Rudi mulai masuk ke kamar apartemen Sarah, dia mengekor Sarah yang berjalan menuju sofa di ruang minimalis yang terdapat televisi di depannya. Sarah kemudian duduk di susul oleh Rudi. Saat ini mereka sedang duduk bersebelahan.
Sarah duduk bersila di atas sofa, lalu dia meraih papan tombol pengatur jarak jauh kemudian menyalakan televisi agar suasana tidak begitu sepi. Sarah tiba-tiba menyandarkan kepalanya ke pundak Rudi sebelah kanan. Rudi hanya terdiam sambil matanya melirik kearah Sarah. Sarah terlihat sangat tidak berdaya.
"Kenapa kamu tidak ke dokter?" Rudi membuka pembicaraan.
"Malas," ucap Sarah sambil terus menyandarkan kepalanya. Sarah terlihat begitu pucat, padahal kemarin di telepon dia terdengar baik-baik saja. Bahkan terkesan nakal.
"Ya sudah ayo aku antar ke dokter."
Mendengar hal itu seketika Sarah panik, lalu menyudahi sandarannya.
"Tidak usah! Aku hanya flu biasa, nanti malam juga sembuh."
Mendengar jawaban Sarah, Rudi malah menempelkan telapak tangannya di kening Sarah. Sarah tampak tersenyum karena Rudi masih seperhatian dulu. Menyadari ekspresi Sarah berubah Rudi langsung melepaskan tangannya.
"Terimakasih kamu masih perhatian seperti dulu," ucap Sarah sambil tersenyum.
Namun Rudi malah terlihat kikuk dan canggung seolah lupa maksud dan tujuan dia sampai datang menemui Sarah. Emosi Rudi kini sudah tak nampak. Dia malah merasa iba melihat kondisi Sarah yang tampak begitu lemah dan murung. Tidak seperti saat pertama mereka bertemu kembali, kali ini mereka berdua tampak lebih tenang.
"Ya sudah aku pulang," Rudi beranjak dari duduknya dan mulai berjalan menuju pintu keluar, dengan cepat Sarah memeluk tubuh Rudi dari belakang dan langkah Rudi terhenti.
"Temani aku malam ini." Sarah memeluk erat Rudi, dan bodohnya Rudi malah membiarkannya.
Tidak ada perlawanan seperti yang Rudi rencanakan tadi saat masih di rumah, hatinya luluh seketika. Rudi merasa sikap Sarah kembali hangat dan lembut seperti dulu, dan getaran perasaan itu malah muncul kembali. Rudi benar-benar belum bisa melepaskan Sarah seutuhnya. Apa benar jika cinta pertama itu memang sulit di lupakan?! Nampaknya Rudi merasakan hal yang demikian.
Sedangkan saat Rudi pergi, Asti masih berada di rumah. Asti berjalan menuju ruang tengah, dapur bahkan sampai ke halaman belakang namun Asti tidak menemukan sosok yang dia cari.
"Kemana Rudi!" pekik Asti dan sampai terdengar oleh mbok Yum.
"Mas Rudi berangkat lagi ke kantor mbak, tadi mbok lihat dia membawa tas kerjanya," ucap mbok Yum memberi tahu.
Mendengar perkataan mbok Yum, Asti hanya diam. Namun raut wajah Asti berubah menjadi kesal, dia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Iya Asti merasa kecewa karena Rudi lebih mementingkan pekerjaannya, daripada membujuk istrinya yang sedang marah. Dengan emosi Asti kembali ke kamarnya untuk mengambil tas lalu segera pergi ke arah garasi menuju ke mobilnya. Asti langsung tancap gas untuk memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sepertinya Asti akan menuju kantor Rudi, untuk meluapkan amarahnya.
Tiba-tiba ponsel Asti berbunyi. Ternyata Vena menghubunginya. Asti seketika mengurangi kecepatannya, lalu menjawab telepon dari Vena.
"Iya Ven," sapa Asti saat sambungan telepon sudah tersambung.
"Aku lagi di butik kamu, kamu bisa kesini As?"
"Maaf Vena, aku sudah ada janji." Kemudian Asti langsung memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Secara tidak langsung Vena merasakan juga, jika saat ini Asti sedang merasa kesal.
Asti semakin tidak terkendali, dia terus menginjak pedal gasnya menuju ke tempat yang biasa dia kunjungi saat sedang kalut. Iya kebetulan Vian tadi lebih dulu mengajaknya bertemu, katanya ada yang ingin dia sampaikan. Tapi dengan masalah yang tadi siang timbul, sekarang malah Asti yang sepertinya lebih membutuhkan Vian.
Mobil sudah tiba di sebuah hotal yang biasa Asti gunakan untuk berkonsultasi dengan psikiaternya yaitu Vian, entah mengapa Asti lebih suka bertemu di sana. Mungkin karena sudah kebiasaan sejak kecil.
Dulu saat ayah Asti masih hidup, jika Asti liburan sekolah beliau selalu mengajak Asti dan ibunya untuk menginap di hotel bintang 5 tempat ayahnya bekerja. Iya ayahnya Asti bekerja sebagai salah satu staf di sana. Jadi saat Asti libur sekolah ayahnya meminta kamar gratis kepada atasannya, karena memang itu salah satu fasilitas yang di berikan dari hotel untuk karyawannya. Ya walaupun hanya menginap 1 malam, tapi bagi Asti itu merupakan hal yang di nanti-nantikannya setiap tahun. Kebiasaan itupun terbawa hingga sekarang.
Vian sudah sampai di kamar hotel lebih dulu, dia mencoba menghubungi Asti yang sepertinya akan datang terlambat. Namun saat Vian hendak menghubungi Asti tiba-tiba pintu kamar di ketuk. Vian langsung menghampiri pintu lalu membukanya. Benar, Asti sudah menunggu di depan pintu dengan wajah yang tampak kesal.
"Ada masalah lagi?" Vian langsung bisa menebak, karena wajah Asti sudah terlihat kesal bahkan ketika dia masih di depan pintu.
"Ya begitulah, sepertinya Rudi selalu membuat masalah." Asti mulai meluapkan emosinya, sambil berjalan menuju sofa yang ada di kamar tersebut. Vian mengekornya di belakang Asti kemudian duduk di kursi kayu tepat didepan Asti, kini posisi mereka berhadap-hadapan.
"Hari ini bapak mertua menanyakan soal cucu kepada aku dan Rudi. Tapi cara dia bertanya malah terdengar seperti menuduhku. Katanya aku belum bisa menjadi wanita seutuhnya, aku di bilang terlalu sibuk bekerja sampai melupakan kodratku sebagai seorang istri. Padahal dari sebelum menikah, Rudi yang meminta aku untuk menunda memiliki anak. Dia bilang masih belum siap dan bodohnya aku malah menyetujuinya tanpa berpikir panjang." Asti mengakhiri perkataannya dengan wajah yang sendu dan hampir menangis. Padahal ketika baru sampai intonasinya penuh sangat berapi-api.
Vian berdecak tidak percaya,
"Kenapa kamu bisa menyepakati hal yang malah akan merugikan kamu kedepannya? Pasti sekarang kamu baru sadar dan kemudian mulai menyadari jika tindakan kamu itu memang bodoh." Vian malah ikut terbawa emosi.
"Maaf As. Tadi pendapat aku secara pribadi dan itu diluar konteks aku sebagai psikiater kamu." Vian mencoba menerangkan pendapatnya.
"Namun dalam konteks karena aku adalah orang yang selalu mempedulikan kamu As," ucap Vian di dalam hati.
"Aku juga baru sadar sekarang, ternyata untuk menyeimbangkan hubungan aku dengan Rudi ialah dengan hadirnya seorang anak, mungkin nanti aku tidak akan merasa ketakutan akan kehilangan Rudi." Mulai saat ini Asti akan bertekad untuk bisa memberikan cucu kepada orang tua Rudi".
"Aku berharap sekarang kamu bisa dewasa dan pintar dalam mengatur pikiran kamu, ingat kebahagiaan kamu adalah yang utama. Karena yang bisa mengukur kebahagian seseorang ialah dirinya sendiri." Vian pun menyudahi nasehatnya.
Asti tampak duduk termangu saat melihat Vian memberikan saran dan wejangan yang sungguh membuat hati Asti begitu nyaman. Sambil menatap mata Vian yang ternyata sangat menarik. "Kemana saja aku selama ini?"