-baik saja atau tidak, dan kini iblis ini tiba-tiba menanyakannya.

Tapi aku tidak boleh hanyut dengan segala bentuk perhatiannya itu, aku harus tetap sadar. Aku tidak boleh lengah dan kembali sukarela menjatuhkan diri ke dalam jurang penghianatan.

"Dea? Loe udah tidur, ya? Diam-diam aja?" pertanyaan itu mengagetkan ku.

"Iya, Gue masih sakit gara-gara Loe. Udah, Gue bilang Gue mau tidur. Bye."

"Ok, deh. Selamat tidur dan bermimpi indah, Cantik. Jangan lupa do'a sebelum tidurnya, masih hafal, kan?"

Tut ....

Sejak aku memberi celah untuknya masuk, sekarang dia sudah mulai berani padaku. Bahkan kata-katanya sudah di luar batas untuk orang asing yang baru kukenal.

'Gue nggak akan lepasin, Loe, Deandra Ozahwa.'

'Gue kan udah bilang, Gue nggak bakal lepasin, Loe! Jadi, Loe harus terbiasa dari sekarang,Okey 'Sayang' ...'

'Ingat, kan? Gue bilang, gue nggak bakal lepasin Loe, Deandra Ozahwa. Ingat itu, okey Cantik?'

Tiba-tiba, kalimat Derel terngiang kembali olehku. Tidak hanya sekali ia mengucapkan 'tidak akan melepaskan ku.' Namun, apa maksudnya itu? Apa dia punya rencana jahat terhadapku? Tapi mengapa tidak sedikit pun ku rasakan niatan jahat darinya? Lagi pula, apa yang dikatakan bibik, benar adanya.

Aku tidak boleh terus-terusan menutup diri pada siapa pun dan terus diam dalam keterpurukan dan luka ini. Aku harus bangkit, bahkan jika aku ingin membalas mereka, tentu aku harus mempelajari lingkungan sekelilingku. Aku harus belajar untuk melihat segalanya dari dua sisi, baik dan buruk.

***

Sebulan telah berlalu, sejak libur semester berlangsung. Kegiatan yang kulakukan selama libur, hanyalah membantu bibik di rumah dan terkadang keluar untuk sedikit mencari angin segar. Selebihnya, aku terus dihantui oleh sosok iblis bernama Derel itu. Setiap hari ia tidak pernah absen untuk menelpon ku. Apa ia ingin memperlihatkan bahwa ia memiliki pulsa yang banyak? Hingga ia bisa menganggu ku setiap hari? Terkadang ia menanyakan persoalan sejarah yang tidak penting, bahkan tidak termasuk dalam materi perkuliahan.

Seperti hari ini, ia kembali menelpon ku di saat aku sudah mulai memasuki dunia mimpiku.

"Assalamu'alaikum, Dea."

"Wa'alaikumsalam. Hm?"

"Udah tidur, Loe? Cepat amat?"

"Buruan. Mau tanya apa, Loe?"

"Gini, tadi Gue lagi baca buku, eh, tiba-tiba Gue ke-inget sesuatu. Makanya Gue langsung nelpon, Loe."

"Terus?"

"Jadi ... Gue mau nanya, ni, De."

"Ya, apa? Buruan! Gue mau tidur, nih. Ganggu mulu, Loe."

"Hehe, sabar-sabar. Gue mau nanya, kenapa hidung itu dikasih nama hidung? Dari mana asal katanya dulu, tuh, De? Terus, bangsa mana yang ngasih nama hidung, De? Loe tau, nggak?"

"Jadi, Loe nelpon Gue malem-malem, cuma untuk nanya kenapa hidung dikasih nama hidung?"

"Iya."

Tut. Telpon pun ku matikan.

Sungguh pertanyaan yang membuatku naik darah. Mengapa hal itu yang ia pikirkan? Apa tidak ada hal lain yang lebih berharga yang harus dia pikirkan dari pada asal-usul hidung itu? Sungguh menyebabkan.

Namun, sejenak aku jadi memikirkan hal yang ia tanyakan tadi. Mengapa hidung diberi nama hidung? Benar juga, ya. Kita selalu menyebutkan selama ini tanpa mau tau asal-usul nya dari mana dan apa arti dari kata itu. Dasar umat manusia.

"Aduh, kok, aku jadi mkirin itu juga, sih? Dasar aku! Udah, ah. Mau tidur aja," ucapku mengomeli diri sendiri.

Akhirnya aku pun memejamkan mata dan perlahan masuk ke dalam dunia lain dalam hidupku. Mimpi.

'Dea!'

'Dea, tolong kaka, De.'

Aku menoleh, ke kanan dan ke kiri. Namun, tidak kitemui siapa pun di sana. Hanya ada aku seorang saja.

'Dea!'

Suara itu kembali memanggilku. Suara yang sudah familiar di telingaku.

'Dea, tolong kaka!'

Suara itu mengisyaratkan agar aku segera menolong si pemiliknya, yang tidak bisa ku lihat sampai saat ini.

Tiba-tiba, ada sebuah cahaya datang menghampiriku, semakin lama cahaya itu semakin terlihat terang hingga mengbuatku harus menyipitkan mata untuk melihat sesuatu itu.

Hingga, seseorang berteriak, 'DEA ....!!' yang diikuti oleh suara hantaman yang dahsyat.

Bruuk ...

Kemudian, aku pun membuka mata dan pemandangan di sekelilingku kembali pada kamar tidurku. Mimpi yang membingungkan sekaligus membuatku takut setengah mati. Ditambah, suara itu seperti suara Vino. Keringat bercucuran di sekujur tubuhku. Takut, itulah yang kurasakan saat ini.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Derel menelpon ku lagi.

"Halo, Dea. Loe baik-baik aja, kan?" ucapnya dengan nada yang cemas.

"I-iya, Gue baik-baik aja, kok. Ngapa Loe? Habis mimpi buruk?" ucapku mencoba menenangkan diri, dan mencoba membuat nada bicara ku se-normal mungkin.

"Perasaan Gue nggak enak aja barusan. Trus, ingat nya ke-Loe," ucapnya masih cemas.

"Lah, gaya Loe. Bawa-bawa perasaan segala. Kena PHP baru tau rasa, Loe," celetuk ku.

"Tapi, Loe beneran nggak kenapa-kenapa, kan, De? Mimpi buruk Loe nggak datang lagi, kan?" tutur Derel dengan nada serius.

Sejenak aku terdiam. Apa yang diduga oleh Derel, benar. Mimpi itu datang untuk yang kesekian kalinya. Namun, mengapa ia bisa tau dan menduga dengan waktu yang tepat?

"Dea?" panggil nya menyadarkanku.

"Iya, nggak, kok. Gue tidur nyenyak barusan. Tapi, Loe nelpon bangunin Gue," ucapku berbohong.

Aku tidak tau, mengapa aku berbohong kepadanya. Mungkin aku hanya tidak ingin kalau ia terlalu mengkhawatirkan hidupku.

"Yah, Gue ganggu, dong. Maaf, deh. Gih, lanjutin tidurnya. Jangan lupa baca do'a sebelum tidur. Gue pamit, assalamu'alaikum," ucapnya lurus tanpa banyak basa-basi seperti biasanya. Se-cemas itukah dia padaku? Entahlah.

"Wa'alaikumsalam," aku berhenti sejenak, dan, "loe juga," ucapku kemudian, dan mengakhiri sambungan telpon tersebut.

Entah mengapa, aku hanya ingin malam ini cepat berlalu, dan aku ingin segera menemuinya besok. Seakan ada suatu hal penting yang harus kukatakan padanya sesegera mungkin.